Thursday 30 December 2010

Tim ‘Garuda’ Vs Politisi

Indonesia menjadi unggulan untuk meraih kesuksesan di AFF Cup 2010. Namun, setelah laga final leg pertama di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur Malaysia, status itu memudar. meskipun pada leg kedua Indonesia mampu unggul 2-1 atas Malaysia, tetapi tetap saja tim ‘Garuda’ gagal membawa trofi AFF Cup pulang karena kalah agregat gol 2-4.

Banyak yang mengatakan bahwa penyebab terjadinya kekalahan tersebut adalah persoalan nonteknis yang dianggap kurang penting yang dilakukan PSSI dan beberapa pihak lainnya kepada Tim Garuda. Salah satunya, yang paling sering menjadi topik hangat di media-media adalah politisasi terhadap Timnas dan PSSI yang dilakukan oleh beberapa politisi Negara kita. Politisasi terhadap tim ‘Garuda’ mulai nampak setelah timnas menundukkan Filipina di semifinal dengan agregat 2-0. Sejak saat itu, banyak politisi yang mencoba mencari popularitas dengan cara dan kadar yang berbeda-beda. Mulai dari mengajak sarapan bersama, memberikan bantuan, hingga mengundang istigotsah bersama.

Politisasi timnas Indonesia tak hanya terjadi di dalam negeri saja. Namun ketika tim ‘Garuda’ melakoni laga tandang leg pertama di Bukit Jalil pun politisasi itu masih terus berlanjut. Sejumlah spanduk besar bergambar beberapa beberapa tokoh politik terpasang di salah satu sudut stadion.

Di antara beberapa spanduk yang dipasang, tampak empat spanduk bergambar tokoh politik populer. Antranya, Presiden SBY, Ketum PSSI sekaligus kader Golkar Nurdin Halid dan Ketum Golkar Aburizal Bakrie serta Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa.

Spanduk-spanduk tersebut di buat dengan besar yang sama. Dengan latar warna yang berbeda dan diberi lambang Garuda Pancasila. Bahkan spanduk Hatta sampai jelas memasang lambang partainya menjadi background (Harian Bangsa, Jawa Pos Group, Selasa, 28 Desember 2010).

Banyak tokoh yang menyayangkan ulah para politisi tersebut. Salah satunya adalah Burhanuddin Muhtadi, pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI). Dia berpendapat bahwa kesibukan dengan persoalan nonteknis yang dialami oleh para punggawa tim ‘Garuda’ bersama para politisi hingga beberapa jam sebelum keberangkatan ke Kuala Lumpur, mengakibatkan berkurangnya konsentrasi para pemain. Akibatnya, saatnya berlaga di Bukit Jalil tim ‘Garuda’ tidak bermain bagus, sering kehilangan bola dan kemudian menelan kekalahan 0-3 dari Malaysia (Detik News, Minggu 26 Desember 2010, 21:56 WIB).

Tidak hanya Burhanuddin saja yang merasakan seperti itu. Mantan Presiden RI, Megawati Soekarno Putri pun sangat kecewa terhadap sikap para politisi yang ‘mencuri kesempatan dalam kesempitan’ politik di timnas. Megawati menilai bahwa tindakan para politisi tersebut secara tidak langsung ingin mengklaim prestasi Timnas yang belakangan ini mulai menanjak.

Dia juga mengatakan bahwa olahraga memang salah satu lahan untuk berpolitik. Namun politik dalam berolahraga harus dimaknai sebagai sarana untuk membangkitkan nasionalisme dalam berbangsa dan bernegara (Detik News, Minggu 28 Desember 2010, 18:27 WIB).

Memang, apa yang telah dilakukan para politisi itu merupakan salah satu bentuk dukungan kepada Timnas. Tapi bukankah dukungan yang seperti itu merupakan dukungan yang overdosis dan  berakibat hilangnya konsentrasi para pemain dan staf Timnas dalam menghadapi final. Seperti yang dikatakan oleh pelatih Timnas, Alfred Riedl. Dia mengatakan kepada wartawan saat jumpa pers setelah laga leg pertama final di Bukit Jalil bahwa dia merasa terganggu terhadap beberapa sikap dan agenda para politisi terhadap tim ‘Garuda’.

Kini, hasil ‘ulah’ para politisi berbuah. Indonesia untuk kesekian kalinya menjadi Runner Up di AFF Cup. Sekali lagi, ini merupakan akibat dari sikap berlebihan yang dilakukan oleh beberapa pihak terutama para politisi yang cukup mengganggu kosentrasi para pemain untuk fokus meraih gelar di Asia Tenggara.

Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya para politisi Negara ini masih kurang sadar dan menyadari tentang porsi politik yang mereka jalankan. Dimana mereka bisa menjalannkannya dan untuk apa. Memang di olahraga juga harus ada politik. Tapi apakah yang mereka lakukan itu tidak berlebihan? Yang jelas sesuatu yang berlebihan akan berakibat buruk.

Lagi pula, jika memang kita ingin meniru kesuksesan Brazil, Italia, Inggris, Spanyol, dan Negara Eropa lainnya di bidang Sepak Bola setidaknya kita tidak mencampurkan urusan partai politik ke dalam Faderasi dan tim sepak bola. Karena faderasi sepak bola Negara yang sukses seperti CBF (Brazil), FIGC (Italia), RFEF (Spanyol), dan FA (Inggris) tidak pernah mencampuradukkan antara politik dan olahraga. Tentu saja kita tidak pernah mendengar salah satu pemicu utama Faderasi-faderasi tersebut gagal merengkuh juara karena campur tangan para politisi.

Mereka para politisi dan olahragawan Eropa tahu porsi dan tugas masing-masing. Politik dan olahraga ada tempat dan waktu masing-masing. Hal inilah yang perlu dicontoh oleh kita dan  para politisi. Mengingat bahwa potensi tim ‘Garuda’ untuk meraih sukses dalam dunia sepak bola dunia sangat besar.


Friday 24 December 2010

Menjadi Pemenang Kehidupan, Siapa Takut?


Judul Buku                : Menjadi Pemenang Kehidupan

Penulis                       : Dhony Firmansyah dan Istikumayati

Penerbit                     : Leutika, Yogyakarta

Cetakan                     : Pertama, September 2010

Tebal                          : xviii + 204 halaman

Peresensi                    : Akhmad Matin

 

Pernahkah terbersit di pikiran kita untuk menjadi seorang pecundang? Saya yakin tidak. Setiap diri manusia tidak akan pernah mau jadi pecundang. Semuanya pasti ingin menjadi seorang pemenang. Baik menang dalam banyak hal atau pun dalam hal-hal tertentu yang dianggap penting.

Namun meskipun begitu, banyak di antara kita hanya sebatas berkeinginan atau bermimpi saja. Akan tetapi tak pernah berusaha untuk mengejarnya. Banyak di antara kita yang hanya mengatakan bahwa aku ingin menjadi insinyur, ingin menjadi seorang politikus, ingin menjadi seorang wartawan atau lain sebagainya. Tetapi, tak sedikitpun berusaha untuk mengejarnya, merealisasikan keinginan tersebut. Karena tidak ingin menghadapi kesulitan dan rintangan dalam proses untuk mendapatkannya. Hal itu sama saja dengan kita lapar, ingin makan tapi tidak mau masak atau membeli makanan.

Nah, dari sekian banyak keinginan tersebut, yang paling inti dari keinginan adalah menjadi pemenang kehidupan. Baik kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat yang kekal. Karena hal tersebut sudah mencakup secara keseluruhan keinginan kita. Tetapi, seperti halnya keinginan yang lain, keinginan yang satu ini harus kita kejar dengan sekuat tenaga, tanpa mempedulikan rintangan dan rasa lelah yang mengganggu.

Yang dimaksud dengan pemenang kehidupan di sini adalah bagaimana kita mencoba untuk tabah dan kuat dalam menghadapi segala rintangan yang kita hadapi. Konsep pemenang kehidupan ini untuk mempermudah kita memahami tentang kehidupan, apa saja rintangannya, di mana posisi kita saat ini, dan bagaimana melewatinya dan memenanginya. Juga, konsep pemenang kehidupan ini mengajarkan kepada kita bahwa kekurangan yang melekat pada diri kita bukanlah penghalang untuk meraih sukses, melainkan menggunakannya sebagai jalan menuju sukses.

Buku yang dikarang oleh sepasang suami-istri ini mengajak kita untuk lebih dalam lagi memahami tentang hidup, tentang semua yang kita hadapi dunia hingga kelak bisa menjadi pemenangnya. Pemenang dari semuanya. Baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.

Ada tiga poin pokok yang menjadi bahasan utama dari buku ini. Pertama, untuk menjadi pemenang kehidupan kita harus terlebih dahulu mengenal diri kita sendiri. Dengan mengenal siapa kita maka kita akan lebih objektif dalam menjalani kehidupan. Apabila kita mengalami kegagalan, kita akan cepat bangkit dan tidak mudah putus asa. Dengan konsep diri yang jelas, keberhasilan akan kita sambut dengan rasa syukur dan berbagi. Kita akan menghapus rasa sombong, ujub dan takabur dalam diri kita.

Kedua, arti dan peran keluarga dalam kemajuan diri kita. Kita dan keluarga adalah sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. Keluarga di sini diartikan secara luas. Pertama, keluarga dalam arti ayah, ibu, dan anak. Kita ada karena kedua orang tua kita rela dnegan sekuat tenaga membersarkan dan mendidik kita. Yang kedua, keluarga dalam arti tatanan masyarakat. Kita bisa hidup hingga sekarang karena kita dan orang-orang di sekitar kita saling membutuhkan. Artinya, keluarga adalah orang-orang di sekeliling kita yang saling take and give.

Poin ketiga adalah langkah-langkah kongkret dan kunci untuk menjadi pemenang kehidupan. Dengan mulai menuliskan atau merencanakan apa impian kita yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu. Juga mengatur waktu kita sedemikian rupa agar kita bisa membaginya untuk bekerja, mencari ilmu, berkumpul dengan keluarga, dan beristirahat sehingga kita bisa melangkah menuju kemenangan dengan maksimal. Serta tidak lupa untuk selalu bersyukur dan bersabar dalam menghadapi semua yang ada di depan kita.

Namun, kunci yang paling utama untuk menjadi seorang pemenang kehidupan ada pada diri kita sendiri. Kita harus membuang bermacam pikiran negatif yang bisa saja menghampiri optimisme yang coba kita bangun. Pemikiran tentang kesulitan, kesibukan yang makin banyak, target yang merepotkan dan lain sebagainya, bisa muncul simultan. Untuk itu, buku ini mengajak kita untuk mengubah pemikiran tersebut (hal. 194).

Selain itu, didalam buku ini dijelaskan untuk bisa menjadi seorang pemenang, kita harus mampu menghadapi lingkungan yang mungki saja tidak mensupport kita untuk kemajuan diri kita. Misalnya komunitas, jika saat ini kita berada di komunitas yang tidak mendukung tujuan kita, maka setidaknya kita mencari komunitas lain yang sekiranya bisa mendukung kemajuan kita namun tidak serta merta meninggalkan komunitas yang lama.

Dengan dilengkapi kisah-kisah inspiratif di setiap bab dan sub babnya, buku ini akan membuka pemikiran kita untuk lebih luas melihat dan memahami tentang arti dan tujuan hidup yang sesungguhnya. Sehingga kita bisa dengan lapang dada bisa menghadapi segala cobaan dan rintangan yang menghadang kita dalam perjalanan hidup kita yang cukup panjang ini.

Hemat saya, buku ini merupakan buku yang sangat cocok sekali bagi anda yang saat ini tengah mengalami degradasi semangat karena terlalu banyak hal yang sedang anda hadapi, yang membuat anda sedikit agak menyerah. Dengan membaca buku ini, saya yakin semangat anda akan kembali on fire untuk menghadapi semuanya. Sehingga kita tidak takut lagi untuk menjadi pemenang kehidupan. Selamat Membaca!


Friday 10 December 2010

Mencari Hidup Sukses dari Surat Al Insyirah


Judul Buku         : Sukses & Bahagia dengan Aurat Al Insyirah

Penulis                : Taufiqurrahman Al Azizy

Penerbit              : Sakanta, Yogyakarta

Cetakan              : Pertama, Nopember 2010

Tebal                  : 208 halaman

Peresensi            : Akhmad Matin

 

Dulu saat saya masih belajar di Pondok Pesantren di Madura, salah satu guru saya di sana pernah mengatakan bahwa di setiap isi Al Quran, baik surat, ayat dan hurufnya tidak hanya mempunyai makna dan bahasa yang indah tapi juga mempunyai banyak kandungan yang berupa kekuatan, khasiat dan tips-tips untuk hal-hal tertentu. Tips-tips tersebut jika kita mengamalkan atau mengaplikasikannya di kehidupan kita secara rutin. Baik diamalkan secara bacaan di setiap selesai shalat atau waktu tertentu ataupun diaplikasikan secara prilaku kita akan mendapatkan kebahagian.

Di sisi lain, jika ayat Al Quran dibaca dengan jumlah dan waktu tertentu akan mempunyai khasiat dan keutamaan tertentu. Seperti halnya Ayat Kursi yang jika dibaca tiga kali sebelum tidur, maka kita akan terbebas dari gangguan setan saat kita tertidur. Atau surat Al Waqiah dan Al Mulk jika kita baca dengan rutin menjelang maghrib maka kita akan dipermudah dalam mendapatkan rejeki dan keinginan kita.

Seperti itu juga Surat Al Insyirah. Di dalam surat ke-94 tersebut terdapat banyak kandungan dan khasiat termasuk tentang konsep kehidupan yang bisa membuat kita sukses dan bahagia menjalani hidup kita di dunia ini. Dan juga jika dibaca dalam jumlah tertentu surat Al Insyirah bisa menyembuhkan beberapa macam penyakit.

Salah satu contohnya jika Surat Al Insyirah dibaca 33 kali pada air, lalu air tersebut diminumkan sebanyak 2 kali sehari, maka penyakit polip, sinusitis, dan batuk akibat asap rokok akan sembuh (hal. 15). Atau, jika kita membacanya 7 kali setiap kita selesai shalat fardhu maka kita akan dijauhkan dari kesusahan dan dipermudah dalam mendapatkan rejeki; atau pula jika dibaca 40 kali setelah shalat lima waktu selama tujuh hari berturut-turut maka kita akan dilimpahkan kekayaan oleh Allah (hal. 14).

Sedangkan kandungan dari surat Al Insyirah ini, atau yang disebutkan oleh penulis buku ini sebagai Aurat Al Insyirah atau dalam bahasa Indonesia rahasia terdalam dari surat Al Insyirah yaitu ada lima hal. Yang pertama, surat ini menerangkan kepada tentang lapang dada. Yang dimaksud dengan lapang dada di sini bukan dalam arti fisik melainkan sebuah ungkapan bagi seseorang yang berjiwa besar. Atau lebih singkatnya dikatakan lapang dada untuk menerima kebenaran-kebenaran yang diberikan Allah seperti yang telah diterangkan di ayat pertama Surat Al Insyirah.

Yang kedua adalah tentang hilangnya beban. Artinya, setelah kita mampu berlapang dada terhadap segala hal yang terjadi pada diri kita, maka beban yang terasa akan hilang secara bersamaan. Karena keberadaan kesulitan, halangan, dan rintangan inilah yang merupakan beban hidup yang harus kita alami. Dengan demikan, mampu menghadapi kesulitan, halangan, dan rintangan sama halnya dengan mampu menghilangkan beban. Dengan kata lain, ketiadaan beban dalam hidup berarti hilangnya kesulitan, halangan, dan rintangan hingga tercapai apa yang menjadi tujuan (hal. 89).

Setelah kita mampu berlapang dada yang kemudian dilanjutan dengan hilangnya beban pada diri kita, maka kita akan mendapatkan sebuah citra yang baik, baik di hadapan Allah ataupun sesama manusia. Dan pencitraan atau tingginya nama kita inilah yang menjadi Aurat Al Insyirah yang ketiga. Artinya, surat yang terdiri dari delapan ayat tersebut mengajarkan kita bahwa sesuatu yang dilalui dengan lapang dada atau ikhlas akan berakibat baik pada diri kita dan citra kita di mata Allah dan sesama.

 Selanjutnya, Aurat Al Insyirah yang keempat, yaitu setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Ayat kelima dan keenam dalam syurat ini menerangkan bahwa setiap kesulitan ada kemudahan, artinya seberapa sulit hal yang kita hadapi pasti dibalik itu pasti ada kemudahan ataupun kegembiraan. Lebih singkatnya semua pasti ada hikmahnya. Di ayat yang kelima ini, secara tidak langsung mengajarkan kinta tentang konsep kehidupan Yassiru wa La Tuassiru (mempermudah suatu kesulitn bukan mempersulit).

Sedangkan Aurat yang kelima adalah Prinsip Istiqomah. Setelah empat Aurat di atas kita pun dituntut untuk Istiqomah dalam menjelankan keempatnya. Prinsip istiqomah ini juga mengajarkan kita untuk tidak menunda-nunda suatu pekerjaan untuk menjadi lebih baik. Prinsip istiqomah ini tidak hanya diterapkan untuk Aurat Al Insyirah saja. Melainkan pada setiap langkah hidup kita, terutama dalam hal kebaikan.

Dengan buku ini, sang penulis Taufiqurrahman Al Azizy sebenarnya ingin mengajak kita untuk mempelajari dan membaca Al Quran lebih mendalam, lebih mendatail untuk mendapatkan kandungan dan khasiat dari Al Quran. Terutama Surat Al Insyirah. Karena Al Quran merupakan panduan hidup umat Islam di seluruh dunia.

Hemat saya, buku ini sangat baik sekali bagi anda yang sangat menyukai hal-hal yang bersifat religius atau tentang amalan-amalan dan wiritan-wiritan. Karena di dalam buku juga dijelaskan tentang khasiat Surat Al Insyirah jika dalam jumlah tertentu. Sedangkan anda yang belum begitu mengenal kandungan surat Al Insyirah, maka buku ini sangat cocok untuk mempelajari tentang Al Insyirah secara mendetail. Selamat Membaca!


"Dimuat di Duta Masyarakat, Minggu, 19 Desember 2010


Saturday 4 December 2010

Kampusku Lautan


Hujan yang mengguyur kota Surabaya selama hampir 24 jam sejak Kamis (2/12) sore hingga Jumat (3/12) malam membuat hampir seluruh kota Surabaya seperti lautan. Tak terkecual kampus tercinta IAIN Sunan Ampel. Kampusku tercinta pun ikutan banjir, meski tidak secara keseluruhan tapi banjir ini cukup mengganggu terutama bagi para penghuni bascamp yang terletak di Perumahan Dosen. Karena di sanalah daerah yang paring parah tergenang air di IAIN Sunan Ampel.


Tuesday 23 November 2010

Memberantas ‘Buaya-Buaya’ di Indonesia

Masih ingatkah anda dengan julukan ‘buaya’ yang digunakan oleh KPK dan beberapa pihak lainnya setahun yang lalu untuk menunjukkan betapa bejatnya para koruptor dan mafia hukum di Negara kita ini? Tentunya masih ingat. Benar, julukan ini memang sudah jarang dipakai dan didengar lagi oleh kita. Tapi bukan berarti ‘buaya-buaya’ di Negara kita sudah punah. Tidak. ‘Buaya-buaya’ itu masih hidup dan berkembang biak dengan pesat.

Setahun lalu, julukan buaya diberikan kepada Anggodo Widjojo yang diduga menyuap petinggi KPK, Bibit Samat Riyanto dan Chandra M. Hamzah, anggota KPK. Dan sekarang ini, setelah beberapa waktu lalu kita mendengar dan membaca kabar bahwa Gayus Haloman Tambunan tersangka kasus mafia pajak yang saat ini tengah berstatus sebagai tahanan di Rutan Mako Brimob Depok masih sempat plesir bersama istrinya ke Bali dan menyaksikan pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions 2010 di Hotel Westin, tidak salah jika julukan ‘buaya’ kita sandangkan kepadanya.

Saat dikonfirmasi kebenaran tentang plesirannya ke Bali, ia mengakui bahwa itu dirinya dengan alasan dia sangat rindu kepada anak dan istrinya. Dia juga mengaku bahwa tahanan Rutan Mako Brimob tidak hanya dirinya saja yang bebas keluar masuk Rutan, tetapi juga ada lima orang lainnya yang lebih sering dan lebih dulu darinya. Dia juga mengaku tidak ada suap-menyuap antara dirinya dengan petugas Rutan (Radar Surabaya, 16 November 2010).

Lalu mari kita pikirkan, bisakah seorang tersangka mafia pajak yang ditahan di Rutan Mako Birimob bisa dengan bebas dan sesuka hati keluar masuk rutan jika memang tidak ada transaksi suap-menyuap. Saya yakin tidak. Karena tidak mungkin Rutan sekelas Rutan Mako Brimob yang dilengkapi dengan pengamanan berlapis bisa dengan mudah dikelabuhi oleh seorang Gayus yang notabene bukan seorang teroris atau anggota gengster.

Untuk kesekian kalinya penegakan hukum di Indonesia terbukti sangat lemah dan hanya berlaku untuk sebagian orang saja. Pembuktian bahwa hukum di Indonesia masih bisa ditukar dengan uang. Orang yang mempunyai banyak uang akan terbebas dari jeretan hukum.

‘Jual-Beli’ Hukum

Banyak orang menilai, terutama mereka kaum intelektual dan mahasiswa bahwa hukum Negara kita saat ini tak lebih dari sebuah barang saja. Siapa yang mampu membelinya maka dia akan memiliki dan menguasainya. Siapa yang mempunyai banyak uang untuk membeli hukum, maka orang itu akan bebas dari jeratan hukum.

Kasus jual-beli hukum ini tidak hanya terjadi pada Gayus saja. Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa banyak petinggi-petinggi Negara kita yang dengan leluasa bermain dengan hukum.

Satu bukti lagi yaitu pembebesan tersangka kasus korupsi penyelewengan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 miliar pada 2003 yang melibatkan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Tantowi Pohan. Aulia Pohan yang dinyatakan bebas sejak 18 Agustus 2010 menjadi topik panas di beberapa media.

Menurut anggota Komisi III bidang hukum DPR Bambang Soesatyo pembebesan seperti yang terjadi pada Aulia Pohan akan menyebabkan setback dalam pemberantasan korupsi (vivanews.com, 20 Agustus 2010). Karena dalam proses pembebasan tersebut ada peran Presidan SBY yang merupakan besan dari Aulia Pohan. Dan ketika sudah ada campur tangan Presiden SBY sudah barang tentu di dalamnya ada ‘transaksi jual-beli’ hukum meskipun hal itu tidak terang-terangan.

Transaksi seperti ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang atas atau pemerintah elit negeri ini saja. Tapi sering juga dilaksanakan oleh para pemerintah dan penegak hukum daerah juga. Hal ini pun semakin menguatkan bahwa hukum di negeri ini masih bisa ditukar dengan uang.

Nah, sampai saat ini ‘buaya-buaya’ di negeri ini belum bisa diberantas dan dibasmi sampai ke akar-akarnya. Para aparat penegak hukum dan KPK pun tidak mampu mengembang tugas ‘mulia’ itu dengan baik. Karena memang sebagian dari mereka termasuk dari ‘buaya-buaya’.

Menurut saya, melihat banyaknya para aparat hukum yang terlibat dalam kasus ini maka untuk menumpas dan mengungkapnya, seharusnya pemerintah tidak lagi membentuk tim penyelidik dari kalangan pemerintah sendiri atau pun aparat hukum yang ada. Melainkan pemerintah perlu mengimpor agen-agen FBI (Faderal Bareau of Investigation) dari Amerika yang memang sudah terbukti mampu menyelesaikan kasus-kasus besar.

Karena FBI merupakan agen intelejensi terbaik dunia yang sampai saat ini belum terbukti dalam menyelesaikan kasus-kasus, mereka tidak mementingkan diri mereka sendiri. Apalagi sebagian besar dari mereka merupakan orang-orang kaya yang mustahil melakukan tindakan korupsi dan transaksi suap-menyuap. Namun konsekuensinya, Negara harus mengeluarkan banyak uang untuk mendatangkan mereka dan ini lebih baik ketimbang uang rakyat masuk ke kantong pribadi pemerintah.

Akan tetapi semua itu kembali kepada Presiden, maukah beliau mengambil resiko itu. Mengingat seorang pemimpin tidak jauh beda dengan kepala manusia, jika kepala atau otaknya masih jernih dan baik, maka anggota tubuh yang lain juga ikut baik.


Sunday 7 November 2010

Fragmen Kereta Kematian

Akhirnya aku kembali ke stasiun tua ini
Setelah satu abad lalu
Satu malam penuh aku di sini
Menungunggu kereta dari negeri antah berantah
Yang kan membawaku ke rumah Jibril

Dulu, saat aku duduk di sini sendiri
Bersama nyanyian sendu para pelacur
Kau datang padaku
Dan menarikku keluar dari gerbong kereta kematian
Yang sempat ingin ku naiki
Karena kereta yang kutunggu tak kunjung datang

Sambil mengajakku meninggalkan stasiun kumuh ini
Kau menceritakan banyak sekali kisah tentang
Detektif-detektif pintar dari negeri sakura
Juga tentang para pendaki semeru yang menyukai angka lima

Setelah mendengar semua itu
Kaupun melukiskan seribu awan merah jambu
Di langit imajiku
;begitu indah
Tak terlupakan

Namun, sejak dua purnama yang lalu
Kau pergi tanpa jejak
Tak ada selembar kabarpun tentangmu
Yang biasa kau kirimkan padaku lewat burung-burung
Pun tentang detektif pintar itu, tak pernah lagi
Kau kisahkan hidupnya padaku

Malam ini, di stasiun pertama kita bertemu
Aku duduk sendiri seperti dulu
Bersama secangkir kopi tinggal ampas
Ditemani para pengamen yang mulai terlelap
Dan para wanita pedagang dengan parfum menyengat

Di peron reot ini,
Tempat pertama kali kau memegang tanganku
Aku menanti sebuah kereta
Kereta warna hitam dengan bau kemenyan menyengat
Yang akan memebawaku ke tempat paling sunyi dan tenang

Tapi, jika kau datang padaku
Dan kembali mengajakku pulang
Aku akan ikut denganmu
Karena sebenarnya, aku ingin selalu di dekatmu
Mendengarkanmu bercerita
Melihatmu bermain tongkat dan bendera bergambar tunas kelapa

Malam ini, aku benar-benar mengharapkanmu
Datang ke tempat ini
Mencegahku masuk ke kereta
Menyeramkan itu

Pesma IAIN Sunan Ampel, Nopember 2010


Monday 1 November 2010

REMBULAN DAN CAHAYA

Masih terngiang dengan jelas kata-katamu
Tentang rembulan yang ada di langit mimpimu
Dan selalu terangi gelap hatimu

Pernah ku bacakan syair surga untukmu
Yang ku dapatkan dari jibril sewindu yang lalu
Saat aku bertemu dengannya

;syair tentang majnun dan laila

Saat itu aku lihat sebuah cahaya merah muda
Di matamu
Begitu terang

Lalu saat kau tahu aku melihat
Cahaya itu
Kau menyembunyikannya di balik
Gunung nuranimu

Ku tanyakan padamu untuk siapa
Cahaya itu
“Ini untuk Rembulan”
Katamu sambil tersenyum padaku

Ah… betapa kau tak pernah melihat
Cahaya itu juga ada di mataku
Yang selalu ku peruntukkan padamu

LPM Solidaritas, Nopember 2010



Sunday 31 October 2010

File penting buat sahabat-sahabat

Dulu, sewaktu saya masih di Annuqayah guru saya, Ra Musthafa pernah memberikan beberapa file materi jurnalistik, khususnya masalah investigasi. Dan filen-file itu saya simpan di komputer pribadi saya dengan rapi.

Beberapa waktu lalu sahabat-sahabat saya di LPM Solidaritas IAIN Sunan Ampel bincang-bincang masalah investigasi. Lalu saya teringat dengan file-file yang diberikan oleh Ra Musthafa. Dan saya coba untuk mengecek di komputer, ternyata masih ada. Saya pun berpikir untuk membaginya ke temen-temen saya yang sama-sama suka dunia jurnalistik. Tapi bingung melalui apa. Dan setelah dipikir-dipikir melalui internet dan blog lebih enak.

Untuk itu silahkan download file-file tersebut di sini (Click sini ya....)


Tuesday 5 October 2010

MORE THAN WORS

More Than Words, lebih dari sekedar kata-kata atau dalam arti yang lebih luas ‘Jangan Hanya Bicara’. Dua kata di atas, ‘More than words’ dan ‘Jangan Hanya Bicara’, dua-duanya adalah judul lagu tentang perasaan sang pencipta lagu yang tak lagi butuh kata-kata atau pembicaraan atau perencanaan saja, tapi butuh bukti yang berupa sikap dan tindakan. Kalau menurut jargon salah satu produk rokok, Talk Less Do More.
Lagu pertama, ‘More Than Words’, dibawakan oleh salah satu grup vokal asal Irlandia yang populer sekitar tahun 1999 sampai 2001, Westlife. Dilihat dari liriknya, lagu ini lebih menekankan pada cerita tentang pasangan kekasih yang tak butuh sekedar kata-kata saja, tidak hanya sekedar kata cinta yang dilontarkan oleh mulut. Tapi sebuah sikap yang membuktikan bahwa kata cinta yang dikatakan sang kekasih tidak hanya sebuah kata-kata.
Sedangkan lagu kedua, ‘Jangan Hanya Bicara’, sebuah lagu yang dibawakan oleh artis, presenter dan penyanyi kocak Okie Lukman. Lagu ini tidak sepopuler lagu pertama, tapi setidaknya cukup sering diputar dibeberapa acara musik di beberapa stasiun telivisi swasta Negara ini pada tahun 2008. Dari segi lirik lagu kedua ini mempunyai ruang lingkup yang berbeda dengan lagu pertama, lagu ini ditekankan untuk mengkritik pemerintah Negara kita Indonesia yang hanya berkoar-koar dengan kata-kata dan janji-janji. Namun ketika di lapangan, tak ada satupun kata-kata dan janji-janji mereka yang terbukti. Mereka hanya bicara saja, dan lagu ini untuk itu, ‘Jangan Hanya Bicara’.
Pada intinya, dua lagu yang berbeda bahasa ini mengajak kita tidak hanya mengedepankan pembicaran di mulut saja tapi yang diperlukan adalah bukti dan realisasi. Di dalam segala hal kita tidak boleh hanya sekedar bicara tapi bukti. Baik itu dalam pemerintahan, bisnis, persahabatan dan juga cinta.
Banyak sekali orang-orang di Negara kita ini yang hanya mengedepankan kata-kata di mulut saja, hanya janji-janji. Pemerintah berjanji akan melaksanakan program Negara yang berupa ini atau itu yang mereka koarkan di Koran, di telivisi dan media pemberitaan lainnya. Tapi saat ditanya bukti, mereka tak bisa menjawab satu patah kata selain mengelak saja. Sedangkan pasangan suami istri atau pasangan kekasih, berjanji tidak akan mengkhianati cinta mereka, tidak akan menduakan pasangannya. Tapi jauh di belakang pasangannya, mereka selingkuh dengan orang lain, bercumbu dengan yang lain. Semua hanya bicara saja. Semua hanya—kalau menurut temen kampus saya—nyangkem tok, nggak onok buktine.
Dan belakangan ini ‘penyakit’ nyangkem tok ini mulai merambah ke dunia akademisi, terutama dunia kampus. Tidak hanya pemerintah yang bisa membuat janji-janji palsu, tapi para pengurus organisasi intra kampus dan civitas akademika pun bisa membuatnya. Dengan beribu kata-kata indah mereka berjanji tanpa bukti.
Hal ini sungguh sangat ironis sekali melihat mereka adalah agent of change dan agent of social control. Bahkan, yang paling mengiris hati adalah para mahasiswa ini juga saling menjelekkan kawan mereka sendiri hanya untuk satu tujuan, yaitu kekuasaan di organisasi.
Nah, dengan tulisan ini saya pribadi berniat untuk mengistrospeksi diri dan meminta para pembaca blog saya ini agar selalu mengingatkan saya agar tidak hanya bicara dalam segala sesuatu, tapi juga membuktikannya dengan sikap dan tindakan.
Saya ingin membuktikan hal ini untuk salah satu orang yang saat ini tengah saya kagumi, saya sayangi dan cintai bahwa semua yang saya katakan tempo hari pasti akan terbukti. Tolong ingatkan saya selalu, teman-teman.


Saturday 31 July 2010

BERAWAL DARI MIMPI UNTUK MIMPI

Mimpi. Itulah hal pertama yang sering kita bicarakan saat kita mulai merasakan keakraban di antara kita. Berawal dari kisah-kisah yang sama-sama kita baca dan kita senangi aku dan dirimu mulai saling berbagi tentang cerita-cerita itu. Hingga akhirnya aku tahu bahwa juga mempunyai keinginan yang sama denganku. Keinginan untuk bisa menjejakkan kaki di daratan tertinggi di pulau jawa. Di puncak Mahameru.
Mungkin keinginan itu biasa untukmu. Tapi untukmu sebuah hal yang sangat kebetulan mempunyai seorang teman yang mempunyai suatu keinginan yang sama yang lumayan menantang jika kita menjalaninya. Dan aku pun merasakan ada yang beda darimu ketimbang temen-temen perempuanku yang laen.
Keakraban kita pun mulai berlanjut. Suatu ketika kau bercerita padaku bahwa kau suka tentang cerita orang-orang yang hobinya adalah memecahkan segala misteri. Cerita tentang seorang detektif yang suka memecahkan kasus-kasus yang menurutku tidak terlalu masuk akal yang kita dalam bentuk gambar. Dan secara kebetulan hal itu juga adalah salah satu hobiku sejak masih kecil. Suka membaca komik detektif.
Dan sejak saat itu aku mulai melihat semua tokoh dalam cerita yang pernah kita bicarakan datang di setiap malamku bersamamu. Dan hal itu terus berulang hingga suatu malam aku tak dapat sedikit pun merasakan nikmatnya terlelap dengan pulas. Mataku tak sedikitpun mampu tertutup walau hanya sedetik. Aku dapat merasakannnya. Aku merasakan sebuah virus dengan warna merah muda telah merusak semua sistem dalam tubuhku. Ah… andai kau tau itu.
Pada awalnya aku takut untuk mengatakan semuanya padamu. Rasa takut akan keakraban yang selama ini kita jalani akan hilang gara-gara hal yang mungkin tak penting untukmu. Tapi ternyata Allah berkehendak lain. Hanya lewat tulisan yang kutaruh di salah satu jejaring sosial kau tau semuanya. Dan kita pun mulai membahas hal itu.
Saat kita membicarakan hal ini, aku pun mengerti pada dasarnya kau tak pernah menginginkan hal ini terjadi. Kau mengatakan padaku bahwa kejadian yang lalu yang membuatmu menjauh dengan beberapa orang terdekatmu. Tapi entah kenapa aku merasa suatu saat nanti kau akan sangat dekat denganku walau entah kapan itu terjadi.
Karena semua orang mempunyai keinginan dan mimpi. Kau punya keinginan dan mimpi begitu juga aku. Maka kita tak bisa memaksakan kehendak kita pada orang lain. Jika aku menginginkan sesuatu darimu sedangkan kau tidak, maka akan tidak boleh memaksamu, ataupun sebaliknya. Karena jika itu terjadi maka ego yang besar akan tumbuh dalam hati ini. Ataupun akan terlahirlah sebuah obsesi yang sangat besar yang nantinya merugikan orang lain, seperti katamu.
Ada satu hal yang seharusnya kau ketahui dariku. Mimpiku yang paling utama saat ini—setelah mimpiku untuk menjadi wartawan dan penulis besar di Negara ini—adalah mimpi untuk bisa hidup bersamamu. Menjalani semuanya denganmu. Dan menunggu usia senja kita sambil tetap bercerita tentang mimpi, bintang ataupun detektif-detektif kecil yang sering kita perbincangkan itu.
Namun, yang namanya mimpi bisa terjadi dan juga bisa tidak. Semua tergantung kepada Allah. Dia yang menentukan semuanya. Kita di dunia ini hanya bisa berharap dan menunggu serta tetap berusaha. Berharap Allah memeluk mimpi ini, seperti kata Andrea Hirata “Bermimpilah karena Tuhan memeluk mimpi-mimpimu”. Meskipun kemungkinan dari semua itu masih di bahwah 50%.
Aku berharap kau mengerti. Karena semua hal yang terjadi pada setiap orang perlu adanya pengertian antara yang satu dengan yang lain. Dan yang terakhir, jangan pernah hilangkan keakraban di antara kita. Aku ingin itu tetap ada beserta senyummu yang selalu kau berikan padaku saat kita saling bertatap.


Sunday 25 July 2010

UANG

Uang. Dilihat dari jumlah hurufnya yang hanya empat huruf tentu mudah diingat dan diucapkan. Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran utang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter yang lebih kompleks, tidak efisien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan nilai. Efisiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya akan mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan meningkatkan produktifitas dan kemakmuran.
Namun, siapa sangka uang yang telah membantu manusia untuk bertransaksi dalam sistem ekonomi telah membuat orang-orang gila. Baik gila dalam arti sesungguhnya ataupun gila yang dimaksudkan untuk perumpamaan. Saat ini banyak di sekitar kita orang-orang yang rela melakukan apapun, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang.
Tidak jarang yang menikam saudaranya sendiri hanya gara-gara uang. Seperti kasus pembunuhan yang beberapa waktu lalu saya saksikan di salah satu stasiun TV swasta, yang dalam tanyangan tersebut dijelaskan bahwa motif tersangka membunuh saudaranya hanya gara-gara harta warisan. Hanya gara-gara uang. Ada juga yang dengan rela memperjualkan agama hanya untuk mendapatkan honor atau upah atau singkatnya uang. Hal ini terjadi pada beberapa artis kita di Indonesia ini. Mereka yang beragama non-Islam berakting sebagai Muslim dan orang Muslim berakting sebagai orang non-Muslim hanya untuk satu tujuan yaitu uang. Padahal hal seperti itu bagi orang muslim yang benar-benar menganut ajaran Islam dengan sungguh-sungguh adalah salah satu ciri kufur fil ‘amal (Kafir secara perbuatan) yang termasuk dosa besar. Meskipun dengan alasan apapun.
Mereka yang seperti itu oleh orang Madura disebut dengan Biruh Matah atau dalam bahasa Indonesianya Hijau Mata. Sebuah sendiran yang ditunjukkan kepada seseorang yang di benak dan semua apa yang dia kerjakan hanya memiliki satu tujuan, yaitu uang.
Sekarang ini, segala sesuatu di Negara kita ini diukur dengan uang tanpa terkecuali. Jangankan di kota, di desa saya di pedalaman Madura uang sudah menjadi suatu ukuran. Salah satu contohnya adalah ketika masyarakat di sana mau mengurus surat-surat. Mulai dari Kartu Keluarga (KK), Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) hingga Surat Keterangan Keluarga Kurang Mampu harus ada uangnya dulu baru proses pembuatan surat-surat tersebut akan dikerjakan atau setidaknya proses akan berjalan lebih cepat. Sungguh sebuah ironi.
Tidak hanya itu, untuk mendapatkan pendidikan layak pun harus diukur dengan uang. Jika tak punya uang maka jangan berharap masuk sekolah yang fasilitas pendidikannya cukup lengkap atau bahkan tidak masuk sekolah sama sekali. Padahal saat ini sudah ada program Pemerintah wajib belajar Sembilan tahun yang semuanya sudah dibiayai oleh pemerintah. Telah banyak buktinya dari kasus seperti itu. Baru-baru ini kita mendegar sebuah kasus bunuh diri yang dilakukan seorang bocah karena dia frustasi orang tuanya tidak mampu menyekolahkannya. Kasus ini ditayangkan oleh beberapa stasiun TV swasta.
Saat orang tua anak tersebut dikonfirmasi oleh para wartawan tentang hal itu, dia menjawab meskipun saat ini sekolah sudah gratis tapi sekolah anaknya masih meminta pungutan dengan alasan keuangan buku, pembangunan dan lain-lain.
Sungguh saat ini uang telah menjadi tujuan utama kehidupan masyarakat Indonesia. Dan hal itu tidak dapat dipungkiri. Di manapun kita berpijak disitu pula kita harus berhubungan dengan uang. Di kota besar seperti Surabaya juga seperti itu. Dari makan, minum sampai buang air sekalipun harus menggunakan uang. Dan saya pun tidak memungkiri bahwa sekarang ini sangat jarang orang yang tida biruh matah karena melihat uang. Oleh karena itulah tulisan ini ada.


Tuesday 20 July 2010

ANNUQAYAH DI DADAKU

Jika boleh memplesetkan sebuah lagu, maka saya akan memplesetkan lagunya Netral yang berjudul ‘Garuda di Dadaku’ menjadi ‘Annuqayah di Dadaku’. Karena bagi saya Annuqayah tidak hanya sebagai sebuah pesantren belaka, melainkan Annuqayah bagi saya adalah orang tua dan desa kedua saya. Ya, meskipun saat ini secara adiministratif saya bukan lagi santri Annuqayah, tapi bagi saya pribadi saya tetap dan akan selalu menjadi santri Annuqayah sampai kapan pun.
Banyak sekali yang saya alami dan saya dapatkan selama enam tahun tinggal di Annuqayah, baik berupa ilmu, pengalaman, guru, sahabat dan banyak hal lainnya yang telah mewarnai hidup saya dan selalu menginspirasi saya untuk selalu menjadi lebih baik. Semua itu tidak akan pernah terlupakan.
Ada beberapa hal yang paling sering saya ingat dan saya rindukan saat ini dari Annuqayah. Yang pertama adalah sosok kiai yang paling bersahaja yang selalu sabar mengayomi santinya meskipun santrinya terkadang sering berbuat tidak sesuai yang dinginkan beliau. Yaitu KH. Ahmad Basyir AS. Sosok beliaulah yang paling saya rindukan dari Annuqayah. Betapa tidak, dengan keadaan beliau yang saat ini sudah mencapai usia senja, beliau masih mempunyai semangat yang sangat besar untuk memberikan ilmu dan pendidikan yang terbaik pada santrinya. Beliau selalu menjadi imam shalat jama’ah di Mushalla Latee atau pun mengajar Madrasah Diniyah meskipun pada saat itu juga kondisi beliau tidak cukup kuat untuk itu.
Mengingat beliau membuat mata saya seketika penuh air mata. Rasa kagum dan rasa haru bercampur dalam hati saya saat saya mengingat semua tentang beliau. Mulai dari semangatnya hingga perkataan-perkataan beliau tetap saya rasakan hingga saat ini, saat saya berada di kota Surabaya ini. Dan saya akan senantiasa selalu mendoakan beliau semoga beliau tetap kuat memberikan yang terbaik untuk santrinya dan semoga beliau diberikan pahala dan surga kelak di akhirat nanti.
Yang kedua, yang sangat saya rindukan dari Annuqayah adalah suasana religius yang tak pernah hilang. Memang, sudah sepatutnya semua pesantren identik dengan suasana religius. Tapi bagi saya suasana religius yang ada di Annuqayah sangat berbeda dengan suasana religius yang ada di pesantren-pesantren lain yang pernah saya kunjungi. Seperti Al Amin Prenduan, Al Is’af Kalaba’an atau pun Pesantren Tebuireng Jombang yang baru-baru ini saya kunjungi. Perbedaan suasana seperti juga diakui beberapa teman saya di Annuqayah yang juga pernah mengenyam pendidikan di pesantren lain.
Saya tidak dapat menjelaskan secara detail letak perbedaan suasana religius tersebut. Namun saat saya berada di Annuqayah saya merasakan sebuah ketenangan, ketentaraman dan kesejukan yang tidak pernah saya rasakan di Surabaya. Selain dari pada itu, secara tidak langsung orang-orang yang ada di sana menantang saya untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.
Yang ketiga adalah tradisi menulis yang menjadi salah satu ciri khas Annuqayah. Ya, Annuqayahlah yang mengantarkan saya pada dunia yang sangat menyenangkan ini, dunia menulis. Berawal dari ketidaksengajaan saya masuk dunia tulis-menulis. Namun ketidaksengajaan tersebut telah membawa saya ke beberapa tempat-tempat seperti Jakarta dan juga memperkenalkan saya kepada orang-orang penuh semangat dalam menulis seperti Gus Muhammad Musthafa, Gus M. Zammiel el Muttaqien dan Gus M. Faizi. Beliau-beliaulah yang selalu saya jadikan contoh dan guru-guru saya dalam menulis, yang terkadang saat saya melihat karya mereka saya terpacu untuk terus menulis dan berkarya.
Di Annuqayah ada sebuah kompetisi untuk menulis yang akan selalu mendorong sesorang untuk menulis, meskipun hal itu tidak tampak secara kasat mata. Dan kompetisi itu tidak pernah saya rasakan di sini, sehingga sejak saya tinggal di Surabaya sampai saat ini tulisan saya masih bisa dihitung dengan jari. Berbeda saat saya masih di Annuqayah yang setiap hari, setidaknya saya menghasilkan sebuah tulisan dalam bentuk apapun.
Yang keempat adalah suasana sosialis dan rasa persaudaraan yang diterapkan para santri Annuqayah. Hal itulah yang tidak pernah saya rasakan di Surabaya. Di sini, semua orang seakan hanya mementingkan diri sendiri saja. Semua bersifat individual. Bahkan meskipun Pesantren Mahasiswa IAIN yang saya tempati sekarang ini berbasis pesantren, tapi tidak sedikitpun saya merasakan adanya rasa persaudaraan mereka sama seperti rasa persaudaraan teman-teman di Annuqayah. Semua orang yang tinggal di sini sulit untuk berkumpul dan bercerita-cerita seperti teman-teman di Annuqayah. Mereka hanya berkumpul dengan orang-orang yang menurut mereka satu derajat atau satu ideologi saja. Sungguh sangat tidak menyenangkannya kehidupan sosial di sini.
Hal-hal inilah yang selalu membuat saya merasa rindu pada Annuqayah. Dan satu hal yang ingin saya sampaikan pada semua orang, pada semua teman-teman saya terutama teman-teman di Annuqayah. Saya akan mengatakan bahwa seberapa besarpun kita ingin keluar dari Annuqayah maka sebesar itu pula rasa rindu yang akan kita rasakan saat kita jauh dari Annuqayah.
Dan jika suatu saat nanti, saat saya telah menyelesaikan semua proses studi saya, ada yang meminta saya untuk kembali atau pun menjadi bagian dari Annuqayah. Maka saya akan senantiasa untuk menerimanya. Karena Annuqayah di dadaku.


Monday 21 June 2010

Malam yang Tak Lelap

Pernahkah anda tidak bisa tidur semalaman karena terganggu beberapa hal. Yah, saya yakin anda pasti pernah merasakan hal itu. Dan hal itu saya alami semalam. Semalaman saya tidak bisa tidur. Sebenarnya, semalam saya sangat ngantuk sekali, ditambah rasa capek setelah mengerjakan tugas UAS seharian. Tapi, rasa capek tersebut seakan tidak ada apa-apanya. Rasa ngantuk itu hilang dalam sekejap saat saya ingin memejamkan mata saya. Saya terus mencoba untuk memenjamkan mata saya, tapi tak bisa. Saya tetap tidak bisa terlelap sedikitpun.
Saya tidak mengerti mengapa saya tidak bisa tidur semalam. Yang jelas saat saya mulai memejamkan mata, secara otomatis seorang wanita hadir dalam pikiran saya. Wanita itu teman dekat saya di LPM Solidaritas. Namun saya tidak bisa menyebutkan identitasnya di tulisan ini, karena saya rasa masih belum tepat saya mengungkapnya.
Bayangan wanita—yang selanjutnya saya inisialkan dengan IW—itu memenuhi otak saya. Saya mencoba untuk memejamkan mata lagi. Tapi bayangan IW terus saja mengganggu saya. Membuka kembali mata saya dan membuat rasa ngantuk dan capek yang tadinya saya rasakan hilang seketika.
Sebenarnya, di antara saya dan IW tidak ada apa-apa. Tidak ada yang spesial. Hanya saja beberapa hari terakhir ini saya sering memberikannya dengan beberapa teman saya. Juga dalam beberapa waktu terakhir ini saya sering saling berkomentar di Facebook. Saya semakin tidak mengerti saat saya mengingatnya saya merasakan sesuatu yang bergejolak di dada saya. Saya tidak mengerti.
Dan setelah saya shalat subuh tadi, saya merenung sejenak. Apa yang sebenarnya terjadi pada saya. Saya tidak bisa menyimpulkannya, yang jelas sesuatu yang tidak biasa telah terjadi pada diri saya dan hal itu berkaitan dengan IW. Sekarang saya hanya bisa berharap dan berdoa kepada Allah semoga saya mampu melaluinya dengan mudah. Amin.

Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, 5:00 WIB. 21 Juni 2010


Thursday 10 June 2010

Berkunjung ke TVRI, Menyaksikan Kesenian Madura



Hidup di Surabaya nan jauh dari rumah membuat saya selalu merasa kangen pada kampung halaman saya, yaitu Sumenep ataupun Madura. Rasa kangen dan rindu seperti ini membuat saya selalu ingin bertemu dengan hal-hal yang berbau Madura, apapun itu. Padahal sebelum saya kuliah dan tinggal di Surabaya saya merasa kurang percaya diri ketika disinggung tentang hal-hal yang berbau Madura, baik itu seni, budaya ataupun hal lainnya yang berbau Madura. Namun hal itu sudah berubah saratus persen. Sekerang saya selalu berasa bangga dengan apapun hal-hal yang berbau Madura yang saya temui, terutama di Surabaya.
Tadi sore saya bersama teman-teman LPM Solidaritas serta teman-teman UKM lain yang sama-sama berada dibawah naungan Rektorat IAIN, menemani bapak Rektor Prof. Dr. Nur Syam, M.SI menghadiri acara Talk Show SEMANGGI (Semangat Menggali Inspirasi) di TVRI Jawa Timur.
Sebenarnya saya tidak menyangka akan diajak oleh senior LPM Solidaritas untuk mengikuti acara itu. Tiba-tiba saja tadi siang sehabis saya pulang kuliah senior saya di LPM Solidaritas SMS saya dan menyuruh saya untuk ikut acara tersebut. Tanpa pertimbangan lagi saya langsung berkata siap. Karena menurut saya acara ini pasti bakal bermanfaat dan akan menjadi pengalaman yang sulit dilupakan, serta ini adalah kesempatan yang mungkin saja tidak akan datang untuk kedua kalinya.
Saya menuju Studio TVRI jam 16.30 bersama teman-teman menggunakan bus milik IAIN. Sesampai di depan Studio TVRI, sungguh tak menyangka di parkiran tersebut saya melihat sebuah bison bernomor polisi Pamekasan, Madura. Saat itu tak terbersit sedikitpun di benak saya bahwa mobil bison itu berhubungan dengna acara yang akan saya hadiri ini.
Saat saya memasuki Studio 2, tempat acara Semanggi on Air, saya melihat alat-alat musik yang tidak asing bagi saya, alat-alat musik Ul-Daul khas Madura. Seketika itu pula saya menyimpulkan bahwa acara ini pasti berhubungan dengan Madura karena menghadirkan seni Madura. Dan benar, acara ini berhubungan sekali dengan Madura dan bahkan salah satu Nara Sumbernya adalah Bupati Pamekasan, Drs. KH. Khalilurrahman, SH., orang yang cukup sering saya jumpai di Madura. Dan acara yang berdurasi satu setengah jam bersebut dimulai dengan tema “Pendidikan, Kesehatan dan Kewirausahaan”. Sedankan nara sumbernya selain bapak Bupati Pamekasan adalah Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof Dr. Nur Syam M.SI dan Direktur Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, DR. Slamet Riyadi Suwono.


Perbincangan dan dialog yang dilakukan dalam acara itu berputar tentang pendidikan, kesehatan dan kewirausahaan di Jawa Timur terlebih di Pamekasan. Nah, yang membuat saya merasa bahagia dan bangga menghadiri acara itu adalah acara tersebut diselingi oleh penampilan kelompok Musik Ul-Daul asal Pamekasan. Memang saya bukan orang Pamekasan ataupun berdarah Pamekasan, tetapi tidak salah mungkin jika saya bangga karena music Ul-Daul itu memang sangat Madura sekali dan adanya hanya di Madura. Apalagi dalam penampilan tersebut ada seorang penyanyi Remaja yang juga orang Madura yang menyanyikan lagu-lagu Madura. Sungguh saya merasa sangat senang sekali menghadiri acara itu.
Mungkin tidak berlebihan jika saat ini saya kegirangan karena salah satu seni budaya Madura mulia dihargai oleh publik luar Madura. Karena dari dulu Madura identik carok ataupun dengan hal-hal yang berbau kekerasan. Dan pada saa ini mungkin semua orang yang menyaksikan acara di TVRI tadi akan tau bahwa orang Madura mempunyai sebuah seni yang patut dihargai dan diapresiasi.
MADURA, AKULAH DARAHMU!

Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, 9 Juni 2010, 21:30


Tuesday 8 June 2010

Sebuah Cerita di Pagi Hari

Hari ini tanggal 8 Juni 2010, hari ini adalah hari tes seleksi masuk IAIN Sunan Ampel 2010. Saya pun teringat akan satu tahun yang lalu, pada saat saya baru pertama kali menginjakkan kaki di IAIN Sunan Ampel sehari sebelum pelaksanaan test seleksi 2009. Saat itu, menginjakkan kaki dan berada di lingkungan IAIN merupakan hal—yang pada saat itu—tidak pernah saya bayangkan. Betapa tidak, saat itu bagi saya yang masih berstatus santri Annuqayah kuliah di luar Annuqayah terlebih lagi di luar Madura merupakan hal yang sangat diimpikan saya. Sungguh masih teringat segar bayangan itu di ingatan saya.
Dan sekarang, satu tahun sudah berlalu. Saya sudah resmi menjadi mahasiswa IAIN Sunan Ampel. Dan tinggal di Surabaya pun mulai terasa biasa-biasa saja, tidak ada sesuatu yang lebih seperti saat saya baru saja masuk di IAIN Sunan Ampel.
Memang benar, dunia dan waktu terus berputar, kadang di atas kadang di bawah. Hal itu pun telah terjadi pada saya. Dulu yang sangat menginginkan hidup di kota, sekarang mulai terasa membosankan hidup di kota. Saat ini saya merasa hidup di desalah yang sepertinya lebih tenang dan tak terbebani apa-apa. Tapi karena setiap keputusan mempunyai resiko, maka saat ini saya harus menjalani resiko dari keputusan saya yang pada satu tahun lalu memilih untuk kuliah di IAIN Surabaya. Dan saya terus berharap bahwa apa yang telah terjadi dan akan terjadi merupakan sesuatu yang terbaik bagi saya. Amin….


Pesantren Mahasiswa IAIN, 8 Juni 2010


Tuesday 25 May 2010

PENGALAMAN ADALAH GURU YANG TERBAIK

“Pengalaman adalah guru yang terbaik” kata-kata inilah yang seharusnya aku tanamkan dalam-dalam di hatiku. Karena hingga sampai saat ini aku mengulangi kesalahan yang sama yang kemudian membuatku terus gagal mendapatkan sesuatu yang aku impikan.
Mungkin dalam beberapa hal aku sudah bisa mengaplikasikan kata-kata ini, seperti dalam menulis dan hal-hal yang berbau akademik. Namun ada satu hal yang di situ saya tidak dapat saya aplikasikan kata-kata di atas. Yaitu dalam memahami dan mengerti seorang wanita, atau yang lebih pasnya tentang perasaan wanita padaku.
Sudah berulang kali aku melakukan kesalahan yang seharusnya tidak terulang itu. Sudah empat kali aku tidak bisa menaklukkan hati seorang wanita, atau singkatnya ditolak. Untuk yang pertama dan kedua aku akui aku terlalu terburu-terburu untuk mengambil keputusan. Hanya kenal sebentar saja aku langsung meminta sesuatu yang lebih padanya, pantaslah ditolak. Dari itu kemudian banyak teman-temanku mengatakan kepadaku untuk mengenal wanita itu lebih dalam dan mengakrabkannya terlebih dahulu sebelum aku mengejarnya.
Di kali ketiga, aku mempraktekkan apa yang temanku bilang tadi. Aku mulai mengenal dan mencari tahu tentang wanita yang ketiga ini lebih mendalam. Tak perlu waktu lama aku untuk akrab dan tahu dia lebih jauh karena dia cukup kenal denganku sebelumnya, jadi lumayanlah. Saat aku sudah mulai mengenalnya sebenarnya aku sudah mau mengatakan bahwa aku mengharapkan sesuatu yang lebih darinya, tapi aku masih mengulur waktu yang lebih tepat dan pas. Mencari waktu yang pas pun saya tidak sebentar, sangat lama, sehingga wanita yang aku suka itu ditembak oleh orang lain terlebih dahulu. Dan aku pun terlambat ketika aku mengutarakan rasaku padanya. Dia sudah dengan orang itu. Kegagalan ketigaku, sungguh ironis.
Seharusnya ketika kegagalan yang ketiga itu terjadi aku membenahi diri. Dan itulah yang aku lakukan. Aku kembali suka sama teman satu semester di PBA IAIN, aku mulai mencari tahu dan mengenalnya lebih mendalam. Mencari tahu lewat teman terdekatnya. Cukup lama aku untuk mendakatinya. Ketika menurutku aku sudah cukup dekat dengannya, aku mengutarakan apa yang ada dalam hatiku. Dan jawabannya sama seperti yang sebelumnya, tidak. Aku bertanya apalagi yang salah dari langkahku? Aku sharing dengan salah satu temanku yang ku anggap lebih pengalaman dariku tentang masalah itu. Ternyata aku belum mengenalnya lebih dekat, itulah salahku. Belum mengenalnya lebih dekat. Yah… salah lagi. Padahal aku pikir aku sudah cukup dekat dengannya. Kejadian ini baru terjadi, tepatnya kemarin, tanggal 24 Mei 2010. Lessoh lajunin.
Semenjak saat itu saya berpikir, kenapa aku belum bisa mengambil pelajaran dari yang telah lalu. Mengapa aku terlalu tergesa-gesa? Mengapa aku selalu melakukan kesalahan yang sama? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berputar di otakku. Dan tulisan ini aku tulis untuk menghilangkan semuanya atau menjawab semuanya. Aku ingin belajar dari pengalaman, bantu aku ya Allah.
Semoga pertanyaan-pertanyaan yang berputar di otak ini segera terjawab. Dan aku bisa belajar dari pengalaman. Malam ini aku ingin tidur lebih lama, lebih panjang, lebih pulas dari biasanya. Agar semuanya menghilang dan esok hari aku bangun dengan wajah yang segar.
AKU INGIN TIDUR LEBIH LAMA MALAM INI.

Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, 25 Mei 2010, 23:30 WIB


Monday 24 May 2010

Yang Terbaik untuk Kita

Masih tergiang di telinga saya saat salah satu Guru saya di MA Tahfidh Annuqayah dulu berkata, “Semua yang Allah berikan kepada kita adalah yang terbaik untuk kita tanpa terkecuali”. Dulu, saya tidak pernah percaya dengan kata-kata beliau karena menurut saya hal itu tidak masuk akal. Namun, sejak saya berada di Kota Surabaya, saya pun mulai merasakan dan mempercayai kata-kata itu. Semua yang telah terjadi dan Allah berikan kepada kita adalah yang terbaik untuk kita.
Dulu saat saya dihadapkan pada sebuah pilihan lanjutan studi atau kuliah, saya ngoto untuk kuliah di Yogyakarta. Karena menurut saya di sana adalah tempat yang tepat untuk meneruskan hobi saya dalam dunia tulis menulis. Waktu itu, saya tidak peduli pada pendapat orang tua saya yang melarang saya untuk kuliah ke Yogyakarta dengan alasan jarak yang sangat jauh. Karena saking ngototnya, saya pun mengatakan saya sanggup untuk cari biaya sendiri asalkan saya dizinkan untuk kuliah ke Yogyakarta.
Salah satu langkah yang saya ambil waktu itu adalah mengikuti seleksi beasiswa di UGM bagi siswa yang kurang mampu (saya lupa apa nama programnya). Saya pikir hal itu yang paling tepat untuk langkah awalnya. Namun, setelah mendaftar dan mengirimkan berkas-berkasnya, saya tidak lulus dalam seleksi berkas karena kurang memenuhi persyaratan.
Saya tidak menyerah sampai di situ, saya terus mencari informasi. Namun tidak ada yang pas dengan apa yang saya inginkan. Akhirnya, setelah beberapa waktu, melihat tidak satu pun beasiswa yang saya dapatkan, orang tua saya dan seluruh keluarga menyeruh saya untuk kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya saja. Tapi saat itu saya tidak langsung menjawab dengan alasan istikharah dulu, baik itu saya sendiri atau orang tua saya. Padahal waktu itu alasan istikharah tersebut hanya untuk mengelur waktu saja agar tidak menututi batas waktu pendaftaran di IAIN Sunan Ampel. Dan setelah beberapa waktu orang tua saya mengatakan kepada saya bahwa hasil istikharah orang tua saya adalah IAIN Sunan Ampel sekaligus mendesak saya untuk segera mendaftar. Dan akhirnya saya menyerah dan mendaftar di IAIN Sunan Ampel. Yang kemudian berakhir dengan diterimanya saya di IAIN Sunan Ampel Surabaya di Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Bahasa Arab.
Setelah sampai di Surabaya saya masih kurang sreg dengan IAIN Sunan Ampel. Saya menjalani semuanya setengah hati. Bahkan dari saking kurang sreg-nya saya dengan IAIN Sunan Ampel, tidak ada satu karya dan tulisan yang saya hasilkan pada waktu itu. Saya mulai frustasi. Dan tibalah pada suatu waktu, ketika itu saya baru datang kuliah, ketika sampai di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel (PESMA), tempat saya bermukim, saya melihat sebuah foto copy dari salah satu Koran lokal Surabaya edisi hari itu dalam satu halaman yang berisi rubrik opini. Dan penulisnya adalah salah satu mahasiswa yang tinggal di Pesma, yaitu Abd Basid. Seketika itu pula saya merasa iri dan ‘panas’, saya pun merasa tertantang untuk juga untuk menulis. Dan denger-denger dari teman-teman yang lain bahwa jika ada mahasiswa Pesma yang tulisannya dimuat di media akan mendapatkan imbalan dari pihan Pesma.
Saya mulai menulis kembali. Namun saya masih kurang beruntung untuk dimuat. Saya tidak menyerah, terus mencoba. Dan dalam waktu yang bersamaan saya mulai dekat dengan Abd Basid dan juga saya bergabung dengan LPM Solidaritas, LPM IAIN. Dan mulai saat itu saya terus berpacu untuk menulis. Baik itu opini, resensi atau puisi yang sudah menjadi darah bagi saya. Dan tepat pada tanggal 15 April 2010 tepatnya pada hari Jum’at, resensi saya yang berjudul “Buku, Pesta dan Cinta di Alam Soe-hok Gie” dari buku “Soe-hok Gie, Sekali lagi…” dimuat di Harian Bhirawa. Dari situ kemudian beberapa orang yang saya anggap orang penting di Pesma kemudian mengenal saya karena tulisan itu.
Sejak saat itu saya mulai sering sharing dengan Abd Basid dan teman-teman di LPM Solidaritas tentang tulisan. Semangat saya terus meningkat untuk menulis. Dan untuk kedua kalinya tulisan saya yang berupa resensi dimuat di Radar Surabaya pada tanggal 9 Mei 2010. Dan yang memberi tahu saya tentang hal itu adalah Abd Basid. Sungguh bahagia saya waktu itu. Sejak saat itu saya semangat saya terus tumbuh. Di LPM Solidaritas pun saya mendapatkan tempat yang ‘cukup diperhitungkan’ dalam segi tulisan.
Nah, itulah yang membuat saya tersadar dan merasakan tentang pemberian Allah kepada kita adalah yang terbaik oleh kita. Saya pun berpikir, andai saja saya tetap ngotot untuk kuliah di Yogyakarta saya yakin saya tidak mungkin akan mengalami dan merasakan hal yang begitu indah dan berarti ini. Sebuah perjalanan yang tidak mungkin saya lupakan dalam hidup saya.
Dari itu saya salalu mengucapkan banyak syukur kepada Allah tercinta. Juga kepada orang tua saya, ternyata benar, orang tua tidak akan mungkin menjerumuskan anaknya ke dalam jurang. I love you full, my father and mother.

LPM Solidaritas, Surabaya, 23 Mei 2010, jam 11:20


Sunday 23 May 2010

BANGGA DENGAN BANGGA INDONESIA BUKAN DENGAN NEGARA INDONESIA

Hamparan alam luas membentang di jagad khatulistiwa/Harum tanahmu hijau warnamu/ Takkan pernah terlupakan//Tempat di mana aku dilahirkan/Dan tempat di mana nanti/Aku kembali duduk di sini/Menutup hari dan mati. Kalimat ini bukanlah puisi atau pepatah atau pun prosa. Tapi kalimat tersebut adalah penggalan lirik lagu berjudul Indoneisaku ciptaan Ungu. Lagu tersebut berisikan tentang kebanggaan sang pencipta lagu terhadap Indonesia.
Benar, seperti yang telah kita tahu bersama bahwa rasa bangga pasti dimiliki setiap orang. Apalagi rasa bangga itu ditunjukkan kepada sesuatu yang mempunyai banyak kelebihan. Indoneisa mempunyai banyak sekali kelebihan, dan hal itu kemudian membuat semua orang yang tinggal Indonesia bangga dengan Indonesia, termasuk personel Ungu yang telah menciptakan lagu tersebut. Lagu tersebut membuat saya berpikir dan merenung sejenak, ternyata sudah sepatutnya kita membanggakan kekayaan yang dimiliki Indonesia apalagi banyak orang luar yang suka dengan kekayaan tanah air kita ini.
Namun, ketika kita melirik sedikit saja ke sisi yang lain, yaitu sisi kenegaraannya, secara tiba-tiba rasa bangga tersebut hilang dari hati ini. Karena di situlah letak kebobrokan Indonesia akan tampak dan karena itu pula Negara kita tercinta menjadi jelek di mata dunia. Banyak sekali kasus-kasus yang menimpa tanah air ini, mulai dari kasus korupsi yang hingga saat ini belum bisa diberantas, makelar kasus yang memperjualbelikan hukum, ekonomi dan pendidikan yang rendah yang belum ditemukan solusi untuk meningkatkannya, hingga teroris yang membuat para turis enggan dan merasa tidak aman untuk bertamu ke Negara kita ini dan membuat Manchaster United urung untuk mengadakan partai kesebisi di Gelora Bung Karno pertenngahan Juni tahun lalu.
Nah, setelah beberapa saat saya berpikir tentang kebanggaan tersebut, muncullah di pikiran saya bahwa sebelum kita benar-benar berbangga, kita harus terlebih dahulu membedakan kebanggaan terhadap bangsa Indonesia dengan bangga terhadap Negara Indonesia. Bangga pada Bangsa Indonesia berarti berbangga dengan apa yang dimiliki bangsa Indonesia, mulai dari budaya, alam, adat, suku dan kekayaan-kekayaan lainnya. Berbeda kemudian dengan bangga pada Negara Indonesia, jika bangga pada Negara Indonesia maka kita akan membanggakan pemerintahan dan ketatanegaraan Indonesia. Padahal apa yang bisa kita banggakan dari pemerintahan Negara kita ini selain kebobrokannya. Memang, jika kita berbicara Negara, bangsa pun akan masuk di dalamnya. Tapi Negara cakupannya lebih luas dan yang nampak pertama adalah bagaimana tatanan kenegaraannya bukan kekayaan dan budaya.
Satu alasan untuk menguatkan pendapat saya ini. Yaitu perpedaan bangsa dan Negara. Mari kita mengingat kembali tentang arti Negara dan bangsa yang menjadi pembahasan pelajaran Pendidikan dan Kewarganegaraan.
Negara adalah suatu organisasai dari sekelompok atau beberapa manusia yang bersama-sama mendiamai satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tersebut, atau negara bisa juga berarti satu perserikatan yang melaksanakan satu pemerintahan melalui hukum yang mengikat masyarakat dengan kekuasaan untuk memaksa terjadinya ketertiban sosial. Masyarakat ini berada dalam satu wilayah tertentu yang membedakannya dari kondisi masyarakat lain diluarnya.
Sedangkan bangsa adalah orang-orang yang memilki kesamaan asal keturunan, adat bahasa dan sejarah serta berpemerintahan sendiri. Atau juga merupakan suatu kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan wilayah tertentu di muka bumi. Dengan demikinan bangsa indonesia adalah sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan yang sama dan menyatakan dirinya sebagai satu bangsa serta berproses di dalam satu wilyah: Nusantara/ Indonesia.
Nah, dari sinilah kemudian saya menyimpulkan dan yakin bahwa sebenarnya dan sepatutnya yang kita banggakan adalah bangsa Indonesia bukan Negara Indonesia. Karena kekayaan yang ada di Indonesia sebenarnya milik bangsa Indonesia bukan Negara. Sebab Negara Indonesia baru terbentuk setelah kemerdekaan sedangkan bangsa Indonesia atau Nusantara terbentuk jauh sebelum kemerdekaan RI dideklarasikan oleh Soekarno. Hanya saja, karena bangsa Indonesia berada dalam Negara Indonesia maka secara otomatis kekayaan itu seakan milik Negara Indonesia seutuhnya.
Untuk itu sejak sekarang mari kita berbangga dengan bangsa Indonesia atau Nusantara. Karena bangsa Indonesia kaya akan budaya, alam, suku dan agama serta berperilaku ramah yang membuat orang-orang luar Indonesia tertarik pada Indonesia. Dan tidak bangga dengan Negara Indonesia. Jika kita bangga Negara Indonesia berarti kita bangga dengan adanya tikus berdasi yang semakin hari terus berkembang biak, bangga dengan perdagangan hukum yang menindas mereka yang tidak bisa membelinya, berbangga dengan keamanan Indonesia yang lemah yang menjadi surga yang indah bagi mereka para teroris.


Wednesday 12 May 2010

Gus Dur, Indonesia, dan Islam


Judul Buku : Gus Dur Sang Guru Bangsa
Penulis : Wasid
Penerbit : Interpena, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2010
Tebal : xxx + 186 halaman
Peresensi : Ahmad Al Matin

Ada sebuah ungkapan berbahasa Arab yang mengatakan bahwa orang yang mempunyai ilmu akan terus hidup meskipun jasadnya telah mati dan dikubur dalam tanah. Pepatah itu telah terbukti pada Gus Dur. Benar, Gus Dur telah wafat pada tanggal 30 Desember 2009 kemarin, namun hingga saat ini beliau masih terasa hidup di tengah-tengah kita. Hal itu disebabkan karena Gus Dur adalah orang pintar atau berilmu yang meninggalkan ilmunya untuk kita semua yaitu rakyat Indonesia umumnya dan ummat Islam khususnya. Atau yang lebih ringkasnya pemikiran Gus Dur.
Sebagai seorang tokoh yang terlahir dari kalangan pesantren, Gus Dur mempunyai pemikiran yang melebihi pemikir lainnya. Tidak hanya para pemikir yang sama-sama dari pesantren saja yang mengakui hal itu, dari luar kalangan santri atau pesantren banyak yang mengakui tentang pemikiran Gus Dur yang lebih luas dari yang lain. Pemikiran Gus Dur yang luas tersebut sebenarnya dilatar belakangi oleh latar belakang pendidikan Gus Dur yang komplet. Seperti yang telah tertulis dalam buku ini bahwa selain mengenyam pendidikan pesantren, Gus Dur juga pernah mengenyam pendidikan luar pesantren.
Perjalanan pendidikan Gus Dur dimulai dari SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta pada tahun 1954. Namun pada tahun itu juga dia langsung dipindahkan oleh ibunya, Nyai Sholicha ke SMEP Yogyakarta. Di Yogyakarta inilah pemikiran Gus Dur diasah. Beliau mulai suka membaca buku-buku bahasa Inggris, karya-karya sastrawan dunia seperti Hewingway, Steinbeck, Malraux dan Faulkner, juga buku-buku pemikiran kiri seperti Das Kapital karya Karl Marx. Dan pada tahun 1959 Gus Dur kembali ke dunia pesantren, beliau ‘mondok’ di Pesantren Tambakberas Jombang asuhan KH. Wahab Hasbullah dan juga sesekali melakukan komunikasi intensif dengan sang Kakek dari ibunya, KH. Bisri Syansuri (hal 87).
Setelah itu, dia melanjutkan sekolahnya ke Mesir pada tahun 1964 untuk belajar ilmu-ilmu agama di Ma’had Al Dimsat Al Islamiyah di lingkungan Al Azhar Islamic University. Sesampainya di sana, beliau kecewa dengan sistem pengajaran yang dipakai di sana yang menitikberatkan pada sistem hafalan saja. Namun meskipun demikian, beliau menfaatkan waktu di Kairo dengan sebaik mungkin, yaitu dengan menghabiskan waktunya di salah satu perpustakaan yang lengkap di Kairo, termasuk American University Library.
Dari Kairo, Gus Dur terbang ke Baghdad. Di kota ini, beliau melewatinya dengan penuh rasa bahagia karena mempelajari sastra Arab, filsafat dan teori sosial Eropa. Di sana juga kultur sebagai aktivis tumbuh dan berkembang dari kepribadian Gus Dur, hingga tercatat pernah menjabat Ketua Persatuan Mahasiswa Indonesia untuk Timur Tengah masa bakti 1964 hingga 1970 (hal 89). Dan setelah itu, beliau terbang ke Kanada untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam di McGill University.
Dari pengalaman-pengelaman dan perjalan pendidikan seperti ini juga bermacam-macamnya bacaan yang telah dilahap, lahirlah sebuah pemikiran yang sangat komplet dan kritis dari Gus Dur. Tidak hanya kaedah-kaedah pesantren yang beliau gunakan sebagai landasan pemikirannya, tapi juga hasil pemikiran-pemikiran orang barat. Namun, yang perlu dicatat di sini selama Gus Dur berada di luar negeri tak ada satu pun ijazah yang beliau dapatkan. Karena setelah satu kuliah hampir selesai beliau langsung membiarkannya dan pindah ke kuliah yang lain. Juga karena beliau tidak terlalu mempermasalahkan formalitas ijazah, yang terpenting bagi beliau adalah bagaimana proses mendapatkan ilmu.
Dengan berbagai latar pendidikan yang telah beliau lalui, pemikiran Gus Dur seakan sulit dicapai oleh orang lain terutama oleh mereka orang-orang awam. Kemudian pemikiran beliau tersebut beliau gunakan untuk merubah lingkungan dan bangsannya. Mulai dari NU dengan gagasannya untuk kembali ke khittah 1926 sampai ke Indonesia dengan ide-ide pluralismenya yang beliau lakukan semasa beliau menjadi presiden.
Dengan pemikiran-pemikirannya tersebut Gus Dur mampu menempatkan dan menyesuaikan diri di mana dan kapan saja. Seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si. dalam Kata Pengantar buku ini (hal xx). Gus Dur ibaratnya seorang pemain sepak bola, beliau mampu bermain di posisi apa saja, belakang, tengah atau depan serta mampu berimprovisasi secara memadai. Beliau juga tidak hanya seorang play maker yang hanya mengatur permainan saja, tetapi juga mampu menjadi target man atau bahkan stopper yang handal. Di sinilah tak seorang pun yang mampu menandingi beliau.
Nah, proses keilmuan Gus Dur yang komplet dari berbagai sumber menjadikan Gus Dur menjadi individu kosmopolitan dan senantiasa menawarkan joke-joke segar bukan hanya membangun rasa kritisisme dalam menyikapi persoalan sosial kehidupan, tapi juga dalam model guyonan yang membuat kita terpingkal-pingkal. Seperti ungkapan yang beliau ucapkan “Gitu aja kok repot”, sebuah ungkapan yang menyimbolkan agar seorang tidak terlalu mempersulit masalah tapi mempermudahnya. Tradisi yang juga dikenal di kalangan umat Islam sebagai yasshiru wala tuassiru.
Buku ini merupakan dari sekian buku yang disajikan oleh para penulis untuk kita rakyat Indonesia secara umum dan Islam khususnya, agar terus mengenang Gus Dur dan juga meneruskan apa yang beliau inginkan, yaitu NKRI yang tentram dan anti perpecahan. Tidak hanya itu, buku ini juga mengajak kita untuk mempelajari lebih mendalam tentang pemikiran Gus Dur terhadap Islam dan Indonesia. Bagaimana kita menggabungkan pemikiran Islam dan barat untuk membangun Negara lebih maju dan anti perpecahan.
Namun, layaknya semua sesuatu di dunia ini, buku ini juga mempunyai kekurangan. Buku yang diangkat dari tesis penulisnya ini mempunyai bahasa yang lumayan tinggi yang kemudian membuat buku ini terasa berat untuk dibaca. Tidak hanya itu pula, tak ada sedikit pun arus yang mengalir dari buku ini. Artinya, jika anda membaca buku ini siapkanlah sebuah hiburan setelahnya karena anda merasa bosan dengan buku ini. Selamat membaca.


Resensi ini dimuat di RADAR SURABAYA edis Minggu 9 Mei 2010


Wednesday 28 April 2010

MENJADI PEMIKIR PESANTREN YANG UP TO DATE

Berbicara tentang pesantren, pastinya secara otomatis terbersit dalam benak kita tentang sebuah lembaga pendidikan yang dihuni banyak orang-orang yang mempunyai akhlak yang mulia, tawadu’ dan mempunyai pengetahuan agama Islam yang cukup mendalam. Namun siapa sangka ternyata pesantren yang selama ini kita banggakan dan kita cintai ternyata dianggap sebagai sebuah lembaga yang kaku, ketinggalan zaman dan terkesan lamban dalam merespons perkembangan dan pemikiran yang bersifat kekinian.
Mengacu pada hal itu, ada beberapa kelompok yang cukup—menghindari kata ‘sangat’—menjauhi Islam terutama kalangan non-Islam. Hal ini kemudian membuat islam keluar dari misi utamanya sebagai Rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Anggapan tentang pesantren yang seperti itu sebernanya disebabkan karena bebepara pesantren—terutama pesantren-pesantren di Sumenep—masih mengandalkan pemahaman teks dalam pengembangan pendidikan dan keilmuan Islam. Hal ini sebagaimana telah dikatakan oleh beberapa pemikir Islam kontemporer seperti Muhammad Arkoun, Fazlur Rahman dan Abid Al Jabiri bahwa selama ini perkembangan keilmuan Islam hanya terpaku kepada pemahaman teks saja. Sehingga mengakibatkan beberapa tokoh pemikir kontemporer menyatakan bahwa yang membentuk peradaban Islam adalah peradaban teks, bukan yang lainnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah produk atau hasil pemikiran dan pemahaman seseorang dari sebuah teks tidak akan terlepas dari alur yang diberikan teks itu sendiri. Artinya, hasil pemikiran tersebut tidak mempunyai ruang lingkup yang luas. Jika teks yang dikaji adalah teks berasas Islam maka ruang lingkup yang diberikan hasil pemikiran orang tersebut hanya mencakup Islam secara khusus saja dan tidak untuk secara umum untuk pemikiran luar Islam.
Dari itu kemudian Mohammed Abid Al Jabiri menghadirkan ‘tri-epistemologi’ dalam proyeknya naqd al ‘aql al ‘arby (kritik Nalar Arab). Melalui proyek ini Al Jabiri mengungkap kecenderungan epistemologis yang berlaku bangsa Arab dan umat Islam pada umumnya. Al Jabiri mencoba menganalisa kecenderungan-kecenderungan umat muslim yang secara kreatif melahirkan berbagai produk pemikiran yang berbeda yang ternyata didominasi oleh interpretasi teks yang sama.
Tiga epistemologi tersebut pertama, epistemologi bayani. Epistemologi ini merupakan bentuk nalar yang sangat menekan otoritas teks (nash), baik secara langsung atau tidak, dan dijustifikasi akal keabsahan yang digali melelalui inferensi (istidlal). Kedua, epistemologi irfani yaitu nalar yang berdasarkan pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan, atau lebih singkatnya berdasarkan pengalaman. Ketiga, epsitemologi burhani yaitu bentuk nalar yang bedasarkan akal dan melalui proses logika.
Menurut Al Jabiri, ketiga epistemologi ini membunyai hubungan sirkulatif dalam menyikapi problema dan mencari kesimpulan dalam pemikiran. Hal ini dikarenakan hanya dengan hubungan sirkuliatif dari ketiga epistem inilah akan diperoleh kebenaran yang menyeluruh yang hal ini tidak akan mungkin dicapai oleh salah satu epistem dengan sendirinya. Selain itu dengan adanya kerja sama yang apik ini akan merubah konstruksi pemikiran Islam yang lebih memperhatikan problem kemanusian, bukan malah menjauhi apalagi pemicunya. Hal ini mengingat bahwa kerja dari ketiga epistemologi tersebut adalah mencari kebenaran (moral etik) dalam kehidupan.
Mengamalkan Qaidah Fiqhiah
Sejalan dengan teori tri-epistemologi yang dikemukakan Abid Al Jabiri sebuah Qaidah fiqhiah yang sering kita dengar dan sangat kita hafal, yaitu Al Muhafadzah Alal Qadim Wal Akhdu Bi Jadidil Aslah (melestarikan tradisi lama dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Dari Qaidah ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa melestarikan tradisi lama atau al Qadim (teks) itu diharuskan, namun tidak mengesampingkan atau bahkan membuang tradisi-tradisi baru yang sekiranya lebih baik dan sesuai dengan zamannya.
Mengaca dari qaidah tersebut sepatutnya kita sebagai umat Islam tidak hanya mengedepankan pengkajian teks saja tapi juga mengkaji realita atau kondisi dan sintuasi zaman yang kita hadapi saat ini. Lalu hal itu kemudian dicocokkan atau digabungkan dengan tradisi lama atau pengkajian teks yang sekiranya juga sesuai dengan zaman ini. Sehingga hukum-hukum Islam yang telah ditetapkan oleh Rasulullah dan tertulis dalam kitab-kitab klasik bisa relevan dengan zaman kita saat ini.
Nah, ketika teori yang dikemukan oleh Al Jabiri dan Qaidah Fiqhiah di atas ini kita realisasikan, pastinya pendidikan dan pemikiran Islam tidak akan lagi terkesan kaku dan tidak relevan dengan zaman. Dan dengan ini pula kita akan memunculkan sebuah anggapan bahwa pemikir-pemikir Islam yang lahir dari pesantren ternyata juga mampu menjadi pemikir yang up to date. Waallahu ‘Alam bis Shawab.

Tulisan ini dimuat di RADAR MADURA Edisi Jumat 21 Mei 2010


PENDIDKAN KORUPSI

Beberapa bulan terakhir ini, berita tentang kourupsi semakin menjadi berita yang—sepertinya—menjadi berita wajib diterbitkan, baik itu di media cetak maupun audio visual. Seperti rumput-rumput liar di taman, keberadaan mereka, para koruptor, semakin hari semakin bertambah dan bertambah. Membuat Negara kita tercinta ini menjadi semakin terpuruk dan terluka. Ditambah lagi kasus ‘perdagangan hukum’ yang beberapa waktu terakhir ini menjadi tema perbincangan yang sangat menarik.
Terlepas dari pada itu, keadaan pendidikan Negara kita pun juga sangat memperihatinkan. Tidak hanya masalah banyaknya jumlah anak yang tidak mampu mengenyam pendidikan. Tapi juga tingkat kejujuran para praktisi pendidikan dalam melaksanakan UN. Seperti yang telah dilansir Mendiknas beberapa waktu lalu yang ternyata kejujuran mereka rata-rata masih di bawah 50%, termasuk juga Ibu Kota Negara, Jakarta. Hanya satu kota yang melebihi 50%, yaitu DIY Yogyakarta. Sungguh saya ingin menangis mengingatnya. Betapa tidak, bila hal itu terbukti kebenarannya berarti hampir keseluruhan dari siswa lulusan dari SLTP dan SLTA sebenarnya tidak lulus. Karena hasil ujian yang mereka peroleh merupakan suatu kebohongan belaka yang dilakukan oleh praktisi pendidikan.
Kaitannya dengan korupsi, jika di sekolah atau lembaga pendidikan lain para guru sudah mulai mempraktekkan kasus korupsi, bukan tidak mungkin di kemudian hari murid-murid atau para siswa sekolah juga akan akan melakukan hal yang sama di kemudian hari. Seperti yang telah kita ketahui dari pelajaran akhlak atau tatakrama—terlebih dalam istilah Islam—sebuah ungkapan “Jika gurunya kencing berdiri muridnya akan kencing berlari”.
Dari ungkapan tersebut dapat kita simpulkan bahwa jika seorang guru melakukan korupsi sebesar 1 juta rupiah, bisa saja muridnya di kemudian hari melakukan korupsi sebesar 1 milyar rupiah. Jika hal itu benar-benar terjadi pastinya Negara kita tercinta ini akan semakin terpuruk. Tidak hanya sekolah saja yang mempengaruhi hal tersebut, lingkungan keluarga pun cukup berpengaruh. Memang orang tua tidak akan pernah merasa mengajarkan hal seperti itu, tapi sikap, cara bicara dan cara berpikir orang tua mudah dipelajari oleh anak dan akan menjadi warisan. Karena seorang anak—terlebih mereka yang masih dalam masa pertumbuhan—akan lebih cenderung meniru tingkah laku orang tuanya. Jika orang tuanya bertingkah laku tidak baik, maka anaknya juga melakukan hal yang sama, dan seperti itu sebaliknya.
Jadi, jika saat ini para orang tua dan guru berani melakukan korupsi atau penyuapan, dan di suatu hari hal itu ditiru anak, maka jangan marah. Karena mereka hanya meniru tingkah laku para guru dan orang tua saja. Seperti juga Negara kita, jika saat ini Negara kita dipenuhi dengan kasus korupsi, maka kita perlu mengkoreksi kembali seperti apa tingkah laku para pendahulu kita, apa mereka juga melakukan hal yang sama.
Dididik untuk Korupsi
Seperti yang telah ditulis di atas bahwa seorang anak mempunyai kecenderungan dan sangat mudah untuk meniru tingkah laku orang tuanya. Nah, ketika seorang anak sudah meniru dan merasakan sebuah kesenangan dengan meniru itu, pastinya si anak pun akan terus ingin melakukannya dan bisa saja menjadi hobi. Selanjutnya, ketika korupsi menjadi suatu kesenangan atau hobi maka secara tidak langsung seorang anak yang telah mengaplikasikan perbuatan orang tuanya tersebut tidak akan menghiraukan hukum. Dia akan terus melakukannya untuk kesenangan dirinya. Yang selanjutya menjadi koruptor cilik.
Dan jika itu benar-benar terjadi, sepantasnya pula sebuah hukum yang selama ini ingin ditegakkan sulit untuk bergerak. Karena koruptor cilik itu akan terus berulah, tidak memperdulikan hukum yang akan menjeratnya. Jika hukum itu ‘berani’ menjeratnya, maka ia pun tidak segan untuk membeli hukum agar tidak bisa menyentuh apalagi menjeratnya atau bahkan akan ‘membunuh’ hukum itu sendiri.
Dari ini kemudian bisa kita simpulkan bahwa sebenarnya para koruptor yang telah merajalela di Negara kita tercinta ini merupakan hasil didikan para penduhulu mereka. Hal itu akan terus berlaku dan bejalan jika tidak ada yang mampu mencegahnya. Salah satu pencegah pendidikan korupsi adalah dengan adanya sebuah pendidikan moral yang ditanamkan sejak diri oleh para orang tua. Karena orang tualah yang selalu ada di samping anak, tetapi tidak hanya di lingkungan keluarga saja, lingkungan sekolah pun sangat perlu diapliasikan pendidikan moral. Karena apabila seseorang yang pintar belum tentu mempunyai moral yang bagus atau aklaqul karimah yang kemudian mampu menggunakan kepintarannya itu kebaikan. Hal itu sudah terbukti terhadap para pejabat Negara yang hanya pintar otak namun tidak pintar hati atau bermoral tinggi.


Saturday 24 April 2010

MENYELAMI KISAH DASAR LAUT


Judul Buku : The Deep (Dasar Laut)
Penulis : Helen Dunmore
Penerjemah : Rosemary Kesauly
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2010
Tebal : 304 halaman

Keindahan dasar laut membuat kita sejenak melupakan semua problema yang kita hadapi. Laut yang penuh dengan tumbuhan bawah laut nan indah, karang-karang, dan ikan warna-warni yang pastinya akan membuat kita tercengang melihat kekuasaan Tuhan itu. Namun, selain memiliki keindahan, laut juga membawa musibah dan masalah yang kemudian merubah kehidupan kita yang dulu terasa tentram, nyaman nan indah menjadi penuh kisah sedih dan masalah yang tak kunjung selesai. Mungkin itulah sedikit gambaran tentang cerita yang diungkapkan oleh Helen Dunmore dalam empat bukunya Tetralogi Ingo.
Setelah sukses menceritakan tentang laut pada buku pertama (Ingo) dan kedua (The Tide Knot), Helen kembali mengajak kita kembali menyelam ke dalam kisah-kisahnya tentang laut. Dalam buku keempat ini, diceritakan bahwa kaum Mer meminta bantuan kepada Sapphire untuk menidurkan Kraken, seekor monster yang bersemayam di dasar laut. Menurut sejarah kaum Mer, jika monster tersebut tidak ditidurkan, ia akan menghacurkan Ingo. Untuk mencegahnya kaum Mer hanya memiliki dua pilihan, menidurkannya atau memberikan sepasang anak laki-laki dan perempuan. Sedangkan untuk menidurkannya harusada yang pegi ke dasar laut. Dan hanya mereka yang berdarah campuran manusia dan Mer yang bisa sampai ke dasar laut.
Namun, meskipun pertolongan dari Sapphire sangat dibutuhkan oleh kaum Mer. Sapphire tidak langsung menyanggupi permintaan mereka. Ia masih mempertembingkannya lagi. Terlebih Conor, kakak Sapphire dan Faro sahabatnya dari Mer, tak akan membiarkannya pergi ke dasar laut tanpa mereka berdua. Karena menurut Saldowr, penasehat kaum Mer dan Granny Carne, wanita tua yang tinggal di sebelah rumah Sapphire yang juga banyak tahu tentang Mer, perjalanan ke dasar laut bukanlah hal yang mudah, di sana banyak sekali bahaya yang menanti. Oleh karena itu, Sapphire kemudian meminta bantuan ikan Paus baik yang pernah membantunya keluar dari dasar laut dulu saat terbawa arus ketika banjir melanda kotanya.
Singkat cerita, Sapphire pun bisa memenuhi permintaan kaum Mer untuk menidurkan Kraken. Cerita selanjutnya dari novel tersebut adalah rencana Mum dan Roger untuk pergi ke Australia untuk berlibur selama beberapa bulan. Di sini, Sapphire dihadapkan pada dua pilihan antara ikut berlibur ke Australia untuk membahagiakan Mum atau tetap tinggal di rumahnya agar bisa sewaktu-waktu mendatangi Ingo dengan bebas. Nah, di masalah ini kemudian Granny Carne mempunyai andil cukup besar dalam menyelesaikan masalah. Wanita tua yang cukup dijauhi anak-anak ini kemudian membantu Sapphire, Conor dan Mum mencari jalan keluar dari masalah ini, meskipun masalah ini kesannya hanya sepele.
Cerita lainnya adalah rencana Sapphire dan Faro untuk melakukan penyebrangan Ingo, sebuah adat dari kaum Mer sebagai bukti perubahan seorang anak menjadi dewasa setelah melakukannya. Namun, cerita ini hanya dijelaskan sedikit saja karena cerita inilah yang akan menjadi cerita inti pada buku keempatnya nanti.
Di novel ini Sapphire belum bertemu lagi dengan Dad, meskipun di beberapa bab hal itu sempat diperbincangkan oleh Sapphire dan Conor. Secara keseluruhan, novel ketiga lebih kaya akan konflik dan jalan ceritanya lebih menarik. Ada beberapa tokoh Mer baru dengan karakter protagonis maupun antagonis yang turut meramaikan.
Sampai tiba akhir, novel ini sama sekali tidak menjelaskan ketakutan Mer. Di dalam Bab Empat sebenarnya hal ini sudah ditanyakan Sapphire pada Rapat Besar Mer, namun tidak ada jawaban yang pasti. Mereka hanya ketakutan harus memberikan anak-anak mereka kepada Kraken. Padahal seperti yang diutarakan Sapphire, kaum Mer hidup di Ingo dan tidak mungkin bisa ke dasar laut. Kraken hidup di dasar laut dan tidak akan pernah ke Ingo.
Dengan novel ini Helen Dunmore membuktikan kepiawaiannya dalam menjalin benang merah dari setiap sekuel dan mengeksploitasi laut dan isinya menjadi hal-hal yang mendebarkan, tetap misterius tapi sangat memikat. Sehingga mau tidak mau, kita akan dipaksa untuk berlama-lama untuk menyelesaikan kisahnya. Yang kemudian membawa kita terseret ke dunia Ingo dan percaya kehidupan bawah laut itu ada. Kita pun semakin penasaran untuk mengenal laut yang sebenarnya. Ingo memang dunia yang luar biasa.
Selamat Membaca!