Thursday 30 December 2010

Tim ‘Garuda’ Vs Politisi

Indonesia menjadi unggulan untuk meraih kesuksesan di AFF Cup 2010. Namun, setelah laga final leg pertama di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur Malaysia, status itu memudar. meskipun pada leg kedua Indonesia mampu unggul 2-1 atas Malaysia, tetapi tetap saja tim ‘Garuda’ gagal membawa trofi AFF Cup pulang karena kalah agregat gol 2-4.

Banyak yang mengatakan bahwa penyebab terjadinya kekalahan tersebut adalah persoalan nonteknis yang dianggap kurang penting yang dilakukan PSSI dan beberapa pihak lainnya kepada Tim Garuda. Salah satunya, yang paling sering menjadi topik hangat di media-media adalah politisasi terhadap Timnas dan PSSI yang dilakukan oleh beberapa politisi Negara kita. Politisasi terhadap tim ‘Garuda’ mulai nampak setelah timnas menundukkan Filipina di semifinal dengan agregat 2-0. Sejak saat itu, banyak politisi yang mencoba mencari popularitas dengan cara dan kadar yang berbeda-beda. Mulai dari mengajak sarapan bersama, memberikan bantuan, hingga mengundang istigotsah bersama.

Politisasi timnas Indonesia tak hanya terjadi di dalam negeri saja. Namun ketika tim ‘Garuda’ melakoni laga tandang leg pertama di Bukit Jalil pun politisasi itu masih terus berlanjut. Sejumlah spanduk besar bergambar beberapa beberapa tokoh politik terpasang di salah satu sudut stadion.

Di antara beberapa spanduk yang dipasang, tampak empat spanduk bergambar tokoh politik populer. Antranya, Presiden SBY, Ketum PSSI sekaligus kader Golkar Nurdin Halid dan Ketum Golkar Aburizal Bakrie serta Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa.

Spanduk-spanduk tersebut di buat dengan besar yang sama. Dengan latar warna yang berbeda dan diberi lambang Garuda Pancasila. Bahkan spanduk Hatta sampai jelas memasang lambang partainya menjadi background (Harian Bangsa, Jawa Pos Group, Selasa, 28 Desember 2010).

Banyak tokoh yang menyayangkan ulah para politisi tersebut. Salah satunya adalah Burhanuddin Muhtadi, pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI). Dia berpendapat bahwa kesibukan dengan persoalan nonteknis yang dialami oleh para punggawa tim ‘Garuda’ bersama para politisi hingga beberapa jam sebelum keberangkatan ke Kuala Lumpur, mengakibatkan berkurangnya konsentrasi para pemain. Akibatnya, saatnya berlaga di Bukit Jalil tim ‘Garuda’ tidak bermain bagus, sering kehilangan bola dan kemudian menelan kekalahan 0-3 dari Malaysia (Detik News, Minggu 26 Desember 2010, 21:56 WIB).

Tidak hanya Burhanuddin saja yang merasakan seperti itu. Mantan Presiden RI, Megawati Soekarno Putri pun sangat kecewa terhadap sikap para politisi yang ‘mencuri kesempatan dalam kesempitan’ politik di timnas. Megawati menilai bahwa tindakan para politisi tersebut secara tidak langsung ingin mengklaim prestasi Timnas yang belakangan ini mulai menanjak.

Dia juga mengatakan bahwa olahraga memang salah satu lahan untuk berpolitik. Namun politik dalam berolahraga harus dimaknai sebagai sarana untuk membangkitkan nasionalisme dalam berbangsa dan bernegara (Detik News, Minggu 28 Desember 2010, 18:27 WIB).

Memang, apa yang telah dilakukan para politisi itu merupakan salah satu bentuk dukungan kepada Timnas. Tapi bukankah dukungan yang seperti itu merupakan dukungan yang overdosis dan  berakibat hilangnya konsentrasi para pemain dan staf Timnas dalam menghadapi final. Seperti yang dikatakan oleh pelatih Timnas, Alfred Riedl. Dia mengatakan kepada wartawan saat jumpa pers setelah laga leg pertama final di Bukit Jalil bahwa dia merasa terganggu terhadap beberapa sikap dan agenda para politisi terhadap tim ‘Garuda’.

Kini, hasil ‘ulah’ para politisi berbuah. Indonesia untuk kesekian kalinya menjadi Runner Up di AFF Cup. Sekali lagi, ini merupakan akibat dari sikap berlebihan yang dilakukan oleh beberapa pihak terutama para politisi yang cukup mengganggu kosentrasi para pemain untuk fokus meraih gelar di Asia Tenggara.

Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya para politisi Negara ini masih kurang sadar dan menyadari tentang porsi politik yang mereka jalankan. Dimana mereka bisa menjalannkannya dan untuk apa. Memang di olahraga juga harus ada politik. Tapi apakah yang mereka lakukan itu tidak berlebihan? Yang jelas sesuatu yang berlebihan akan berakibat buruk.

Lagi pula, jika memang kita ingin meniru kesuksesan Brazil, Italia, Inggris, Spanyol, dan Negara Eropa lainnya di bidang Sepak Bola setidaknya kita tidak mencampurkan urusan partai politik ke dalam Faderasi dan tim sepak bola. Karena faderasi sepak bola Negara yang sukses seperti CBF (Brazil), FIGC (Italia), RFEF (Spanyol), dan FA (Inggris) tidak pernah mencampuradukkan antara politik dan olahraga. Tentu saja kita tidak pernah mendengar salah satu pemicu utama Faderasi-faderasi tersebut gagal merengkuh juara karena campur tangan para politisi.

Mereka para politisi dan olahragawan Eropa tahu porsi dan tugas masing-masing. Politik dan olahraga ada tempat dan waktu masing-masing. Hal inilah yang perlu dicontoh oleh kita dan  para politisi. Mengingat bahwa potensi tim ‘Garuda’ untuk meraih sukses dalam dunia sepak bola dunia sangat besar.


0 comments: