Monday 1 December 2014

Geliat Desa Seribu Bunga

=Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kota Batu

            Ada beragam sebutan yang disandang beberapa daerah. Sebutan itu kadangkala mempertegas keberadaannya, seperti Desa Seribu Bunga yang disematkan untuk Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kota Batu. Disebut demikian, karena nyatanya di desa tersebut tersebar ribuan jenis bunga warna-warni. Seperti apakah kondisinya?
            Desa Seribu Bunga, tidak lagi hanya ada dalam cerita fiksi atau dongeng. Adalah Desa Sidomulyo, yang benar-benar ditumbuhi lebih dari seribu jenis bunga. Desa tersebut juga tampak segar, asri, hijau dan berwarna-warni oleh mekarnya kembang sepanjang tahun. Itu berbeda dengan daerah kebanyakan di Jawa Timur, yang hingga Bulan November masih ada yang kering.
            Sidomulyo adalah desa yang terletak di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan suhu berkisar 18-23 °C. Tanahnya pun relatif subur. Lantaran tanah subur inilah berbagai macam tanaman, terutama bunga bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Wajar bila Sidomulyo dijuluki sebagai Desa Seribu Bunga lantaran beragam macam bunga tumbuh di sana.

            “Bunga memang menjadi ikon desa kami. Lebih dari seribu jenis bunga ada di Sidomulyo,” kata kepala desa (Kades) Sidomulyo, Suharto. Hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh seluruh warga Sidomulyo. Mereka berlomba-lomba membudidayakan berbagai macam jenis bunga. Mulai dari mawar, melati, teratai, dan berbagai macam jenis lainnya.
            Tak hanya pekarangan, kebun, halaman rumah atau tepi jalan, sawah pun mereka tanami bunga. Karena dari bungalah income itu didapat. Data yang diterima Derap Desa, dari jumlah penduduk sekitar 7.649 jiwa, 90 persen di antaranya adalah petani bunga.
            Kades Suharto tak mengelak jika kehidupan warganya sangat bergantung pada bunga. Karena selain menjadi petani bunga, warga Sidomulyo juga menjadi pedagang bunga dan tengkulak bunga. Itu bisa dilihat dari kondisi sepanjang jalan protokol Desa Sidomulyo, yang dipenuhi kios dan toko bunga.
            Kios-kios tersebut tiap hari didatangi pembeli dari berbagai daerah. Harganya pun variatif dan relatif murah, mulai dari Rp 500 perbatang hingga ratusan ribu rupiah untuk bunga-bunga hias dengan kualitas nomor wahid. Selain dijual di kawasan Malang Raya, bunga-bunga Sidomulyo juga dikirim ke luar kota seperti Kediri, Surabaya, dan kota di luar Jawa Timur.
            Bahkan, daerah luar Jawa, seperti Bali, Kalimantan, dan Sumatera termasuk menjadi pasar bunga-bunga hasil tanah Desa Sidomulyo. “Setiap dua hari sekali saya kirim bunga ke Kediri, Surabaya dan kota lain di Jatim. Kalau luar pulau seperti Sumatera dan Kalimantan, bergantung pesanan. Tapi sekali kirim bisa lebih dua truk,” kata Ahmad Syahroni, salah satu tengkulak bunga Desa Sidomulyo.

Sejak Zaman Belanda
            Keberadaan Desa Sidomulyo sebagai desa bunga sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Bahkan, semasa Kolonial Belanda, desa itu sudah terkenal sebagai desa yang memiliki potensi alam yang cocok untuk tanaman bunga. “Bertani bunga itu sudah jadi warisan nenek moyang warga desa sini. Karena sejak kecil kami memang diajari bertani bunga,” cerita Suharto.

            Seakan tak ingin kehilangan potensi alam yang cukup bernilai, Pemkot Batu sejak tahun 2012 memberikan perhatian cukup spesial terhadap Desa Sidomulyo. Kala itu, berbekal dana Rp 2 miliar dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Walikota Batu, Eddy Rumpoko merintis Desa Sidomulyo menjadi Desa Wisata Bunga. Hal itu
mendapat sambutan positif dari banyak pihak.
            Tak hanya warga Desa Sidomulyo, warga dari luar daerah ikut bergembira dengan adanya Desa Wisata Bunga. Sejak saat itu, banyak wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia berbondong-bondong mendatangi Sidomulyo. Mereka datang tak sekadar berwisata, tetapi juga belanja bunga sambil menambah pengetahuan seputar budi daya bunga.
            Meski para wisatawan datang tidak untuk membeli bunga, para petani bunga Sidomulyo tak masalah. Bahkan, ketika ada salah satu wisatawan yang bertanya tentang budi daya bunga, mereka dengan senang hati menjelaskannya atau bahkan memberi contoh prosesnya.
            “Kami memang petani dan pedagang bunga, tapi kami sangat senang bisa membantu orang. Apalagi mereka ingin tahu tentang cara menanam bunga yang baik,” kata Sukadi, salah satu petani dan pedagang bunga di Desa Sidomulyo. (mtn)

Data Desa
Kepala Desa                         : Drs Suharto
Sekdes                                   : Hermanto
Kaur Pemerintahan           : Suyanto
Kaur Pembangunan          : Sugianto
Kaur Kesra                            : M Ismail
Kaur Keuangan                   : Misnu
Kaur Umum                         : Hadi Suyitno
Kasun Tinjumoyo               : Suwarnito
Kasun Tonggolari               : Juma’ali
Kasun Sukorembug           : Usman Imron
Jumlah Penduduk              : 7.649 Jiwa (2.206 KK)
Luas Wilayah                       : 270,821 Ha
Batas Desa
            -Utara                        : Kecamatan Bumiaji
            -Timur                       : Kecamatan Bumiaji
            -Selatan                     : Kelurahan Sisir
            -Barat                                    : Desa Sumber Rejo

Ibu Rumah Tangga Lebih Berdaya
            Berbicara Desa Sidomulyo, tak hanya tentang panorama alamnya yang indah dengan berbagai macam bunga. Tetapi juga tentang masyarakat, terutama kaum perempuan dan ibu rumah tangga, yang memiliki wawasan tinggi. Mereka yang sehari-hari menjadi petani bunga atau ibu rumah tangga, ternyata tidak kalah dari wanita lain yang berpendidikan tinggi. Mereka mampu dengan luwes berbicara tentang isu-isu terbaru baik politik, hukum, atau HAM. Bahkan tak jarang dari mereka yang hafal undang-undang di luar kepala.
            Adalah Sekolah Perempuan (SP) Batu yang membuat para perempuan ini berwawasan tinggi dan melek informasi. SP Batu yang berpusat di Desa Sidomulyo berdiri sejak 23 Agustus 2013. Di tahun pertama berdiri, sekolah tersebut mendapatkan respon positif dari masyarakat. Terbukti, saat pertama kali dibuka, SP Batu langsung mendapatkan 130 orang siswa. Mereka tidak hanya dari Desa Sidomulyo, tetapi dari desa tetangga seperti Gunungsari, Sumberrejo, Bulukerto, dan Kelurahan Sisir.
            Melihat respon masyarakat yang cukup baik, Siti Zulaikah, Koordinator SP Batu sangat gembira. Bahkan, ia tidak menyangka jumlah peserta yang datang kala itu melebihi perkiraannya. “Waktu itu kami hanya menargetkan 50 orang dengan asumsi dua kelas. Tapi ternyata yang daftar 130 orang. Jadi kami harus membagi menjadi empat kelas,” cerita Yuli, sapaan akrab Siti Zulaikah.
            Lantaran mayoritas siswanya ibu rumah tangga, maka waktu pembelajaran menyesuaikan kegiatan mereka. Waktunya dimulai dari jam 13.00 WIB hingga jam 15.00 WIB, yang rutin dilaksanakan setiap Senin hingga Kamis pada minggu pertama hingga minggu ketiga.
            “Waktu ini dipilih karena pada umumnya masyarakat selesai bekerja pada jam satu. Kemudian jam tiga biasanya ada kegiatan desa,” imbuh Rr Dinna Soertia Perwitasari, salah seorang Pengurus SP Batu yang menyediakan saran pembelajaran sekaligus kantor sekretariat SP di rumahnya.
            Soal materi, SP Batu membagi materinya menjadi 60 persen pengetahuan dan 40 persen keterampilan. Materi itu merujuk pada kebutuhan dan pengalaman perempuan yang bersifat praktis dan strategis. Tujuannya, membangun dan memperkuat kepemimpinan perempuan di pedesaan.
            Setelah satu tahun berjalan, SP Batu kian dikenal di kalangan masyarakat luas. Di tahun keduanya ini, ada 150 orang terdaftar menjadi siswa. Bahkan, Kades Sidomulyo, Suharto, terang-terangan siap memberikan fasilitas yang dibutuhkan. Karena kegiatannya sangat membantu kemaslahatan warga desa. “Kegiatan mereka sangat membantu program Pemdes dan PKK. Mereka membantu kami memberdayakan perempuan,” tuturnya. (mtn)

Suharto, Kades Sidomulyo
Gali Ikon, Fasilitasi Kebutuhan Masyarakat
            Desa Sidomulyo memang dianugerahi potensi alam yang berlimpah. Panorama yang indah, tanah yang subur, dan udara yang sejuk membuat Desa Sidomulyo memiliki berbagai macam kelebihan. Selain lahan yang mampu menghasilkan berbagai tumbuhan, desa tersebut seringkali menjadi destinasi wisata.
            Sadar akan berlimpahnya potensi yang dimiliki desanya, Kades Sidomulyo, Suharto bertekad menjaga dan melestarikan potensinya. Semenjak dilantik menjadi Kepala Desa Sidomulyo pada November 2013 lalu, beberapa program dia jalankan sebagai upaya mempertahankan pertanian bunga yang menjadi ikon desa.
            Hal ini dilakukan lantaran dia sadar meski saat ini bunga sudah menjadi ikon utama tetap perlu dijaga dan dilestarikan. Karena bagaimana pun setiap sesuatu perlu dijaga dan dilestarikan agar tetap eksis dan tidak hilang ditelan waktu. Apalagi, mayoritas warga Desa Sidomulyo menggantungkan kehidupan mereka pada bunga.
            “Saya dan perangkat desa yang lain siap memfasilitasi kebutuhan masyarakat. Terutama yang ada kaitannya dengan pertanian bunga. Karena bunga ini sudah sangat khas dengan desa ini, jadi jangan sampai hilang,” kata Suharto.
            Ia berinisiatif menyewakan tanah kas desa kepada para petani agar digunakan sebagai lahan pertanian bunga. Tidak hanya itu, pihaknya meminta perangkat desa yang tanah bengkoknya tidak digunakan agar disewakan ke petani yang membutuhkan. Karena Desa Sidomulyo memang tidak memiliki lahan luas untuk pertanian.
            Meski begitu, dengan lahan cukup sempit dengan luas hanya 100 meter persegi hingga 200 meter persegi, sudah bisa mencukupi kehidupan satu keluarga. “Karena desa memiliki tanah yang subur dan cocok untuk pertanian bunga,” papar pria kelahiran 16 Oktober 1966 ini.
            Tidak hanya petani bunga yang mendapat perhatian, keberadaan Sekolah Perempuan (SP) Batu di Dusun Sukorembug juga tak luput dari perhatiannya. Ia menilai, SP Batu terus berlanjut, bukan tidak mungkin SP Batu menjadi ikon baru Desa Sidomulyo. Apalagi SP Batu sudah mengangkat derajat wanita Sidumulyo dan sekitarnya, satu tingkah lebih tinggi. (mtn)

Data Diri
Nama                         : Drs Suharto
Tetala                         : Batu, 16 Oktober 1966
Istri                             : Nasuhin Suharto
Anak                          : 2 (dua) orang
Cucu                           : 2 (dua) orang

Penddidikan Terakhir       : S-1 IKIP Budi Utomo Malang

Tulisan ini dimuat di Majalah Derap Desa Edisi 86, Desember 2014


Candi Menara Yang Istimewa

=Situs Candi Singosari

            Singosari adalah sebuah kerajaan yang menguasai Jawa sebelum Majapahit. Kerajaan itu lebih tersohor juga karena kisah Ken Arok dan Ken Dedes. Meski begitu, jangan lupakan Candi Singosari, yang memiliki hubungan erat dengan sejarah Kerajaan Singosari.
            Bila berkunjung ke Malang, tentu tidak lengkap jika tidak mampir di kompleks pariwisata purbakala di Kecamatan Singosari. Di kompleks tersebut banyak situs peninggalan Kerajaan Singosari yang masih utuh hingga saat ini. Salah satu yang paling banyak dikunjungi adalah Candi Singosari.
            Candi Singosari terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Candi ini, menurut Soetikno, penjaga situs Candi Singosari, ditemukan pada sekitar awal abad 18 (tahun 1800-1850) yang kemudian oleh orang Belanda diberi nama atau sebutan Candi Menara. 
            Pemberian nama tersebut disebabkan bentuknya yang menyerupai menara. Sempat juga diberi nama Candi Cella oleh seorang ahli purbakala bangsa Eropa dengan berpedoman adanya empat buah celah pada dinding-dinding di bagian tubuhnya.

            Menurut laporan W. Van Schmid yang mengunjungi candi ini pada tahun 1856, penduduk setempat menamakan candi itu dengan Candi Cungkup. “Akhirnya nama yang hingga sekarang dipakai adalah Candi Singosari karena letaknya di Singosari. Ada pula sebagian orang menyebutnya dengan Candi Renggo karena letaknya di Desa Candirenggo,” kata Soetikno.
            Menurut laporan tertulis dari para pengunjung Candi Singosari dari tahun 1803 sampai 1939, dikatakan, Candi Singosari merupakan kompleks percandian yang luas. Di dalam kompleks tersebut terdapat tujuh buah bangunan candi yang sudah runtuh dan banyak arca berserakan di sana-sini. Salah satu dari tujuh candi yang dapat diselamatkan dari kemusnahan adalah Candi Singosari.
            Sayangnya, arca-arca yang terdapat di kompleks Candi Singosari kala itu banyak yang dibawa ke Belanda. Sedangkan arca-arca yang saat ini berada di halaman Candi Singosari, berasal dari candi yang sudah musnah. Bentuk bangunan Candi Singosari, cukup istimewa. Karena candi tersebut seolah-olah mempunyai dua tingkatan.
            Lazimnya, bilik-bilik candi berada pada bagian badan candi, namun pada Candi Singosari justru terdapat pada kaki candi. Bilik-bilik tersebut pada awalnya juga terdapat arca di dalamnya yakni di sebelah utara berisi arca Durgamahisasuramardhini, sebelah timur berisi arca Ganesha dan di bagian selatan terdapat arca Resi Guru yang biasa terkenal dengan sebutan Resi Agastya.
            “Saat ini hanya tinggal arca Resi Agastya. Arca lainnya sudah dibawa ke Leiden, Belanda. Alasan mengapa arca resi Agastya tidak dibawa serta ke Belanda adalah mungkin karena kondisinya yang sudah rusak parah, sehingga tidak layak dibawa sebagai hadiah kepada penguasa negeri Belanda, pada saat itu,” paparnya.
            Kecuali itu, ada hal lain yang menarik diamati pada Candi Singosari. Menurut Syakir Hidayat, Mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang (UM), hal tersebut adalah hiasan candi. Umumnya bangunan candi dihias dengan hiasan yang rata pada seluruh badan atau bagian candi. Pada Candi Singosari tidak terdapat hal yang demikian. Hiasan Candi Singosari tidak seluruhnya diselesaikan.
            “Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Candi Singosari dahulu belum selesai dikerjakan tapi kemudian ditinggalkan,” paparnya ketika menyambangi Candi Singosari bersama Derap Desa.
            Syakir bercerita, sebab-sebab ditinggalkannya candi tersebut berkaitan erat dengan adanya peperangan yang terjadi pada sekitar tahun 1292. Peperangan antara Raja Jayakatwang dari kerajaan Gelang-gelang dengan Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari, yang menghancurkan Kerajaan Singosari.
            Raja Kertanegara beserta pengikutnya dibunuh.  Diduga, karena masa kehancuran (pralaya) Kerajaan Singosari itulah, maka Candi Singosari tidak terselesaikan dan akhirnya terbengkalai. Selain itu, di halaman Candi Singosari masih terdapat beberapa arca yang tersisa, beberapa di antaranya berupa tubuh dewa/dewi meskipun bisa dibilang tidak utuh lagi.
            Bahkan terdapat satu arca Dewi Parwati yang memiliki bagian kepala yang terlihat ‘aneh’. Tampaknya bagian tersebut bukan merupakan kepala arca yang sebenarnya. Karena kepala arca yang sebenarnya diduga putus dan tidak ditemukan lagi. (mtn)

Bersejarah dan Favorit Anak Muda
            Situs Candi Singosari menjadi destinasi wisata yang selayaknya  dikunjungi setiap orang Indonesia. Tidak hanya menjadi tempat wisata bersejarah, Candi Singosari seperti menjadi tempat wajib para kawula muda untuk bersantai di akhir pekan.
            Hal itu terbukti ketika Derap Desa singgah ke Candi Singosari, akhir Agustus 2014 lalu. Di halaman candi terlihat beberapa muda-mudi yang bercengkrama dan bercanda. Sambil berfoto-foto mereka terlihat menikmati sore di akhir pekan yang terasa sejuk di Kabupaten Malang. “Saya dan teman-teman memang sering datang ke sini. Biasanya cuma nongkrong dan foto-foto,” ungkap Arofi, siswa MA Al Maarif Singosari Malang.
            Menurut Soetikno, penjaga situs Candi Singosari, warga sekitar candi memang banyak yang sering mengunjungi candi tersebut. Pasalnya ada sebagian masyarakat yang masih melakukan ritual.  Kecuali itu, di akhir pekan tidak jarang para pemuda yang berbondong-bondong datang untuk berfoto bersama teman-temannya.

            “Kalau anak-anak muda itu biasanya datang ke sini foto-foto. Kadang di sini juga dijadikan tempat pemotretan majalah juga,” katanya. Tidak hanya dari daerah Malang saja, para pengunjung berdatangan dari luar Malang dan Jawa Timur. Bahkan, tak jarang turis mancanegara yang berkunjung ke candi peninggalan Kerajaan Singosari itu. (mtn)  

Tulisan Ini dimuat di Majalah Derap Desa Edisi 86, Desember 2014


Tuesday 2 September 2014

Berkat Tenun, Rakyat Sejahtera & Desa Berprestasi


=Desa Wedani, Kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik

Desa Wedani makin moncer dan kondang. Tak hanya potensi desa yang beragam, namun desa di wilayah Kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik itu juga sukses meraih juara ketiga lomba desa tingkat Jawa Timur. Semua itu antara lain tak lepas dari motto yang dicanangkan yakni PRIMA (Prioritas, Ramah, Ikhlas, Murah Senyum, dan Adil). Bagaimana sepak terjang para perangkat dan warganya?

Setiap pelayanan yang diberikan kades (kepada desa) dan para perangkat desa harus gratis tanpa ada pungutan sepeser pun. Kalau pelayanan cepat dan nyaman bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Apalagi, hampir setiap hari ada warga yang hendak merintis usaha dan tentu perlu keterangan dari desa.
Siapa pun akan kagum dan terpesona saat pertama kali menginjakkan kaki di Desa Wedani. Betapa tidak, saat memasuki pemukiman desa yang sukses merebut juara III lomba desa di Jatim ini, sama sekali tak tampak adanya kesan kumuh, tak teratur dan ketinggalan zaman, seperti kebanyakan desa lain tak tampak di sana.
Wedani beda, dan mereka mampu mengkondisikan desa tampak asri, nyaman, rindang serta bikin siapa pun betah tinggal di sana. Permukiman warga desa ini selayaknya perumahan atau permukiman di kota. Terawat, teratur dan bersih. Bahkan, bangunan tidak layak huni tak terlihat lagi di Wedani.
“Saya bangga, senang dan puas karena desa ini menjadi juara III. Saya juga jadi tahu di mana yang harus kami perbaiki. Dari lomba tersebut saya tahu kekurangannya di mana. Jadi ke depan akan kami perbaiki,” kata Rohmad, kepala desa (Kades) Wedani, kepada Derap Desa di Kantor Desa Wedani.
Ia bercerita, dalam lomba desa yang diadakan Pemprov Jatim, yang menjadi andalan desanya adalah home industry, yaitu sarung tenun. Sarung tenun Desa Wedani yang masih menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) merupakan usaha turun temurun dari para leluhur. Hingga kini usaha tersebut masih terus dijalankan oleh hampir seluruh warga desa. Meski begitu, hasil produksi sarung tenun Desa Wedani memiliki kualitas yang tak kalah dari sarung produksi alat tenun modern.
Tahun 2009 menjadi titik bangkit usaha tenun Desa Wedani. Saat itu warga desa mengadakan kerjasama dengan Telkom Indonesia untuk mengembangkan usaha tenun. Kerja sama tersebut berupa pinjaman modal yang diberikan kepada warga yang ingin memperbesar usaha tenun mereka.
Semakin hari, usaha tenun yang digeluti sebagian besar warga makin tenar dan dikenal di berbagai penjuru pelosok negeri. Sarung tenun yang mayoritas sarung sutra memiliki kualitas bagus. Dengan desain motif dan warna yang beragam, buah tangan warga Desa Wedani mampu menggaet pasar di berbagai daerah di Indonesia bahkan luar negeri.
“Sarung-sarung dengan merek ternama seperti Donggala, Lamiri, Abu Yaman dan lainnya itu ada yang diproduksi di sini. Mereka meminta perajin tenun Wedani untuk memproduksi sarung dengan merek mereka di sini,” tutur Rohmad.
Berkembangnya home industry sarung tenun tangan memberikan dampak positif terhadap kondisi desa, baik secara ekonomi maupun sosial. Salah satunya adalah semakin bertambahnya tangan-tangan kreatif pemuda Desa Wedani yang memilih menjadi perajin tenun. Kondisi ini mengikis pengangguran desa.

Bahkan, menurut Rohmad, semua orang di Desa Wedani baik yang muda, tua, laki-laki atau perempuan, memiliki penghasilan sendiri-sendiri. Mereka seperti tidak saling bergantung pada anggota keluarga lainnya dalam mencari nafkah. Hal ini dikarenakan proses pembuatan sarung tenun yang masih manual, tidak menggunakan mesin.
“Sampai saat ini sudah banyak yang membuka usaha di luar desa, kecamatan bahkan sampai keluar kabupaten. Dengan adanya perkembangan usaha diharapkan pendapatan perkapita meningkat dan juga menyerap tenaga kerja, baik dari dalam maupun luar Desa Wedani,” harap Romad.
            Meningkatnya jumlah perajin tenun di Desa Wedani membuat pendapatan masyarakat desa bertambah. Menurut Rohmad, pendapatan masyarakat Desa Wedani di sektor perdagangan tahun 2013 mencapai Rp 119 milyar dan menjadi yang tertinggi dari sektor-sektor yang lain.
            Sektor lain yang juga memberikan sumbangan yang cukup signifikan pada perekonomian Desa Wedani adalah sektor pertanian yang mencapai Rp 7 milyar,  perikanan sebesar Rp 7 milyar, home industry sebesar Rp 90 juta, dan sektor peternakan sebesar Rp 800 juta di tahun 2013.
            “Total pendapatan masyarakat Desa Wedani pada tahun 2013 mencapai Rp 135 milyar atau naik sebesar 12,5% dari tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Desa Wedani semakin sehat. Sedikit banyak ini juga dampak dari perkembangan usaha tenun,” imbuhnya. (mtn)
            =====================

Berkat PKK, Angka Buta Huruf Nol
Keberhasilan Desa Wedani menyabet gelar juara III lomba desa se-Jatim edisi 2014, tak lepas dari peran PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga). Di desa tersebut, peran PKK begitu besar di setiap hal. Bahkan dalam proses pembangunan desa, PKK Desa Wedani ikut andil di dalamnya.
“PKK desa kami aktif. Kegiatannya banyak. Dari Pokja I sampai Pokja IV semuanya jalan. Bahkan di setiap RT itu juga aktif. Di sini PKK punya peran sangat penting bagi kelangsungan pembangunan dan perkembangan desa,” tutur Kades Rohmad yang menjabat sejak dua tahun lalu.
Salah satu program PKK Desa Wedani yang sangat berdampak pada perkembangan desa adalah Keaksaraan Fungsional (KF). Keaksaraan Fungsional yang merupakan program pengentasan buta huruf menjadi perhatian utama PKK Desa Wedani dalam beberapa tahun terakhir. Bukti kongkretnya, angka buta huruf dari tahun ke tahun semakin menurun. Di tahun 2012 angka buta huruf sebanyak lima orang yang semuanya lansia.
“Di tahun 2013 buta huruf sudah nol. Ini semua berkat PKK yang sangat berperan aktif. Tidak hanya itu, untuk orang tua, sekolah kejar paket juga sudah ada. Ini semua berkat inisiasi PKK dan keinginan masyarakat untuk terus maju dan berpengetahuan luas,” lanjutnya.
Sedangkan soal gelar gelar juara III dalam lomba desa Pemprov Jatim membuat Desa Wedani menjadi salah satu desa yang masuk dalam kategori desa maju. Kemajuan Desa Wedani tentu tidak hanya berada dalam satu sektor, namun banyak hal, termasuk ekonomi, pendidikan, dan infrastruktur desa.
Bagi orang yang baru pertama menapakkan kaki di desa ini, hal pertama yang akan membuatnya kagum adalah infrastruktur desa dan permukiman warga yang tertata rapi, layaknya perumahan dan perkampungan tengah kota. Lantaran itu, pujian mengalir pada Kades Wedani. Bagi Rohmad, kondisi desa yang seperti itu bukanlah hasil kerja dirinya sebagai kades seorang, tapi tim.
Pembangunan dan perkembangan desa yang semakin hari semakin bagus tidak lepas dari peran aktif masyarakat. Mereka bergotong-royong membangun desa, baik secara tenaga maupun materi. Tak jarang warga desa mengumpulkan uang kas dari setiap acara di RT atau perkumpulan warga lainnya dipakai sebagai dana pembenahan kampung dan fasilitas umum lainnya.
“Di RT masing-masing ada kegiatan PKK setiap minggu seperti yasinan. Nah, dari setiap kegiatan mingguan itu diadakan uang kas. Istilahnya di sini kas wedok (perempuan). Yang laki-laki juga ada, di setiap RT juga ada kumpulan yasinan, bikin kas juga, namanya kas lanang. Kas-kas ini kemudian dibuat membangun desa,” kata Rohmad.
Partisipasi warga Wedani pembangunan desa, kata Rohmad, tidak lagi 100% melainkan 1000%. Bahkan, saat Desa Wedani diumumkan akan mengikuti lomba desa, antusiasme warga tinggi. Mereka tanpa ragu meluangkan waktu dan materi membantu pemerintah desa mempersiapkan desa mengikuti lomba.
“Warga itu tanpa disuruh langsung memperbaiki sarana yang kurang baik dan rusak. Bahkan yang sekiranya dibutuhkan dibangun dan dibuat,” kata Suparto, Kaur Keuangan, menimpali.
Suparto menyatakan, saat persiapan lomba, masyarakat dengan suka rela mengumpulkan dana untuk membantu Pemdes mempersiapkan desa mengikuti lomba. Dana yang mereka kumpulkan tidak sedikit, tetapi tiga kali lipat dari dana anggaran pemerintah desa. “Itu yang kami salut pada warga,” lanjutnya. (mtn)

DATA DESA
Kepala Desa                : Rohmad
Sektretaris Desa          : Tasmiran
Kaur Keuangan            : Suparto
Kaur Umum                 : Mizan Baroni
Kasi Ekang                   : Bambang S.
Kasi Pemerintahan      : Abd Kadir
Kasi Kesra                    : H. Moh. Zaelani
Jumlah Penduduk        : 3.699 Jiwa
Jumlah KK                    : 879 KK
Luas Desa                    : 458,3 Ha.
Batas desa
-Utara              : Desa Padeg
-Timur             : Desa Kambingan
-Selatan                       : Desa Kandangan
-Barat                          : Desa Gedangkulut 

Tulisan ini dimuat di Majalah Derap Desa Edisi 83 September 2014


Thursday 7 August 2014

‘Saja Berdjoang, dengan Tjarakoe, dengan Biolakoe’


Makam W.R. Soepratman, Pencipta Lagu Indonesia Raya

Apa yang paling berarti dari seorang musisi jika bukan lagu ciptaannya? W.R. Soepratman menjadi satu-satunya musisi Indonesia paling legendaris. Lagu ciptaanya memang tidak meraih piala citra atau semacamnya. Melainkan melalui lagunyalah Indonesia mendapatkan kemerdekaan.
Sore itu terik matahari di langit Surabaya masih terasa cukup menyengat. Sore itu, bersama beberapa belas pemuda asal Madura, DD mendapatkan kesempatan untuk berziarah ke makam musisi paling legendaris di Indonesia yang terdapat di Jl Kenjeran Surabaya ini. Di sini, peziarah tidak hanya mendapatkan pengalaman religiusnya, tetapi juga akan mendapat tambahan pengetahuan tentang riwayat hidup pencipta lagu kebangsaan Indonesia ini.
“Bagi kami W.R. Soepratman itu tidak hanya sekedar seorang pahlawan kemerdekaan saja. Tapi juga panutan yang mengajarkan bagaimana kita berjuang. Beliau mengajarkan kalau berjuang mendapatkan kemerdekaan itu juga bisa lewat musik,” terang Dzakir Ahmad, ketua rombongan pemuda asal Madura ini.  
Memang, di antara sederet pahlawan pejuang kemerdekaan di masa pergerakan tersebut W.R.Soepratman memiliki perbedaan dengan para pahlawan lainnya. Jika pahlawan lain melawan penjajah melalui perjuangan fisik, diplomatik dan tekanan politik, W.R. Soeprtaman berjuang lebih mengandalkan ketajaman dari gesekan biolanya yang mampu membakar semangat perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah ketika itu.

Di antara improvisasi lagu lewat gesekan biolanya yang kemudian menjadi sebuah karya spektakuler dan membahana di seluruh Nusantara sepanjang masa adalah Lagu Indonesia Raya, yang hingga kini menjadi lagu kebangsaan Indonesia. Ketenaran lagu ini bukan hanya dalam setiap peristiwa bersejarah di dalam negeri saja. Tetapi telah diakui manca negara karena syairnya yang mengandung semangat heroisme perjuangan bangsa Indonesia. Lewat daya ciptanya W.R. Soepratman telah membuktikan bahwa perjuangan bisa dilalui lewat sudut mana saja termasuk melalui musik.
Guru, Musisi Jazz, dan Wartawan
Menurut prasasti yang terdapat di kompleks makamnya, pemilik nama lengkap Wage Rudolf Soepratman, lahir pada hari Senin Wage tanggal 9. Maret 1903 di Jatinegara, Jakarta. Di masa kecilnya ia diasuh oleh kakak iparnya bernama W.M. Van Eldik (Sastrornihardjo). Soepratman semasa kecilnya tergolong siswa paling cerdas di sekolahnya namun ia mulai belajar memetik gitar dan menggesek biola ketika diajak kakak iparnya hijrah ke Makasar, Sulawesi Selatan.
Di kota ini ia masuk sekolah guru. Setelah lulus sekolah itu ia langsung diangkat menjadi guru. Namun, meski ia Seorang guru dan mengajar murid-muridnya di sekolah umum, ia pantang meninggalkan musik untuk mengekspresikan hobinya. Guna menyalurkan hobi musiknya di Makassar ia mendirikan kelompok musik Jazz, namanya Black And White, di bawah binaan W.M. Van Eldik, sampai tahun 1924. Melalui musik jazz inilah W.R. Soepratman mulai mencipta lagu-lagu perjuangan yang tersohor dengan ritme heroiknya itu.
Sebagai sosok pejuang yang gigih untuk kemerdekaan bangsanya ia berjuang tidak hanya mealalui musik, tetapi juga terjun langsung ke dunia jurnalistik. Hal ini dapat dibuktikan, pada tahun 1924 ia menjadi wartawan surat kabar Kaoem Moeda di Bandung, kemudian tahun 1926 menjadi wartawan Sin Poo di Jakarta. Semasa menjadi wartawan ia sangat rajin mengunjungi rapat-rapat pergerakan nasional di Gedung Pertemuan Gang Kenari Jakarta.
Sejak itu ia mulai mencipta berbagai jenis lagu perjuangan, termasuk lagu Indonesia Raya yang diselesaikan tahun 1928. Sejak itu pula W.R. Soepratman dikejarkejar polisi pemerintah Hindia Belanda. Penghargaan terakhir karya ciptanya pada Kongres Pemuda di Jakarta, 27-28 Oktober 1928. Waktu itu diputuskan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Setelah itu pada tahun 1930 W.R. Soepratman dibawa saudaranya pindah ke Surabaya dalam kondisi sakit. Meski dalam kondisi sakit ia pantang berhenti berjuang untuk kemerdekaan bangsanya.
Dalam prasasti tersebut juga dituliskan, Pada tanggal 7 Agustus 1938, ketika memimpin Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan menyiarkan lagu Mata Hari Terbit di Radio Nirom Jl. Embong Malang Surabaya, ia ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Kalisosok Surabaya. Pada Rabu Wage, 17 Agustus 1938, W.R. Soepratman meninggal dunia di Jl. Mangga No 21 Surabaya tanpa istri dan anak karena ia belum menikah. Ia dimakamkan secara Islam di Makam Umum Kapasan, Jl. Kenjeran Surabaya.
“Nasipkoe soedah begini. Inilah yang di soekai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Biar saja meninggal, saja iclas. Saja toh soedah beramal, berdjoang, dengan tjarakoe, dengan biolakoe. Saja yakin Indonesia pasti merdeka,” begitulah pesan terakhir W.R. Soepratman sebelum meninggal sebagaimana tercantum dalam prasasti di kompleks makamnya. (mtn)

Tulisan ini dimuat di Majalah Derap Desa, Edisi 82 Agustus 2014


Tak lagi Bergantung Pada Garam


Desa Gersik Putih, Kec. Gapura, Sumenep

Madura dikenal sebagai pulau garam. Namun tidak semua orang tahu tentang kampong buje (kampung garam), yakni desa pemasok garam di Madura. Salah satunya adalah Desa Gersik Putih, Kec. Gapura, Sumenep.
Sore itu matahari sedikit tertutup awan. Deretan tambak garam yang berada di samping jalan terlihat sepi. Hanya ada satu dua orang yang melewati tanggul-tanggul pembatasnya. Di sana, tak sedikit pun terdapat tanda-tanda butiran putih kecil pertanda air laut sudah air garam muncul. Yang tampak hanya air yang memantulkan cahaya matahari yang mulai berwarna oranye.
“Memang sekarang tidak akan ada garam di tambak-tambak ini. Karena sekarang bukan musimnya garam,” tutur Tabroni, salah satu warga yang menemani Derap Desa berkeliling tambak dan kampung tersebut.
Apalagi, saat itu masih musim hujan. Artinya, tidak ada satu pun petani yang menggarap lahan mereka untuk bertani garam. Sebaliknya tambak-tambak yang mereka miliki lebih banyak digunakan sebagai tempat memelihara ikan, seperti ikan bandeng dan ikan mujair. Hasilnya pun tak kalah dengan hasil bertani garam. Bahkan melebihi.
Sebenarnya, banyak yang menjuluki desanya itu sebagai Kampong Buje, atau dalam bahasa Indonesia artinya Kampung Garam. Julukan ini muncul lantaran desa Gersik Putih ini merupakan salah satu pemasok garam terbesar di Sumenep setelah desa Pinggir Papas dan Kalianget. Dari luas desa luas 4.848.409 m2 hampir separuh diantaranya merupakan lahan tambak garam.
Tambak garam yang sangat luas ini pun dimanfaatkan masyarakat dengan baik. Sehingga tak jarang penduduk desa Gersik Putih ini menjadi petani garam dan bekerja di PT Garam. Tercatat, dari jumlah penduduk sekitar 1500 jiwa, 30 persen diantaranya menjadi tenaga kerja untuk PT Garam, baik yang bekerja sebagai penggarap lahan ataupun bekerja sebagai mandor atau tim kantor.
Proses produksi garam sebenarnya hanya bisa dilakukan pada musim kemarau saja. Namun, cara produksinya yang sederhana menjadi penyebab warga desa ini memilih menjadi petani garam. Hasilnya pun tidak bisa dibilang sedikit. Hanya saja, kemudahan tersebut tidak lantas membuat petani garam menggantungkan seratus persen hidup mereka pada garam. “Garam itu kan musiman, pas musim kemarau saja. Di luar itu ya sudah habis. Kami cari garapan lainnya,” terang Jamaluddin, salah salah seorang petani garam di desa itu.

Menurut Jamaluddin, ketergantungan pertanian garam pada cuaca menjadi faktor utama banyaknya warga desa Gersik Putih yang mulai enggan bertani garam. Garam memang sangat membutuhkan terik matahari. Sedikit saja mendung saat proses penjemuran, maka jerih payah petani garam terancam sia-sia.
Tidak hanya itu, menurut As’ad, para petani garam asal Gersik Putih merasa sangat terkekang dengan adanya lahan pegaraman tersebut. Pasalnya, lahan yang berdampingan dengan lingkungan masyarakat bukanlah milik masyarakat Gersik Putih sendiri, melainkan milik perusahaan negara yaitu PT Garam. Dengan ini, hasil dari pertanian garam pun harus dibagi lagi dengan PT Garam selaku pemilik lahan. Dengan pembagian ini pun income untuk warga setempat berkurang.
Dari ini kemudian banyak petani garam mencari alternatif pekerjaan lain untuk menambah penghasilan mereka. Bagi mereka yang memiliki tambak sendiri memilih untuk menjadi petani tambak dengan memelihara ikan badeng di tambak mereka. Ada juga masyarakat yang bersedia memelihara ikan bandeng di tambak orang lain dengan sistem bagi hasil ketika panen. Pemeliharaan ikan bandeng sendiri biasa dilakukan pada musim penghujan dan berakhir pada musim kemarau. Ada juga yang memeliharanya melebihi waktu yang ditentukan atau sampai pada musim kemarau berlangsung, dengan alasan untuk lebih memperbaiki kualitas ikan yang masih kecil.
“Alhamdulillah, lumayan banyak ketika musim panen tiba, asal ikannya berkualitas bagus dan tidak begitu banyak yang mati. Biasanya, ikan-ikan bandeng yang telah dipanen akan dijual ke pasar melalui belijjhe  yang membelinya langsung di tambak panen ikan,” cerita Sagiman salah satu Petani Tambak yang juga petani Garam.
Pekerjaan alternatif  warga Gersik Putih tidak hanya petani tambak, bagi sebagian wanita yang tidak memiliki pekerjaan tetap, biasanya mereka akan mencari congcong (semacam siput kecil di pinggir pantai). Pekerjaan ini dapat memakan waktu dan tenaga yang ekstra. Karena selain harus mengumpulkan congcong sebanyak mungkin, keberadaannya pun sudah mulai berkurang. Biasanya, untuk mengumpulkan congcong sebanyak ukuran karung beras, para pencari harus menggunakan waktunya dua hingga tiga jam.
Tidak hanya itu, proses pencarian hingga penjualannya masih juga memerlukan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar lima hari. Congcong yang sudah diperoleh dari pantai kemudian akan direbus dan diambil bijinya dengan cara dicongkel, dikumpulkan, lalu dijual. Proses penjualannya masih menunggu penampung atau orang yang membutuhkan congcong itu. “Harga jual biji congcong yaitu berkisar antara Rp1.250 hingga Rp1.400 per tekaran yaitu dengan menggunakan gelas kecil sebagai takarannya,” terang Atun, seorang ibu rumah tangga yang menjadi pencari cingcong. (mtn)

Permukiman Padat, Solidaritas Kian Rekat
Pada umumnya, pemukiman di Madura menganut sistem Taneyan Lanjhang atau Halaman panjang. Taneyan Lanjhang ini merupakan halaman berbentuk memanjang dengan beberapa rumah. Rumah-rumah tersebut ditinggali oleh beberapa keluarga dengan leluhur yang sama. Kebanyakan, Taneyan Lanjhang terdapat di desa-desa di Madura terutama yang desa pelosok dan pedalaman.
Namun tidak begitu dengan pemukiman di desa Gersik Putih, kec Gapura, Sumenep. Pemukiman di desa ini justru lebih mirip perumahan atau pemukiman di kota-kota. Bukan dengan halaman memanjang, melainkan perumahan yang berdempet dengan halaman sempit dan terdapat juga beberapa gang. Pemukiman seperti ini kemudian membuat rasa persaudaraan dan solidaritas antar warga makin erat.
Salah satu contoh kongkretnya ketika adalah satu warga membangun rumah. Jika di desa lain untuk membantu si tukang bangunan perlu menyewa orang, maka di desa ini tidak begitu. Para tetangga akan datang berduyun-duyun datang membantu pembangunan rumah itu tanpa dibayar. Bahkan dari saking banyaknya yang membantu, si tukang pun tidak bekerja dengan tangannya sendiri, ia lebih seperti mandor yang memberi instruksi kepada anak buahnya.
“Tak perlu dipertanyakan lagi! Solidaritas yang ada di masyarakat Gersik Putih itu memang sangat tinggi, Lek”, tutur Haryono, sekretaris Organisasi Pemuda Gersik Putih.
Menurut Nono, begitu Haryono kerap disapa, solidaritas yang dimiliki masyarakat seakan sudah menjadi budaya. Keakraban yang dimaksud adalah sebuah proses pertemanan yang sangat lekat. Artinya, keakraban adalah hubungan yang terjalin sedemikian lekat hingga tak terpisahkan, hingga kemudian terbentuklah penggemukan terhadap solidaritas dan menjadi budaya.
Seperti budaya lainnya, solidaritas yang terjadi dan telah dianggap sebagai budaya adalah sistem yang telah mengatur dan menuntut agar keakraban antara satu individu dengan individu lain terus dipupuk layaknya sebuah budaya yang harus dilestarikan. Maka kemudian solidaritas pada dan antarmasyarakat Gersik Putih adalah sebuah budaya yang mendarah-daging dan harus diajarkan secara turun-temurun seperti kebiasaan lainnya.
“Masyarakat Gersik Putih itu masyarakat yang sangat menjunjung akan pentingnya persaudaraan dan solidaritas,” imbuhnya. (mtn)

Tulisan Ini dimuat di Majalah Derap Desa, Edisi 82 Agustus 2014


Tuesday 3 June 2014

Tetap Gagah di Usia Renta


Candi Brahu, Bejijong, Trowulan, Mojokerto

            Candi Brahu adalah salah satu bukti peninggalan Kerajaan Majapahit. Candi bertinggi 25,7 m dan lebar 20,70 m, dibangun sejak sebelum Majapahit berdiri. Candi tersebut merangkum cerita Majapahit secara lengkap dari awal hingga akhir. Hingga kini kondisinya masih tegak berdiri kukuh, tak mengenal lelah meski usia sudah renta.
            Siang itu langit sedikit mendung saat DD beserta beberapa pengurus Lembaga Adat Budaya Majapahit (LABM) tiba di perempatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Tujuannya adalah Candi Brahu, yang letaknya sekitar 5 km dari perempatan Trowulan. Konon, umur candi tersebut lebih tua dari Kerajaan Majapahit.

            Candi Brahu siang itu tampak ramai. Beberapa rombongan mengelilingi kompleks candi sambil berfoto. Salah satu rombongan yang menarik perhatian adalah siswa SDN Sidokumpul, Gresik. Di tengah gurat kelelahan, mereka tetap asyik menyimak penjelasan sejarah Candi Brahu dari pengelola.
            “Candi ini biasa dikunjungi pelajar. Terutama mereka yang ingin mempelajari sejarah Majapahit. Karena Candi Brahu ini bagian pentingnya,” tutur Agus Purwanto, Ketua Dewan Pengurus Pusat LABM. Ia lantas bercerita, Candi Brahu merupakan salah satu candi yang ada dalam lingkungan situs Trowulan Kerajaan Majapahit.
            Candi Brahu, katanya, sudah ada sebelum masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, bahkan diperkirakan juga sudah ada sebelum masa Raja Brawijaya I. Bahwa Candi Brahu merupakan candi yang paling tua dibandingkan dengan candi-candi lainnya yang ada di situs Trowulan. Candi Brahu didirikan Mpu Sindok yang sebelumnya merupakan raja Kerajaan Mataram Kuno yang ada di Jawa Tengah.
            “Hal itu dijelaskan dari nama Brahu, yang berasal dari kata Wanaru atau Warahu. Itu nama sebuah bangunan suci keagamaan yang disebutkan di dalam prasasti tembaga Alasantan yang ditemukan kira-kira 45 meter di sebelah barat Candi Brahu,” ujar Agus.
            Menurut dia, prasasti tersebut dibuat pada tahun 861 Saka atau tepatnya 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Dari penuturan prasasti itu dijelaskan, Candi Brahu yang didirikan di masa Mpu Sindok adalah candi yang usianya lebih tua dibanding candi-candi lain. Bahkan lebih tua dari Kerajaan Majapahit.
            “Pada masa Kerajaan Majapahit, Candi Brahu digunakan sebagai tempat persembahyangan atau merupakan bangunan suci yang digunakan berdoa. Hal ini dapat dilihat dari temuan-temuan di candi tersebut. Seperti beberapa benda yang jadi alat-alat upacara keagamaan, berupa alat-alat upacara dari logam,” lanjut Agus.

Sinkretisme Hindu dan Budha
            Menurut beberapa penelitian, Candi Brahu dinyatakan sebagai candi agama Budha. Anggapan ini muncul karena candi itu memiliki stupa yang menjadi ciri-ciri candi agama Budha. Bentuk Candi Brahu berbeda dibanding candi-candi lain di situs Trowulan Kerajaan Majapahit. Bentuk tubuh atau badan Candi Brahu tidak tegas persegi melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk.
            Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar. Itu memunculkan anggapan bahwa Candi Brahu didirikan bukan pada masa kerajaan Majapahit, melainkan merupakan bangunan candi yang dibangun sebelum Kerajaan Majapahit.
            Selain itu, ada anggapan lain yang menerangkan bahwa Candi Brahu merupakan candi agama Budha. Anggapan ini berdasarkan penemuan beberapa benda kuno di sekitar kompleks candi, di antaranya alat upacara dari logam, perhiasan dan benda-benda dari emas, dan arca-arca logam.
            “Benda-benda ini kemudian disebut sebagai ciri-ciri agama Budha. Karena banyak orang yang mengatakan bahwa candi Brahu merupakan candi Budha” ujar Agus Purwanto.
            Ia menambahkan, dari reliefnya, Candi Brahu merupakan gambaran sinkretisme keagamaan, antara agama Hindu dan Budha. Dengan gambaran sinkretisme itu, hingga saat ini pemeliharaan Candi Brahu dilakukan oleh kedua agama tersebut. Awalnya candi ini berfungsi sebagai tempat pembakaran raja-raja Majapahit, namun asumsi itu tidak terbukti karena tidak ditemukannya sisa–sisa abu pembakaran jenazah.
            Meskipun tidak terbukti, menurut masyarakat sekitar Candi Brahu, candi ini dulunya berfungsi sebagai tempat pembakaran jenazah Raja Brawijaya I sampai IV. Tapi, hasil penelitian yang dilakukan terhadap Candi Brahu tidak menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi sekarang sudah kosong.
            Di era sekarang, selain sebagai tempat wisata, Candi Brahu kerap digunakan sebagai tempat kegiatan budaya Majapahit, khususnya Peringatan Srada dan Ruwat Nusantara Kerajaan Majapahit. Bahkan, tak jarang juga dipakai sebagai tempat pagelaran seni budaya Majapahit. 
Prihatin di Balik Kunjungan Yang Ramai
            Candi Brahu yang berlokasi di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, selalu ramai pengunjung, terutama pada hari libur. Candi yang dulu tempat pembakaran jenazah raja Majapahit itu, dalam satu minggu dikunjungi lebih dari seribu orang.
            Pada hari libur, misalnya, pengunjung ramai berdatangan ke sana. Tidak hanya ingin mengetahui sejarah candi, namun mayoritas pengunjung juga ingin menghabiskan waktu bersama teman dan keluarga, di bawah rindangnya pepohonan yang ada di halaman candi.
            Menurut Suyono (44), salah seorang pelestari Candi Brahu dari BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) Trowulan, dalam satu minggu, jumlah pengunjung mencapai seribu orang. Pada hari-hari biasa, pengunjung didominasi pelajar yang mengadakan wisata pendidikan sejarah.
            Sedangkan pada hari libur, pengunjung dari kalangan remaja yang ingin mengisi liburan bersama teman atau kekasih. “Kebanyakan pengunjung datang karena tempatnya nyaman. Selain itu ada juga yang kagum pada bentuk dan bangunan candi,” kata Suyono.
            Tetapi di balik keasrian situs Candi Brahu, ada perjuangan besar yang dilakukan delapan juru pelestari yang sehari-hari merawat candi tersebut. Pasalnya, sampai saat ini dana operasional untuk merawat candi bersumber dari beaya parkir pengunjung.
            Dana itu, setiap bulan disisihkan untuk membiayai operasional perawatan candi. Seperti membeli bahan bakar mesin pemotong rumput, alat-alat kebersihan dan lainnya. “Kami kelola secara swadaya. Hasil parkir kami sisihkan untuk kas, sebagian lagi untuk biaya perawatan,” kata Suyono, yang sudah sembilan tahun menjadi juru rawat Candi Brahu.
            Selain itu, keusilan dan kenakalan pengunjung kerapkali membuat jengkel Suyono dan teman-temannya. Tidak sedikit pengunjung yang nekat menaiki bangunan candi, meski pihaknya sudah melarang. “Sudah kami larang, takutnya merusak bangunan. Dulu dibiarkan, malah ada yang buang sampah sembarangan, dan corat coret tembok candi,” tuturnya. 

Tulisan Ini dimuat di Majalah DERAP DESA Edisi 80 Juni 2014