Monday 24 May 2010

Yang Terbaik untuk Kita

Masih tergiang di telinga saya saat salah satu Guru saya di MA Tahfidh Annuqayah dulu berkata, “Semua yang Allah berikan kepada kita adalah yang terbaik untuk kita tanpa terkecuali”. Dulu, saya tidak pernah percaya dengan kata-kata beliau karena menurut saya hal itu tidak masuk akal. Namun, sejak saya berada di Kota Surabaya, saya pun mulai merasakan dan mempercayai kata-kata itu. Semua yang telah terjadi dan Allah berikan kepada kita adalah yang terbaik untuk kita.
Dulu saat saya dihadapkan pada sebuah pilihan lanjutan studi atau kuliah, saya ngoto untuk kuliah di Yogyakarta. Karena menurut saya di sana adalah tempat yang tepat untuk meneruskan hobi saya dalam dunia tulis menulis. Waktu itu, saya tidak peduli pada pendapat orang tua saya yang melarang saya untuk kuliah ke Yogyakarta dengan alasan jarak yang sangat jauh. Karena saking ngototnya, saya pun mengatakan saya sanggup untuk cari biaya sendiri asalkan saya dizinkan untuk kuliah ke Yogyakarta.
Salah satu langkah yang saya ambil waktu itu adalah mengikuti seleksi beasiswa di UGM bagi siswa yang kurang mampu (saya lupa apa nama programnya). Saya pikir hal itu yang paling tepat untuk langkah awalnya. Namun, setelah mendaftar dan mengirimkan berkas-berkasnya, saya tidak lulus dalam seleksi berkas karena kurang memenuhi persyaratan.
Saya tidak menyerah sampai di situ, saya terus mencari informasi. Namun tidak ada yang pas dengan apa yang saya inginkan. Akhirnya, setelah beberapa waktu, melihat tidak satu pun beasiswa yang saya dapatkan, orang tua saya dan seluruh keluarga menyeruh saya untuk kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya saja. Tapi saat itu saya tidak langsung menjawab dengan alasan istikharah dulu, baik itu saya sendiri atau orang tua saya. Padahal waktu itu alasan istikharah tersebut hanya untuk mengelur waktu saja agar tidak menututi batas waktu pendaftaran di IAIN Sunan Ampel. Dan setelah beberapa waktu orang tua saya mengatakan kepada saya bahwa hasil istikharah orang tua saya adalah IAIN Sunan Ampel sekaligus mendesak saya untuk segera mendaftar. Dan akhirnya saya menyerah dan mendaftar di IAIN Sunan Ampel. Yang kemudian berakhir dengan diterimanya saya di IAIN Sunan Ampel Surabaya di Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Bahasa Arab.
Setelah sampai di Surabaya saya masih kurang sreg dengan IAIN Sunan Ampel. Saya menjalani semuanya setengah hati. Bahkan dari saking kurang sreg-nya saya dengan IAIN Sunan Ampel, tidak ada satu karya dan tulisan yang saya hasilkan pada waktu itu. Saya mulai frustasi. Dan tibalah pada suatu waktu, ketika itu saya baru datang kuliah, ketika sampai di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel (PESMA), tempat saya bermukim, saya melihat sebuah foto copy dari salah satu Koran lokal Surabaya edisi hari itu dalam satu halaman yang berisi rubrik opini. Dan penulisnya adalah salah satu mahasiswa yang tinggal di Pesma, yaitu Abd Basid. Seketika itu pula saya merasa iri dan ‘panas’, saya pun merasa tertantang untuk juga untuk menulis. Dan denger-denger dari teman-teman yang lain bahwa jika ada mahasiswa Pesma yang tulisannya dimuat di media akan mendapatkan imbalan dari pihan Pesma.
Saya mulai menulis kembali. Namun saya masih kurang beruntung untuk dimuat. Saya tidak menyerah, terus mencoba. Dan dalam waktu yang bersamaan saya mulai dekat dengan Abd Basid dan juga saya bergabung dengan LPM Solidaritas, LPM IAIN. Dan mulai saat itu saya terus berpacu untuk menulis. Baik itu opini, resensi atau puisi yang sudah menjadi darah bagi saya. Dan tepat pada tanggal 15 April 2010 tepatnya pada hari Jum’at, resensi saya yang berjudul “Buku, Pesta dan Cinta di Alam Soe-hok Gie” dari buku “Soe-hok Gie, Sekali lagi…” dimuat di Harian Bhirawa. Dari situ kemudian beberapa orang yang saya anggap orang penting di Pesma kemudian mengenal saya karena tulisan itu.
Sejak saat itu saya mulai sering sharing dengan Abd Basid dan teman-teman di LPM Solidaritas tentang tulisan. Semangat saya terus meningkat untuk menulis. Dan untuk kedua kalinya tulisan saya yang berupa resensi dimuat di Radar Surabaya pada tanggal 9 Mei 2010. Dan yang memberi tahu saya tentang hal itu adalah Abd Basid. Sungguh bahagia saya waktu itu. Sejak saat itu saya semangat saya terus tumbuh. Di LPM Solidaritas pun saya mendapatkan tempat yang ‘cukup diperhitungkan’ dalam segi tulisan.
Nah, itulah yang membuat saya tersadar dan merasakan tentang pemberian Allah kepada kita adalah yang terbaik oleh kita. Saya pun berpikir, andai saja saya tetap ngotot untuk kuliah di Yogyakarta saya yakin saya tidak mungkin akan mengalami dan merasakan hal yang begitu indah dan berarti ini. Sebuah perjalanan yang tidak mungkin saya lupakan dalam hidup saya.
Dari itu saya salalu mengucapkan banyak syukur kepada Allah tercinta. Juga kepada orang tua saya, ternyata benar, orang tua tidak akan mungkin menjerumuskan anaknya ke dalam jurang. I love you full, my father and mother.

LPM Solidaritas, Surabaya, 23 Mei 2010, jam 11:20


0 comments: