Wednesday 7 December 2011

MENULIS ADALAH PROSES KEABADIAN

Malam ini gerimis tebal menyelimuti sebagian besar kota Surabaya. Membuat semua orang enggan untuk beranjak dari suasana hangat rumah atau kamar mereka. Begitu pula yang saya rasakan malam ini di kamar kos saya, sedangkan hasrat saya pada makanan atau makanan yang serba hangat sudah tak tertahan lagi padahal beberapa menit sebelumnya saya sudah menyantap sebungkus nasi.
Tak lama setelah itu gerimis pun berubah menjadi tipis. Tanpa basa-basi lagi saya mengajak keluar Izzy, teman lama saya sewaktu di pondok yang kebetulan selama dua hari terakhir berada di tempat saya karena ada tes seleksi wartawan di sebuah koran harian yang ada di Surabaya. Karena alasan perut kami sudah kenyang tetapi kami masih berhasrat pada minuman hangat, maka kami memutuskan untuk duduk saja di warung kopi tak jauh dari kos saya.
Sambil lalu memesan secangkir kopi dan Energen sereal favorit saya, saya dan Izzi memulai perbincangan dan cerita-cerita tentang hal-hal yang terjadi di kehidupan kami. Dulu sewaktu kami masih sama-sama di pondok, berbagi cerita atau cangkrukan bersamanya cukup sering saya lakukan karena memang kami cukup dekat dan sama punya hobi yang sama yaitu NULIS.
Nah, karena itu pula saat itu terbersit dalam benak saya untuk ‘curhat’ tentang ‘nasib’ tulisan saya yang beberapa bulan terakhir sulit untuk lahir dan bergentayangan di dunia ini. Pada Izzy saya ceritakan kalau saya saat ini terlalu sering membuang ide yang ada di otak saya dengan alasan tidak ada waktu atau tidak mood untuk nulis. Dia pun bilang bahwa alasan seperti itu seharusnya tidak menjadi kendala untuk tidak menulis karena, menurutnya, hal seperti itu bisa disiasati dengan mudah asalkan kita punya semangat dan kemauan besar untuk tetap nulis dan berkarya.
Bahkan menurutnya, jika seandainya dengan menulis surat cinta atau puisi berisi rayuan kepada pacar orang lain bisa membuat kita lebih bersemangat untuk nulis tiap hari dan eksis dalam dunia tulis-menulis, hal itu sah-sah saja. Karena menurutnya bukan isi dari tulisan itu yang penting melainkan dengan alasan mau diberikan pada perempuan itu kita bisa tetap semangat untuk nulis. “Cari saja hal yang paling gila dan tidak masuk akal yang bisa membuatmu tetap semangat dan konsisten dalam menulis. Jika itu memang satu-satunya cara buat kamu tetap bertahan dengan tulisan kamu,” ujarnya.
Memang terkadang banyak penulis yang mendapatkan banyak inspirasi dari seorang wanita, hal itu juga diakui oleh Izzy. Saat itu terlintas di benak saya seorang wanita yang beberapa waktu terakhir mengisi hati saya. Tetapi karena beberapa hal saat ini saya jauh darinya. “Mungkin karena aku jauh dari dia aku tak bisa dapet banyak inspirasi,” tersirat dalam benak saya.
Di akhir perbincangan karena kopi dan energen pesanan kami telah habis tak bersisa, Izzy mengatakan bahwa tanpa tulisannya, tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Plato, Karl Max, Al Ghazali, As Syafi’ie dan yang lainnya tak mungkin bisa kita kenal saat ini. Karena menurutnya menulis merupakan awal dari proses keabadian kita.
Dan inti dari semuanya adalah komitmen kita untuk menulis.


Wednesday 2 November 2011

Perempuan-Perempuan Itu

“perempuan datang atas nama cinta
bunda pergi karna cinta
digenangi air racun jingga dalam wajahmu
seperti bulan lelap tidur di hatimu
yang berdinding kelam dan kedinginan”

Sebait puisi ini cukup mewakili pengalaman dan pemahamanku tentang beberapa perempuan—yang tak memiliki ikatan denganku—yang pernah hadir dan memiliki keterkaitan erat denganku secara emosional.
Bagiku, perempuan merupakan sosok yang sangat penting. Jika diibaratkan dalam permainan sepak bola, perempuan seperti seorang play maker (pengatur permainan). Permainan bola yang bagus, mengalir dari kaki ke kaki dengan umpan-umpan cantik bergantung bagaimana si play maker itu mengatur ritmenya, tanpa seorang play maker maka sepak bola tak tampak kehindahannya. Begitu juga dengan perempuan, perempuan adalah salah satu bagian penting kehidupan kita, penentu keberhasilan, keindahan, keharmonisan, dan kekuatan kehidupan seorang laki-laki bergantung pada perempuannya. Karena bagi laki-laki termasuk diriku sendiri, perempuan adalah energi yang tak akan pernah hilang dan habis.
Tidak hanya itu, tanpa seorang perempuan tentunya kita semua tak akan bisa hidup di dunia ini karena kita lahir dari seorang perempuan atau lebih tepatnya seorang ibu. Di dalam Islam pun perempuan mempunyai tempat tersendiri, hal ini terbukti dengan beberapa hadits yang menerangkan tentang kemuliaan perempuan termasuk hadits tentang derajat seorang ibu tiga tingkat lebih tinggi dari seorang ayah. Bahkan ada hadits yang mengatakan “Surga ada pada telapak kaki seorang ibu”. Hal itu salah satu bukti kongkret bahwa seorang perempuan, termasuk juga ibu mempunyai peranan penting dalam kehidupan ini.
Nah, karena itu aku menulis tulisan ini. Yang aku ungkapkan sebenarnya bukan tentang ibuku melainkan beberapa orang perempuan yang pernah menghiasi hati dan hari-hariku (lebay dikit boleh lah. hehehe).
Seperti yang aku bilang di awal tulisan ini, perempuan bagiku energi. Hal ini yang aku rasakan saat aku dekat dengannya. Tapi ada satu hal yang mengganjal dalam benakku, aku sering menyebutnya ‘penyakit’. Penyakit itu datang saat aku semakin dengan seorang perempuan, sepertinya tak ada perempuan atau cewek yang benar-benar mau benar-benar memiliki hubungan yang lebih dekat denganku. Mereka seakan pergi lalu menghilang dariku.
Hal inilah yang sering membebani perasaanku. Apa mungkin aku tak pernah bisa untuk punya kedekatan yang benar-benar dekat dengan seorang wanita. Atau mungkin aku memang tak pernah pantas untuk mereka. Entahlah.
Di tulisan ini aku hanya ingin bercerita tentang seorang wanita, seorang perempuan, seorang cewek yang selama hampir dua tahun ini menempati sebuah ruang yang cukup besar di hatiku yang sepanjang tulisan ini aku akan menyebutnya dengan ‘dua’. Sebenarnya antara aku dengan Dua dari dulu tak pernah ada hubungan kedekatan yang seperti aku bilang di atas tadi, yang jelas selama beberapa bulan kita pernah dekat dan saling bercerita tentang banyak hal di kehidupan kita. Dia tau kalau ada sesuatu yang lebih dariku saat bersamanya, tapi dia mengatakan kalau dia tak bisa membalasnya. Cuma aku tetap menyimpan harapan meski sedikit bisa menjadikannya bagian penting dari hidupku. Sahabat-sahabatku sering mengatakan tidak seharusnya aku menaruh harapan padanya karena dia tak pernah menganggapku lebih dari sekedar teman satu organisasi saja.
Selama hampir dua tahun ini, setelah aku dekat dengannya aku pernah dekat dengan perempuan lain selain dirinya. Tapi tetap saja Dua tak bisa digeser dari ruang khusus di hatiku.
Seorang teman kecilku dan sahabatku, namanya Aye’ sering mengatakan bahwa aku sebenarnya aku bisa melupakan Dua jika aku mau. Tetapi selama ini menurutnya keinginanku untuk melupakan Dua hanya di mulut saja, hatiku tak pernah mau tuk mengahapus Dua.
Hal itu aku akui, ada sesuatu yang membuatku enggan tuk melupakannya. Bukan karena fisiknya yang memang banyak orang mengatakan bahwa Dua itu cantik, pinter atau yang lainnya. Tapi aku merasakan ada sebuah ketenangan saat aku berada di samping dia, saat aku memikirkannya, saat aku mengingat dan melihat wajah. Juga karena dia orang yang asyik tuk aku ajak cerita seputar komik Detektif Conan atau novel sastra yang bagus. Meski pun pada dasarnya Aye’ juga asyik tuk diajak cerita tentang komik Detektif Conan atau novel, tetapi sepertinya Dua mempunyai sesuatu yang lebih yang tak pernah aku temukan di orang lain.
Namun aku harus sadar bahwa keinginanku untuk menjadikan Dua sebagai energi dalam hidupku sulit untuk tercapai karena memang saat ini faktanya dia sudah jauh dariku. Aku tak mau memungkiri bahwa semuanya bergantung pada kehendak dan takdir yang Allah berikan padaku. Bisa saja Dua yang saat jauh dariku bisa tiba-tiba dekat dan lebih dekat denganku. Atau bahkan seorang yang aku anggap sahabat bisa menjadi pengganti Dua untuk selamanya, seperti kisah antara Riani dan Zafran dalam novel 5 cm. atau bahkan seseorang yang saat ini aku tak mengenalnya. Aku harus menerima semuanya kerena kita tak pernah tau apa yang Allah rencanakan untuk kita di masa depan.
Dan bagiku, seperti yang aku tulis di awal tulisan, perempuan mempunyai tempat tersendiri bagiku baik itu sebagai seorang yang sangat spesial, ibu, kakak, atau sahabat tetap aku berikan tempat spesial.
Nah, karena tulisan ini aku awali dengan bait pertama dari puisi dari film Ada Apa Dengan Cinta, maka aku akan menutupnya dengan bait terakhir dari puisi yang sama. ^_^
ada apa dengan cinta
tapi aku pasti akan kembali
dalam satu purnama
untuk mempertanyakan kembali cintanya.
bukan untuknya, bukan untuk siapa
tapi untukku
karena aku ingin kamu,itu saja.”


Friday 28 October 2011

OBROLAN PENDEK SEPUTAR KULTUR HEGIMONIK

Kemarin sore ada pemandangan sangat berbeda terjadi di kampus IAIN Sunan Ampel tempat saya belajar. Pemandangan berbeda tersebut adalah apel akbar dari salah satu organisasi kampus yang memang sangat mendominasi di IAIN Sunan Ampel. Ampel akbar tersebut dilakasanakan untuk menandai pembarakatan dan dimulainya acara orientasi anggota baru mereka yang kebetulan pada tahun ini dilaksanakan secara serempak oleh setiap Fakultas di IAIN Sunan Ampel.
Menyaksikan acara apel tersebut membuat saya teringat dengan perbincangan saya dengan beberapa sahabat saya suatu malam beberapa bulan lalu di sebuah tongkrongan warung kopi. Saat itu kami membicarakan budaya senior-junior di kampus kami yang bisa dikatakan sudah masuk ke dalam ranah pembodohan atau Kultur Hegimonik.
Saat itu kami sepakat bahwa budaya senior-junior sudah terlampau parah dan melampaui batas ruang individu. Karena kami melihat sampai saat ini senior yang sudah ‘menguasai’ organisasi bisa dengan bebas mengatur dan menyuruh juniornya dalam semua hal termasuk masalah kehidupan pribadi si junior tersebut.
Di tengah-tengah obrolan tersebut, Roni, salah satu sahabat saya yang saat itu ikutan nimbrung dalam obrolan kami, menunjukkan tulisan salah satu dosennya, Chabib Mustofa yang membahas tema seputar Kultur Hegimonik. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa ada dua hal yang menurut Pak Habib—begitu Roni sering memanggil Chabib Mustofa—salah karena seharusnya tidak terjadi pada hubungan antara senior-junior. Pertama, senior dan junior dalam konteks organisasi pengkaderan memiliki wilayah perjuangan berbeda, walaupun tidak ada demarkasi tegas antara keduanya. Ungkapan “tiap zaman memiliki orang, dan tiap orang memiliki zamannya”, agaknya tepat untuk memahami “pembagian tugas” antara hubungan senior-junior.
Kurang tepat, jika senior masuk pada otoritas junior, terutama dalam hal “menentukan” pilihan politik kampus yang ‘hanya’ menjadi bagian dari hasil interpretasi perjuangan sebuah ideologi atau hubungan asmara antara lawan jenisnya. Karena hal tersebut sudah memasuki ruang pribadi yang tak seharusnya orang lain ikut campur untuk memutuskannya.
Jika junior meminta saran pada senior, maka senior wajib memberikan saran pada sang junior tanpa pretensi dan kepentingan atau ‘pemaksaaan’ bahwa junior harus seperti senior. Senior yang masih ‘cawe-cawe’ pada urusan junior semacam ini, maka dia salah tempat dan perlu untuk dibuang ke laut saja.
Kedua, perlunya rumusan relasi senior-junior. Selama ini, kita belum punya rumusan jelas dan pasti tentang apa yang menjadi kewajiban senior dan junior dalam wilayah organisasi. Senior ‘membantu’ secara moril atau materiil pada juniornya, saya pikir adalah sebuah kewajiban yang tidak perlu dibahas lagi. Alasannya, senior adalah kelompok yang sudah pada level kehidupan relatif lebih mapan dari junior. Maka wajar jika mereka (senior) membantu juniornya. Sekali lagi bantuan senior bukanlah prestasi, namun kewajaran dalam hubungan relasional yang muncul tidak secara serta-merta.
Seharusnya menurut saya, senior lebih tepat menjadikan dirinya sebagai cermin dari kehidupan masa lalu yang dibaca dari kehidupan masa kini. Dari cermin inilah junior dapat belajar sebuah proses panjang tiada akhir untuk hidup dan menghidupi orang. Maka, pertanyaan besarnya pada tiap senior adalah “Apakah anda sudah mampu menjadi cermin yang baik bagi juniornya?”. Jangan-jangan kita (senior) selama ini melakukan ‘hegemoni’ pada mereka (junior).
Tidak hanya itu, saat ini banyak mahasiswa semester atas atau senior yang merasa lebih pintar dari juniornya dalam bidang keilmuan tertentu. Sehingga terkadang jika dalam suatu forum diskusi sang senior salah menggunakan sebuah atau kalah dalam penguatan pendapat dari juniornya, ia tidak mau untuk disalahkan dan terus merasa dirinya paling benar dengan alasan agar kharismanya tak berkurang di mata juniornya. Padahal justru dengan tidak mau disalahkan seperti itu dia secara tidak langsung menunjukkan betapa bodohnya dirinya. Astagfirullah.
Dalam perjalanan pulang ke kos dari tongkrongan dan obrolan dengan sahabat-sahabat saya itu, saya teringat kata-kata tokoh idola saya, Soe Hok Gie. Dia berkata, “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.” Saya merasa teman-teman kampus saya atau mungkin saya sendiri termasuk dari kategori mahasiswa yang disebutkan Gie tersebut.
Tapi, saya tetap opitimis dan berharap adik-adik saya di kampus IAIN Sunan Ampel termasuk yang sore kemarin berangkat ke salah satu daerah wisata di Jawa Timur dalam rangka orientasi anggota baru salah satu organisasi ekstra kampus tidak menjadi mahasiswa yang hanya bisa menindas dan memerintah kaum lema saja, tidak hanya bisa membodohi adik-adik atau juniornya. Semoga mereka bisa lebih baik dari senior mereka yang sudah sepantasnya dibuang ke laut saja.
Bagi senior-senior saya yang membaca tulisan ini, saya minta maaf. Memang ini yang rasakan saat ada di kampus kita. Meski pun belum berarti sampean yang membaca tulisan ini termasuk dari senior-senior yang membodohi dan menghegimoni juniornya.
Wallahu A’lam


Tuesday 16 August 2011

Puisi Lembar Terakhir

Kau membawaku pada ujung gelisah yang curam
Sambil kau berikan sebungkus insomnia rasa coklat
Hidangan terbaik yang selalu kau suguhkan padaku

Bukan aku tak mau bersajak untukmu
Di pesta kembang api malam kemarin
Hanya saja saat itu aku berpikir
Arti hadirku di istana megahmu
Sedang kau dengan senyum purnama
Temani lelaki berwajah merah itu
Memainkan lidah apinya di depan rakyatmu

Bukan aku tak tau makna puisimu
Yang kau kirimkan lewat angin padaku
Dan beranjak dari tempat ini
Tapi aku menunggu datangnya kereta Azrail
Yang kata Jibril segera tiba saat malam mendaki puncaknya

Aku akui istana dan kotamu jauh lebih sejuk
Jauh lebih nyaman ketimbang istana wanita berambut biru
Dari kota lumpur itu
Tapi lelaki itulah yang membuatku enggan terlelap di sini
Meski sebenarnya kantuk benar-benar telah menggantung
Di sudut mataku

Aku tahu langit masih cerah
Seperti dulu saat pertama kali kau perlihatkan padaku
Bahkan burung-burungnya pun semakin merdu suaranya
Tapi lautku tak lagi seanggun dahulu
Ombaknya tak lagi menari seindah dulu
Pasirnya tak lagi sehalus sutra

Dan di lembar terakhir surat cinta dari Tuhan
Ku sebut namamu agar saat aku tiba di surga nanti
Bayangmu tak lagi tertempel di tubuh dan bajuku


Monday 25 July 2011

Sahabatku

Sahabat, sebuah istilah atau sebutan buat dua orang manusia yang sangat akrab dan saling mengerti, saling memahami, saling tolong-menolong, dan selalu ada saat dibutuhkan untuk sahabatnya. Sahabat, sebuah julukan atau predikat yang diberikan kepada seorang teman yang sudah dianggap dekat, akrab dan mengerti dengan dirinya.
Bagiku sendiri, sangat jarang aku berikan predikat seorang sahabat pada temanku kecuali ia sudah benar-benar dekat denganku, mengerti aku, selalu ada saat aku butuhkan, dan selalu nyambung saat dia ngobrol denganku. Seorang sahabat bagiku lebih berharga dan lebih penting dari seorang kekasih, aku tak pernah besedih begitu dalam saat aku kehilangan kekasihku, tapi jika aku kehilangan sahabatku sedihku tak akan terkira meski hal itu tak pernah diketahui orang lain. Karena bagiku, menurutku, tidak ada istilah ‘mantan sahabat’ dalam hidup, namun jika ‘mantan kekasih’ atau ‘mantan pacar’ atau bahkan pula ‘mantan istri’ pasti ada dan sangat banyak.
Sahabat, di dalam kehidupan kita tentunya sering ditemukan istilah itu, bahkan sering kita sebutkan. Cerita tentang persahabatan pun sering banyak kita temukan, di film, novel, komik, dan lainnya. Sekarang, saat aku menulis oretan ini, aku tengah diuji oleh Tuhan atas kesabaranku dan keteguhanku untuk mempertahankan persahabatanku dengan seorang cewek yang anggap saja namanya Yeza.
Awal aku mengenalnya sudah sangat lama sekali, pada bulan Ramadlan tahun 2006. Saat itu aku dengannya hanya sebatas tahu saja, sebatas tahu nama dan wajah saja. Saat itu kita dipertemukan di sebuah kegiatan kursus bahasa untuk mengisi liburan pondok. Sejak saat itu aku tahu dia, tapi hanya sebatas tahu, tak pernah kita ketemu lagi setelah kegiatan itu. Hanya sesekali aku melihatnya turun dari mobilnya saat dia diantarkan ke sekolahnya yang ada di pondokku. Saat itu, tak pernah terbayang sedikit pun dalam benakku dia dan aku bisa jadi sahabat.
Justru persahabatan kami berawal akhir tahun 2010 kemarin, saat itu aku tengah mengikuti kegiatan organisasi untuk alumni pondokku dan kebetulan dia hadir. Nah, karena aku sudah tahu dia, tentu saja tidak etis jika aku tak menegurnya atau menyapanya. Tanpa kami kira sebelumnya keakraban kami dimulai. Keakraban pun diawali di dunia maya di sebuah jejaring sosial yang kemudian berlanjut ke dunia seluler atau Handphone. Kita sering sekali mengerim pesan, berbagi cerita tentang banyak hal. Termasuk hobi, kesukaan, buku, film, lagu, dan lainnya.
Setelah itu persahabatan kami berjalan seperti layaknya persahabatan yang lainnya. Saling berbagi, saling membutuhkan, saling menolong, dan tentunya saling bertemu. Tapi tak lama setelah itu, saat aku kehilangan pujaan hatiku yang aku inisialkan IWF, aku temukan sesuatu yang beda darinya. Sesuatu yang membuatku berdesir, membuatku gugup saat bertemu dengannya. Yah, makhluk liar yang sulit dijinakkan bernama ‘cinta’ telah hidup antara aku dan dia.
Tapi aku tahu, saat itu tak mungkin aku mengatakan padanya tentang keberadaan ‘makhluk’ itu. Karena dia sudah ada yang mengisi hatinya. Tapi karena rahasia itu tak bisa terlalu lama disimpan, dia pun tahu tentang hal itu dan dia menanggapinya dengan biasa. Saat itu dia memintaku tuk segera membunuh makhluk itu agar tak mengganggu. Namun, dalam hatiku enggan tuk membunuhnya, yang aku niatkan saat itu hanya tuk menjinakkannya saja agar bisa dikendalikan sesuai dengan kehendakku.
Makhluk itu pun mulai tak bisa bergerak dengan bebas. Apalagi ada isyarat kalau IWF bisa kembali padaku, makhluk itu bisa dibilang hampir mati. Karena itu pun aku dan Yeza kembali dengan leluasa bersahabat tanpa ada gangguan dari makhluk itu.
Tapi, keadaan itu tak berlangsung lama karena secara tiba-tiba IWF menjalin hubungan dengan orang lain yang secara tidak langsung memupuskan aku tuk kembali padanya. Dan keadaan itu pun kemudian aku curhatkan ke Yeza, seperti biasa dia mendengarkannya dan memberi banyak masukan dan saran padaku.
Keadaan mulai berubah saat liburan panjang kampus tiba, saat itu ada rasa rindu yang mendalam di hatiku pada Yeza karena kita tak lagi sering bertemu, dan rindu itu bukan rindu layaknya seorang sahabat. Saat itu aku sadar, makhluk liar itu belum mati, dia masih hidup dan sekarang mulai bangkit dan mengganngu persahabatanku dengan Yeza.
Betul, makhluk itu telah mengganggu. Suatu malam saat aku sedang sendiri, aku memutuskan tuk ceritakan semuanya padanya, tentang makhluk yang tak bisa aku bunuh itu. Saat dia tahu bahwa makhluk itu masih hidup, dia diam seribu bahasa, diSMS dan ditelepon tak ada respon darinya. Dia kecewa dan kekecewaannya dia ungkapkan dengan diam. Aku pun tersadar kalau ini adalah murni kesalahanku yang membiarkan makhluk itu hidup, bukan aku bunuh malah dijinakkan. Ah, sekarang persahabatan aku dengan Yeza seperti tak ada kejelasan, dia diam.
Meski semalam aku sempat merasakan dia mulai kembali dengan kekakuan, tapi hari ini dia jauh lagi. Seperti bukan sahabatku, seperti tak pernah akrab denganku. Dia dingin lagi.
Aku tersadar, bahwa betapa berartinya seorang sahabat sepertinya bagiku, dia yang selalu mendengarkan semua curhatanku, dia yang selalu memberiku senyuman saat aku sedang tak bisa tersenyum, dia yang selalu menjadi sahabat terbaik saat bercerita tentang buku-buku dan novel menarik seakan jauh dariku, seakan tak lagi berada di dunia yang sama denganku. Lalu tersirat dalam benakku takut kehilangannya, tapi aku tak boleh takut kehilangan karena saat aku memiliki sesuatu maka aku harus rela kehilangan. Begitu juga saat aku memiliki sahabat sepertinya maka aku juga harus kehilangannya jika itu adalah keputusannya akibat dari kesalahanku.
Tapi satu hal yang perlu aku ingat selamanya, bahwa tak ada istilah ‘mantan sahabat’ di dunia. Jadi meski dia tak lagi dekat denganku, dia tetap sahabatku.


Sunday 17 July 2011

PEREMPBUAN HUJAN

Kau datang saat gerimis
Tak lagi seanggun Cinderella

Saat itu, di mataku awan setengah kelabu
Dan di tanganku segelas cocktail berwarna darah
Sedang luka bakar sehabis tercebur
Lumpur panas ujung selatan kota pahlawan
Masih terasa perihnya

Saat kau datang, aku sedang menyaksikan
Tarian indah gelombang pantai mimpi
Di bawah jembatan tak berkaki

Wahai kau, wanita dengan paras pelangi
Dan senyum sesejuk hujan September
Tuk apa kau datang padaku
Jika sekejap lalu kau pergi
Bersama lelaki berlidah api
Tanpa kau dengar denting gitar surga
Yang selalu aku petik saat kau datang ke pantai biru

ingin sekali kuteguk sebotol vodka rasa strobery
Di tanganmu itu
Tapi tak kau izinkan karna itu akan kau berikan pada lelaki itu
Ah, betapa kau tak melihat begitu haus aku

Lalu kau beranjak begitu cepatnya
Hingga ombak tak lagi bisa mengejar langkahmu

Juli 2011


Thursday 30 June 2011

Musim Rindu

Ada makhluk berjubah biru
Menghampiri kita saat kau datang ke pantai kata
Sehabis aku kembali dari kota lumpur
;dia membawa setangkai mawar dan sehelai benang merah
Sebagai hadiah

Awalnya aku kira aku tak pernah mengenalnya
Tapi saat senja datang memeluk cakrawala
Aku sadar bahwa dialah
Yang aku bunuh dengan racun air mata
Saat ia temui kita di gedung kaca

Dialah yang dulu membawa kabut merah muda
Menutupi mata
Hingga aku lupa kalau kau adalah penyulam sutra
Dari negeri para jagal bermata sayu
Seharusnya tak mencumbumu

Dan sekarang, dia datang kembali
Di musim rindu yang hampir berakhir
Bersama hujan rasa stroberi

Kemudian seperti saat aku datang pertama
Kau lagi-lagi menghipnotisku
Membuatku menatap LANGIT
Dan berkata, “Aku ingin membunuh awan di sampingmu
Karena aku mencintaimu”


Friday 27 May 2011

PEREMPUAN BUNGA SAKURA

Meninggalkan kota mantra
Bermukim kesatria wajah pucat
Menyisakan sketsa rindu yang buram

Ku mulai perjalanan kata
Bersama kereta biru
Tanpa ada tujuan
Dan arah anginnya

Saat malam mendaki puncaknya
Kereta berhenti di sebuah stasiun
Peronnya berlumpur amis
Lalu semuanya meninggalkanku
Bersama kereta, tanpa suara

Aku tak pernah tau tempat ini
Hanya aromanya mirip aroma kota
Yang muncul di koran pagi tadi

“Ayo ikutlah denganku”
Katamu tiba-tiba sambil menyentuhku
Tanpa kau tau namaku
Ah, di wajahmu ku temukan bunga sakura
Dari negeri para ninja

Tak pernah aku duga
Di kota dengan bau minyak menyengat ini
Ada perempuan dengan bunga sakura di parasnya

Di kota ini, kita saling bercerita
Tentang detektif yang lebih cerdas dari Sherlock Holmes
Ah, kau membuatku enggan tuk beranjak
Meski kota ini terlalu banyak api

Tapi sekarang,
Saat kau terima banyak bingkisan raksasa
Di sudut taman tak berbunga itu
Kau menghilang, tak pernah mengirimiku seikat angin

Inginku lintasi jembatan ombak
Kembali ke gubukku
Tapi aku takut kau mencariku lagi
Sedang dua lelaki bertubuh tambun
Pemakan kertas itu
Selalu saja merogoh kantongku
Sambil lalu mengoceh tentang darah hitam
Di balik kepalamu

Malam ini, saat malaikat bersuara serak itu
Meletakkan sayapnya di kota ini
Aku ingin kau mendatangiku walau sekali
Karna ada seikat sajak yang ingin ku berikan padamu

Mei 2011


Wednesday 25 May 2011

INSOMNIA

Menjelang pesta embun
Di taman kata
Insomnia menyekapku di sudut gelap
Negara api

Tak ku temukan siapa pun di sana
Hanya perempuan berwajah malam
Bercerita tentang sungai di matanya
Yang tak pernah kering

Ada lelaki tambun
Datang bersama badai kelabu
Memberiku segelas jus jambu rasa darah
Yang katanya dirimu
Ah, tak ku temukan gula di sana tapi amis yang beringas

Tanpa aku sadari fajar telah di sampingku
Dia bersama elang putih bergincu memberitahuku
Ternyata dirimulah insomnia itu
Dan mengikatkan dengan benang sendu

Ah, kau masih seperti dulu untukku


Tuesday 17 May 2011

ELEGI LALBATTI

Rumah yang berdiri kokoh di hadapanku sekarang, sangatlah megah. Bahkan aku rasa merupakan yang paling megah dan sangat mencolok bila dibandingkan dengan rumah-rumah kecil yang nampak kumuh disekitarnya. Pada siang hari rumah itu indah sekali.
Lalbatti, demikian orang-orang menyebut rumah ini. Halamannya luas dengan banyak pepohonan berdaun rimbun yang memberikan nuansa teduh. Sebuah kolam air mancur di tengah-tengah, diapit dua patung Ganesh. Di sekelilingnya adalah rumput hijau yang menghampar bak permadani dengan aneka bunga warna-warni. Ada lily, krisan, sedap malam, mawar, dan banyak lagi macamnya. Ada juga melati yang menebar wangi ke segala penjuru, menyemak di sisi kanan dan kiri teras.
Pada malam hari Lalbatti juga tak kalah indahnya. Bahkan lebih indah lagi. Cahayanya begitu terang benderang. Seakan-akan bahan bangunan rumah itu memang ribuan bintang, atau paling tidak zamrud, safir dan mutiara. Bila lampunya dinyalakan akan terbias cahaya kelap-kelip. Merah, biru, kuning, hijau, seperti pelangi. ”Sayangnya, tak akan pernah ada pelangi di malam hari”, aku membatin.
Nyaris setiap saat dari rumah itu juga terdengar denting harpa. Bahkan suara berbagai jenis alat musik khas India. Ditingkahi suara penyanyi yang merayu bak alunan buluh perindu. Ada pula lantunan lagu-lagu yang mengalun merdu dari piringan hitam. Karenanya, aku juga orang-orang di desaku menamainya Swaarg . Benar-benar bayangan surga hadir ke dunia. Terlebih jika dibandingkan dengan rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Pemandangan yang cukup kontras bila dibandingkan dengan desa kecilku, Viraar, yang terletak beberapa kilometer dari pusat Mumbai, tempat dimana Lalbatti berada. Semua orang yang pernah singgah atau sekedar lewat, pasti mengakui dan mengagumi keindahan Labatti. Meskipun keindahannya masih sangat jauh untuk bisa menyamai keindahan Taj Mahal di tepi sungai Yamuna, Agra, yang konon merupakan persembahan cinta abadi Shah Jahan dari Dinasti Mughal, untuk istrinya Arjumand, atau Mumtaz Mahal.
Suatu waktu, saat aku dan keluargaku duduk bersama di bawah purnama, aku pernah berkata, “Alangkah indahnya Lalbatti. Aku ingin sekali masuk dan melihat-lihat apa saja yang ada di dalamnya”.
Noura adiku menimpali, ”Kalau aku ingin bermain di halamannya. Kata teman-temanku di sana ada kolam air mancurnya.”
Amma menjawab seraya membelai kepalaku lembut, “Firdaus lebih indah dari itu, sayang. Sebenar-benarnya swaarg yang insyaAllah akan kita tempati”. Surga Firdaus, itulah yang dimaksudkan Amma.
Sekali waktu Bauji pernah mengatakan padaku agar aku menghapus keingin-tahuanku tentang Lalbatti, apalagi masuk ke dalamnya. Lalu beliau memberitahuku dan Noura, bahwa Lalbatti bukan rumah yang pantas dikunjungi orang baik-baik. Sebenarnya akupun tahu dari cerita orang-orang, bahwa Lalbatti adalah sebuah rumah prostitusi yang sangat terkenal dan memang sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu.
Tapi kini aku benar-benar tengah berada di teras rumah itu. Satu hal yang tak pernah ku alami walau hanya sebatas mimpi. Meski aku ingin mengunjunginya, tapi ujaran Bauji sempat memupus keinginanku.
Ah, aku tak bisa menebak apa kata Sapna bila aku bercerita tentang kunjunganku ke ’surga’ ini. Sapna si gendut yang selalu memonyongkan bibirnya ke arahku, hanya karena makan spaghetti murahan oleh-oleh ayahnya yang seorang pedagang minyak eceran di pasar desa. Apa kata Arjun, Sunil, Gauri, Rima, dan Pinky? Bukankah aku hanya Aisha yang mereka juluki Putri Abu. Julukan yang mereka berikan karena Amma-ku hanya seorang tukang cuci, dan Bauji-ku tercinta hanya seorang buruh kasar di Chandi Chowk, sebuah pusat perbelanjaan tradisional yang cukup ramai di Mumbai.
Oh, aku ingat. Rasanya ada juga yang tidak akan menghinaku. Fathiya. Gadis manis berkerudung ikat. Dia tak pernah mengolok-olokku. Mungkin karena aku dan dia sama-sama muslim. Dibandingkan teman-temanku yang Hindu, Fathiya sangat baik. Hm, akan herankah ia bila aku ceritakan padanya tentang pengalamanku di rumah ini? Rasanya begitu. Malahan aku yang bagaikan tak percaya, karena aku datang bukan hanya untuk melihat-lihat, melainkan mencari pekerjaan, seperti yang ditawarkan Laksmi padaku seminggu yang lalu.
Aku melangkah masuk mengikuti Laksmi yang membawaku ke rumah ini sambil menyapukan pandang sekeliling. Ayunan kakiku serasa tak menjejak lantai. Mengambang. Laksmi sepertinya sudah mengenal seluk beluk rumah ini, jadi aku hanya ikut seperi kerbau dicocok hidung, kemana saja ia menyeret lenganku.
Kami berhenti di sebuah ruang besar ber-AC. Seorang wanita cantik tengah duduk membaca koran di sofa yang empuk. Sebatang rokok mengepulkan asap di bibirnya. Ia mendongak. Dandanan, pakaian dan perhiasannya membuat mataku berkunang-kunang. Gemerlapan. Kapan ya aku melihat Amma berdandan seperti dia? Tapi tak mungkin. Sangat tidak mungkin aku bisa melihat Amma seperti dia. Karena Amma-ku… ah, sudahlah. Aku datang ke rumah ini bukan untuk melukis imaji tentang Amma. Aku mencoba menepis kepiluan yang sesaat tiba-tiba menyergap hadir tanpa ku undang.
“Namesti, Shanti Bhai” Laksmi bersalam. Apakah dia pemiliknya? Shanti Bhai. Aku mencatat namanya dalam hati.
“Hm…” Wanita itu hanya berdehem. Ih, kok begitu? Tapi pandangannya berubah ketika ia melihatku. Ajeeb ? Aku tak mengerti.
“Koi mil gaya , Shanti Bhai. Mere dosti ”. Laksmi berkata setengah berbisik. Ia menggamit lenganku, dan aku memahaminya sebagai isyarat agar aku memperkenalkan diri.
“Mere nam , Aisha”, aku sedikit membungkuk. Kata Amma begitu caranya menghormat yang lebih tua. Kalau kata Bauji sih, asal sopan sudah cukup.
“Bagus, Laksmi! Temanmu ini cantik sekali. Kau cukup pintar dan jeli juga”.
Cantik? Hidungku kembang-kempis. Selama ini yang mengatakan aku cantik hanya Bauji. Katanya aku mirip Hema Malini bintang film idolanya ketika muda. Tapi kata Amma, aku seperti Aisyah binti Abu Bakar. Karena bila tersipu malu pipiku bersemu merah jambu.
“Kau sudah siap bekerja di sini?” Ia langsung berkata tanpa lebih banyak basa-basi.
“Ji. Saya siap”.
“Bawa dia ke ruangan Pooja. Dia akan lebih cantik jika bajunya diganti”, perintahnya, dengan pandangan yang seolah-olah sedang menilai seluruh penampilanku.
Laksmi membawaku ke sebuah ruangan yang lebih besar lagi dari yang tadi. Dinding kanan adalah kaca. Sedangkan di sebelah kiri lemari-lemari besar berjejer. Ruangan ini, bisa tiga kali luas rumahku. Ada banyak wanita cantik di sini. Ada yang merokok, memperbaiki dandanannya, mengepas bajunya, anehnya kebanyakan baju mereka sangat pendek. Kalaupun mereka memakai saree, tapi transparannya itu lho, minta ampun.
“Orang baru, Laksmi?”
“Ji”
“Tetanggamu?”
“Nahin, mere dosti”
Laksmi memilihkan untukku sebuah saree yang cukup ‘sopan’ dibandingkan yang lain. Tapi tetap saja aku merasa jengah. Lehernya terlalu rendah. Kedodoran lagi. Sepertinya saree itu untuk ukuran dewasa. Sedangkan aku baru tujuh belas tahun kurang dua bulan. Apalagi perawakanku kurus sekali. Lumayan, saree ini harum sekali. Berbeda dengan milik Amma yang bau asap. Amma lagi, ah….
Seorang wanita agak gendut. Mungkin dia yang bernama Pooja, mendekat dengan membawa sebuah tas kecil. Dengan isi tas itu aku dipermak. Bibirku diberi lipstick. Berat. Di kepalaku, tangan dan leherku, juga diberi perhiasan. Kemudian ia menjelaskan tugasku. Cukup mudah. Hanya mengantar minuman bagi para tamu yang tadi kulihat di ruang tengah, yag hampir seluas gedung bioskop, waktu melintas menuju ruangan Pooja. Aku harus ramah, murah senyum, sopan, lincah, dan memperlakukan para tamu dengan baik.
Beberapa saat berselang aku memulai pekerjaanku. Kagok juga awalnya. Melangkah gemulai dan anggun, melempar senyum, menyuguhkan minum, aku jadi ingat peran Aroona Irani sebagai pembantu genit dalam film Qayamat Se Qayamat Taak yang ku tonton di rumah Pinky. Satu perasaan menyusup ganjil. Pandangan tamu-tamu itu seperti menelanjangiku. Tamunya banyak sekali. Tidak seperti Bauji yang jarang dapat tamu. Paling-paling Paman Khan dan Paman Aamer. Tamu-tamu disini kebanyakan lelaki setengah tua, bahkan ku rasa ada yang sebaya kakek Ahmed tetanggaku.
“Au!” aku memekik kaget. Seorang laki-laki tambun berewokan berusaha menjawil daguku. Sebagian minuman tumpah ke kepalanya yang botak karena elakanku. Sialnya, ia masih bisa menarik ujung saree -ku dan menciumnya. “Harum”, desisnya seperti serigala. Aku tak habis pikir, kenapa tamu-tamu yang lain malah tertawa?
“Pagal! ” makiku dalam hati. Memangnya mereka tak punya anak perempuan di rumah?
“Sabar, Takur Pratabh. Dia baru hari ini kerja”. Syukurlah, Shanti Bhai tiba-tiba ada di belakangku. Aku segera beralih memberi minum pada tamu yang lain tanpa menunggu percakapannya dengan si Tambun selesai.
Hari-hari berikutnya, itulah pekerjaanku. Menjadi waitress di Lalbatti. Tamunya tak henti. Tapi aku melihat Shanti Bhai selalu tersenyum, apalagi bila ramai pengunjung. Sepertinya dia tak pernah merasakan capek.
Kalau boleh jujur, aku merasa tak nyaman bekerja disini. Ini bertentangan dengan pandangan hidupku, agamaku, nasihat orang tuaku, ... tapi aku harus bagaimana lagi? Gaji yang kudapatkan cukup lumayan untuk hidup sehari-hari bersama Noura. Walau terpaksa, ku jalani saja. Aku tak punya pilihan lain.
Lama-lama aku pun terbiasa dengan ulah para tamu. Terbiasa, maksudnya aku sudah bisa mengelak dengan sopan. Paling-paling mereka mencoba pegang tangan. Mungkin mereka mulai mengerti karena aku hanyalah pelayan. Tidak seperti gadis-gadis lain yang memang bekerja untuk menemani dan memenuhi apapun yang mereka minta dengan imbalan sejumlah uang yang diterima Shanti Bhai. Naudzubillah, semoga Allah selalu menjagaku, dan mengampuni keterpaksaanku.
***
Sebenarnya aku bukanlah penduduk asli Virar. Aku terlahir dari sebuah keluarga muslim di Ayodhya. Ayahku berasal dari Lahore. Tahun 1989 kami pindah ke desa ini karena menghindar dari kerusuhan antara pemeluk Islam dan Hindu. Islam memang agama minoritas. Pemeluknya hanya sekitar 11,41 persen dari keseluruhan penduduk India.
Orang-orang Hindu di India mengklaim masjid Babri Ayodhya yang didirikan oleh Sultan Babur dari Dinasti Mughal pada tahun 1528 sebagai milik mereka. Ini bermula dari izin Perdana Menteri Rajiv Gandhi yang mengizinkan orang Hindu mendirikan kuil disana. Kabarnya lokasi masjid adalah lokasi kelahiran Rama.
Di Viraar, orang tuaku mencoba membangun kehidupan baru. Meski tidak berkecukupan, kami hidup bahagia.
Hingga sebuah peristiwa tragis terjadi. Aku dan Esha sedang di sekolah ketika Bauji dan Amma mengalami kecelakaan. Mereka akan berkunjung ke rumah Bibi Sayeeda di Poona. Namun belumlah samapi di tempat tujuan, sebuah truk gandeng menabrak bis yang mereka tumpangi. Lima belas orang meninggal, mereka diantaranya , dan lainnya luka parah. Tak ada purnama di kanopi langit ketika jenazah mereka sampai di rumah. Esoknya, di tengah angin mousun yang menderu, mereka dikebumikan dengan cara Islam. Kami yatim piatu dalam sekejap mata.
Maka alunan symphonipun berubah elegi. Aku harus berhenti sekolah. Karena itu jalan satu-satunya untuk bertahan hidup. Aku harus bekerja, dan mengalah pada Noura untuk meneruskan cita-citanya. Bermacam-macam kerja ku coba. Buruh cuci, tukang masak, tukang sapu,... hingga Laksmi menawariku pekerjaan di Lalbatti. Katanya, ada lowongan untuk gadis muda sepertiku. Asal bukan sebagai penghibur, aku menyanggupi, yang diiyakan Laksmi.
Hampir dua bulan aku bekerja di Lalbatti. Sampai sekarang Noura belum tahu dimana aku bekerja. Aku hanya mengatakan aku hanya menjadi pelayan di sebuah toko pakaian. Selama ini aku tidak mendapatkan kesulitan berarti. Aku bekerja dari jam 1 siang dan pulang ke rumah menjelang tengah malam. Aku bersyukur karena di Lalbatti aku bisa melakukan shalat `Ashar dan Maghrib sehingga tak perlu pulang. Meski tak ada tempat khusus, aku bisa melakukannya di kamar Bibi Reshma, tukang masak di rumah itu yang sudah menganggapku sebagai anak sendiri. Mushalla tidak akan pernah ada di sana. Yang ada hanya tempat ’sembahyang’. Tempat yang ku maksud adalah sebuah altar pemujaan dengan patung Dewa Siwa. Pada hari-hari tertentu aku melihat Shanti Bhai berdoa dihadapannya dengan khusuk. Aku tak tahu, apakah prostitusi dihalalkan dalam agama hindu.
***
Pada suatu hari, aku merasa tidak enak badan. Aku memutuskan untuk tidak masuk kerja. Tadi aku sudah minta izin melalui Laksmi. Kepalaku benar-benar pusing. Pandangan berkunang-kunang bila aku melangkah, ulu hati terasa nyeri dan rasanya selalu mual dan ingin muntah.
Aku beristirahat di kamar. Tapi tak bisa memejamkan mata. Ada foto Bauji dan Amma tergantung di dinding, tersenyum manis sekali. Aku rindu.
Di bawahnya, tepatnya di atas meja kecil tempat aku menyimpan buku-buku pelajaranku dahulu, ada fotoku dan Noura.
Noura. Adikku yang cantik itu tentu sedang belajar di sekolah. Ada rasa rindu datang tiba-tiba. Sepertinya sudah lama sekali aku tidak punya waktu lama untuk berbincang dengannya. Pagi ketika aku di rumah, Ia harus berangkat sekolah. Siang ketika Ia pulang, aku sudah berangkat kerja. Malam ketika aku datang, ia sudah terlelap di kamarnya. Setelah mencium keningnya lembut, biasanya aku shalat Isya` dan langsung tidur. Begitu terus. Pun hari minggu, aku tidak libur. Bahkan hari minggu itu tamu sedang banyak-banyaknya. Shanti Bhai tidak akan mengizinkanku minta libur. Katanya sih, aku pelayan yang paling disukai di sana. Bagiku suka atau tidak, tidak terlalu penting. Asal dibayar sesuai kerjaku saja. Walau sakit, sekarang aku bersyukur karena bisa istirahat. Bekerja di Lalbatti juga sangat melelahkan.
Matahari tepat di atas rumah. Cahayanya menerobos celah atap yang bolong. Perutku terasa lapar. Tadi pagi aku tidak memasak dan hanya makan sedikit prata sisa semalam. Mencari makanan ke dapur akan sia-sia saja. Noura belum bisa memasak.
Aku paksakan diri keluar menuju warung terdekat untuk beli makanan. Disana aku banyak membeli makanan jadi. Mumpung aku di rumah, aku ingin makan bersama Noura. Sebentar lagi ia akan pulang.
Aku meletakkan makanan di meja. Sambil menunggunya aku putuskan untuk shalat dan tilawah terlebih dahulu.
Brakk! Suara gedubrak di luar menghentikan tilawahku.
Noura berdiri tegak dan menatapku tajam begitu melihatku keluar dari kamar.
“Kya hua ?” tanyaku heran. Matanya berkilat memendam amarah yang tak pernah ku temui selama ini.
“Apa yang salah, Noura? Kenapa menatap Didi begitu?” aku bertanya tak mengerti.
“Didi bohong”.
“Bohong apa?? Kamu baru pulang dan marah-marah. Didi tak mengerti”
“Didi bilang menjadi pelayan di toko. Ternyata di Lalbatti. Itu kan rumah prostitusi? Seumur-umur Bauji dan Amma tidak akan memaafkan Didi jika tahu pekerjaan Didi”. Aku benar-benar kaget dengan kalimat-kalimatnya.
“Didi tidak seperti yang kau kira, Noura. Didi memang berbohong dengan mengatakan bekerja di toko pakaian. Tapi tugas Didi benar-benar sebatas pelayan yang mengantarkan minuman. Tidak lebih”.
“Dengan membiarkan tubuh Didi disentuh lelaki-lelaki tua itu?” Noura tersenyum sinis. Tas sekolahnya dilempar begitu saja.
“Percayalah pada Didi, Noura. Semua ini pun terpaksa Didi lakukan untuk kelangsungan hidup kita. Didi tidak sekotor itu”.
“Sama saja. Didi menyaksikan maksiat itu setiap hari. Bukannya mencegah, malah sengaja menyaksikannya setiap hari”.
“Didi bisa menjaga diri”.
“Menjaga diri? Lalu siapa yang kemarin malam bersama Takur Pratabh? Sashi, anaknya adalah temanku. Tadi dia mencaci maki aku di sekolah. Dia bilang, Didi perempuan murahan. Ayahnya pulang setiap malam dengan mabuk dan menyebut-nyebut nama Didi. Ibunya sakit-sakitan”.
Rabb ! Aku tidak pernah menyangka kejadiannya akan seperti ini. Takur bernama Pratabh itu memang paling berambisi mendekatiku. Pada suatu malam ia mabuk berat. Hampir sepuluh botol minuman keras yang kuhidangkan habis ditenggaknya. Ia mencoba menarik pakaianku sehingga aku nyaris terjatuh dalam pelukannya. Untungnya aku mencoba mempertahankan keseimbangan dan nampan berisi botol dan gelas lebih dulu jatuh mengenai kepalanya yang botak. Aku segera berlari ke kamar, ganti baju dan berlari pulang. Jika Sashi anaknya adalah teman Noura, itu bukan mauku.
“Aku menyesal makan dari uang haram selama ini. Tahu begitu lebih baik Esha mati kelaparan. Aku malu, Didi. MALU PUNYA KAKAK SEORANG PE.... !”
Plakk! Aku menampar Esha sebelum ia sempat menuntaskan kalimatnya.
“Uang haram katamu? Kau akan mengatakan kakakmu seorang pelacur?”
Kata-kataku meluncur begitu saja tanpa dapat ku tahan. Aku tak pernah bisa menyangka bisa menamparnya. Tapi sakit ini terlalu menyesaki hati. Aku menyayanginya. Mencintainya setulus hatiku, dan rela berkorban apa saja untuk kebahagiannya. Tapi haruskah ini balasannya? Rabb, mere ishq ko aise na tadpayee ….
”Aku benci, Didi. AKU BENCI”. Noura menghambur ke kamarnya.
Lupa pada sakitku, aku melangkah ke luar dengan marah bercampur luka. Dukaku meruah membentuk aliran sungai di pipi tirus yang tak sempat ku hapus. Aku berjalan tak tentu arah tanpa menoleh lagi. Di depan Noura aku merasa statusku sebagai kakak tercampakkan begitu saja. Tak dihargai, apalagi dihormati. Padahal segenap kasih sayangku telah kucurahkan untuknya.
Tujhe har kushi dadhi laboon ke haseen dadhi. Mere dadhkan ko samjho? Tum bhi mujhse pyar karta hoon., Noura …
Sia-sia saja rasanya apa yang aku lakukan. Untuknya aku rela putus sekolah dan bekerja, dan untuknya pula aku menabahkan diri di Lalbatti. Meskipun benar apa yang diketahuinya tentang Lalbatti, tapi aku tidak akan pernah merelakan diriku sendiri menjadi pemuas nafsu di Lalbatti. Semua terpaksa. Tapi kenapa Noura tak bisa memahami? Tuhan, Kau tidak akan pernah mengizinkan hamba-Mu menjadi pelacur, bukan?
Saat gundah seperti ini, rindu rasanya pada Bauji dan Amma. Kalau saja Bauji dan Amma masih hidup, mungkin semua luka tak akan terasa sakit aku derita. Tapi menghadapi situasi seperti ini, bertengkar dengan adikku sendiri, maka sungguh… kelelahan kini tak hanya mendera raga, tapi juga jiwa.
Entah sudah berapa jauh aku berjalan. Senjapun mulai berganti malam.
“Hei, Aisha!” satu suara membangunkan aku dari lamunan. Fathiya.
“Mau kemana sendirian? Kau tahu kan kalau Viraar di malam hari tidak cukup aman untuk gadis secantik kamu?” Aku tersenyum. Lucu juga mendengar pertanyaannya yang beruntun.
“Aku tak tahu harus kemana”
“Lho, kenapa bisa begitu? Kau kabur dari rumah? Sejak kau berhenti sekolah kita lama tak bertemu, dan aku tak pernah mendengar kabarmu”
“Tak ada yang menarik dariku untuk kau dengar. Aku kotor, aku tak ada harganya…”
“Hei, stop! Rupanya kau sedang suntuk, Kawan. Mau ikut ke rumahku saja? Nanti kau bisa cerita gundah yang kau bawa jika itu kau rasa perlu. Daripada berjalan tak tentu arah? Barangkali aku bisa membantu. Setidaknya menjadi seorang pendengar yang baik. Main hoon na, Aisha ”
Akhirnya ku putuskan ikut Fathiya saja. Aku masih tak bisa bertemu Noura dalam keadaan seperti ini.
Di rumahnya Fathiya menjamuku. Aku teringat makanan yang kubeli tadi tadi. Orang tua Fathiya sangat ramah. Mereka nampaknya juga sangat perhatian pada Fathiya, pada Royhan adiknya, atau juga pada Iqbal, kakak Fathiya yang kuliah di Agra.
Setelah makan dan shalat, aku menceritakan semua yang kualami sejak tak bertemu dengannya. Sejak kedua orang tuaku meninggal, pekerjaanku di Lalbatti, dan pertengkaranku tadi siang dengan Noura.
“Aku tak menyalahkanmu, Aisha. Semua orang bisa saja melakukan hal yang sama jika berada di posisimu”.
“Kalau aku tak sepenuhnya bisa disalahkan, kenapa Sashi mengatakan aku pelacur? Dan adikku juga mengucapkannya padaku? Aku tidak menjual diri, Fathiya. Percayalah, aku masih Aisha yang bersih”
“Aisha, kita sama-sama muslim, kan? Maka akan lebih mudah bagiku untuk mengingatkanmu bahwa Allah melarang kita mendekati zina, apalagi melakukannya”
“Tum … kau juga menganggapku begitu?” Aku bangkit tersentak.
“Nahin . Jangan salah mengartikan kata-kataku. Kau ingat kata Ustadz Mahmood guru mengaji kita? Zina bukan hanya persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan. Ada zina panca indra, juga zina hati. Tidak melakukan zina tapi berada di sekitar lokasi timbulnya zina, juga bisa membuat kita digolongkan sebagai pelaku zina”. Aku hanya manggut-manggut mendengarkan uraian Fathiya yang panjang lebar.
“Lalu aku sebaiknya bagaimana? Di sana aku mendapatkan gaji yang cukup lumayan. Kalau aku berhenti bekerja, bagaimana kehidupan kami?”
“Tanyakan pada hati nuranimu, Aisha. Tenangkah kamu bekerja di sana? Ingatlah bagaimana sikap Noura setelah tahu pekerjaanmu. Senangkah dia?” Aku terdiam.
“Jika perkataanku ada benarnya, kenapa tidak pindah kerja saja?” Fathiya menambahkan setelah beberapa detik kami sama-sama terdiam.
“Dimana aku bisa cari kerja? Kau tahu, sekolahku saja terputus”.
“Dimana, ya? Hmmm… aku ingat. Kemarin teman Amma-ku mencari seseorang untuk menjadi penjaga tokonya. Teman Amma-ku itu muslim juga. Keturunan Pakistan. Kerjanya paruh waktu, kok. Jadi kalau kamu mau, kamu kan bisa kerja sambil meneruskan sekolah. Di Mumbai juga sih. Tapi jaraknya jauh dari Lalbatti”. mata Fathiya berbinar-binar setelah merasa telah memberi solusi terbaik atas kebingunganku.
Yup! Tanpa pikir panjang aku segera mengiyakan. Malam ini aku tertidur lelap di rumah Fathiya.
Esoknya Ia dan Ammanya mengantar aku ke rumah Zahra, nama pemilik toko itu. Benar-benar toko pakaian. Tanpa banyak basa-basi, dia setuju mempekerjakan aku di sana. Bahkan sekiranya aku tidak mempunyai tempat tinggal, aku juga boleh tinggal di paviliun rumahnya. Rabb… mere syukriya.
Menjelang `Ashar, selepas shalat Dzuhur kamipun pulang. Sesampai di rumah Fathiya aku tidak mampir dulu meski mereka menawarkan. Aku ingin segera pulang dan bertemu Noura. Pasti adikku akan senang mendengar kabar ini. Ah, semoga ia mau memaafkan kesalahan dan tamparanku kemarin.
Sore yang indah. Langit Viraar cukup cerah. Di ufuk barat berhias rona merah saga. Pasti Noura sudah ada di rumah. Aku akan datang meminta maaf padanya. Adikku sayang, hari ini Didi-mu mendapatkan pekerjaan yang halal dan insya Allah penuh berkah seperti yang kau inginkan.
Langkahku terayun ringan. Atap rumahku terlihat dari jauh. Semakin dekat. Sekilas Lalbatti melintas dalam ingatan. Cepat aku menepisnya. Langkahku semakin ku percepat. Setengah berlari aku pulang. Tak sabar ingin memeluk Noura dan menuntaskan rindu yang terpenggal karena kesalahanku selama ini.
Aku melangkah dengan hati berbunga-bunga. Senyumku terus merekah. Di perempatan jalan, seratus meter menuju rumahku, aku menyeberang tanpa menoleh kiri-kanan. Tak ku sadari, sebuah mobil melaju kencang ke arahku. Aku merasakan tubuhku membentur benda keras. Kemudian segalanya terasa begitu ringan. Ku lihat Bauji dan Amma melambai penuh cinta ke arahku, diantara kumpulan awan tipis yang berarak seperti kapas.
***


Monday 9 May 2011

DARI LERENG BROMO UNTUK INDONESIA


Tepat ketika shalat Jum’at hendak dilaksanakan pada Jum’at (15/4) lalu, sebuah bom meledak di masjid Mapolresta Cirebon, banyak jama’ah yang menjadi korban, termasuk si pengebom yang tewas seketika. Kedamaian di negeri ini sekali lagi terkoyak, setelah publik sempat ramai dengan teror bom buku yang meresahkan, kali ini tempat suci berupa masjid merah oleh darah korban yang berjatuhan.
Tapi hal itu menjadi kontras dengan pemandangan yang tersaji di sekian ratus kilometer dari tempat insiden bom bunuh diri itu. Tepatnya di desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, kerukunan dan kedamaian terasa begitu kental di daerah yang dihuni oleh masyarakat suku Tengger ini.
Berdasarkan informasi yang didapat, desa yang terletak sekitar 15 km dari Gunung Bromo ini sangat cocok menjadi pilihan untuk melihat lebih dekat bagaimana kerukunan hidup antar umat beragama yang kini semakin jarang ditemukan di negeri ber-bhinneka ini. Konon, di desa ini terdapat penganut agama Islam, Hindu, dan agama lainnya yang hidup berdampingan dan rukun.
Desa ini mempunyai luas. Dari kecamatan Sukapura sekitar 3 km. Kehidupan warga di desa yang dihuni oleh 2.823 jiwa dan terdiri dari 910 kepala keluarga ini damai sejak dari dulu meski terdiri dari latar belakang agama yang berbeda. Menurut Arjiwan Widodo yang menjadi Pak Tinggi (Kepala Desa, red) desa Sapikerep, dari warganya terdapat kurang lebih 50% beragama Muslim, Hindu 45%, dan agama lainnya seperti Kristen berjumlah sekitar 5%, mereka semua hidup rukun dan berdampingan tanpa gesekan dari zaman nenek moyang dulu. Hal ini diindikasikan terjadi karena warga di desa ini memegang kuat adat yang berlaku.
Toleransi beragama yang akhir-akhir ini banyak dipertanyakan, ternyata terlihat sangat kental di sini, contohnya ketika Idul Fitri yang menjadi hari besar bagi Muslim, tak hanya sesama muslim, tapi tetangga yang beragama lain juga turut berkunjung ke rumah tetangganya yang sedang merayakan hari besarnya, begitu juga sebaliknya. Bahkan, ketika tiba waktunya shalat bagi orang Islam dan sembahyang bagi umat Hindu, pengeras suaranya pun bergantian, jika sudah selesai adzan di masjid, maka kemudian pengeras suara milik Pura yang berbunyi.
Hal ini juga berlaku ketika ada salah seorang warga Muslim mengadakan Haul/Tahlilan keluarganya yang telah meninggal, maka si empunya hajat akan mengundang semua tetangga, baik yang seagama atau yang beragama lain.
Di desa yang mempunyai luas + 15 juta hektar ini, semangat tolong-menolong dan gotong royong melekat erat pada masyarakat meskipun berbeda, misalnya ketika terjadi perbaikan pura atau masjid, umat beragama lain turut serta membantu.
“Dari dulu memang desa ini damai, bahkan ketika selama 6 bulan gunung Bromo mengeluarkan abu vulkanik, warga desa Sapikerep santai saja, tidak ada yang unjukrasa, tidak ada yang mengungsi, karena yakin, meski tanah tidak bisa ditanami”, ujar Ngatik, Dukun Pandita, atau sering disebut juga Pak Dukun (tetua adat Tengger, red.).
Di desa ini juga perbedaan agama dalam keluarga tidak dipermasalahkan, banyak rumah yang dihuni oleh dua atau tiga macam agama, misalnya Hindu, Islam, dan Kristen. Seperti yang terjadi di keluarga Arjiwan Widodo, nenek mertuanya beragama Hindu, sedangkan dia dan anak istrinya beragama Islam. Bahkan, salah seorang putri Ngatik ada yang masuk Islam karena mengikuti agama suaminya, dan hal itu tidak menjadi soal.
“Tidak ada yang merasa keberatan dengan agama yang dianut oleh orang lain,” ungkap Noer Salim, Dewan Syura DPC NU Sukapura sekaligus pengajar TPQ di desa ini. “Karena toleransinya yang kuat, bahkan tidak jadi masalah jika anak seorang yang Hindu ikut belajar membaca al-Qur’an,” lanjutnya.
Pada awalnya, warga desa Sapikerep beragama Budha, tapi mereka hanya mengamalkan acara selamatan saja, setelah datangnya pembina agama Hindu dari Bali, kemudian warga banyak yang pindah ke agama Hindu, hingga sekarang tidak dapat ditemukan lagi warga desa Sapikerep yang beragama Budha. Namun, warga menolak jika dihubung-hubungkan atau disamakan dengan agama Hindu atau adat yang ada Bali karena memang berbeda. Mulai dari bentuk udeng (penutup kepala, red) dan baju adat sudah berbeda.
Karakteristik Suku Tengger
Dalam Kamus Budaya dan Religi Tengger yang ditulis oleh Ayu Sutarto dijelaskan bahwa Tengger adalah nama sebuah dataran tinggi yang membentang di kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Menurut orang Tengger nama ini berasal dari suku kata terakhir Rara Anteng putra Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit yang melarikan diri dan Jaka Seger anak seorang Brahmana. Kedua tokoh ini menikah dan menurunkan orang Tengger yang sekarang dikenal. Tengger juga berarti tengering budi luhur ‘tanda keluhuran budi pekerti’, yakni bahwa orang yang tinggal di kawasan ini selali bertumpu pada keluhuran budi dalam kehidupan sehari-harinya.
Tengger mempunyai luas daerah kurang lebih 40 km dan utara ke selatan; 20-30 km dan timur ke barat, di atas ketinggian antara 1000m - 3675 m. Daerah Tengger terletak pada bagian dari empat kabupaten, yaitu : Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang terluas, terletak pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo, dengan ketinggian 2392 m, dan masih aktif .Di sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m.
Sebagai salah satu suku yang ada di Indonesia, suku Tengger adalah salah satu dari sekian suku yang masih menjaga kearifan lokalnya. Berbagai macam adat-istiadat masih terjaga rapi. Salah satunya adalah upacara adat yang rutin digelar mulai setahun hingga lima tahun sekali. Yaitu Karo yang diadakan setahun sekali, Unan-unan setiap lima tahun sekali, dan Kasada yang diadakan setahun sekali (yaitu pada tanggal 15 bulan Poso/Ramadhan).
Suku Tengger mudah dikenali karena kain sarung yang mereka kenakan, atau yang biasa disebut dengan kawengan. Kawengan juga berfungsi sebagai baju penghangat dan dikenakan mulai dari berladang hingga santai.
Di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mayoritas dari mereka adalah petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul, sabit dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi, kentang, kubis, wortel, dan lain-lainnya.
Mungkin karena sifat masyarakat suku Tengger yang cinta damai, mereka bisa dengan lapang dada menerima perbedaan yang ada di sekelilingnya, termasuk perbedaan agama, dengan catatan tidak mengganggu ketentraman warga. Karena menurut cerita, dulu pernah ada seorang yang melarang warga desa yang beragama muslim untuk berdekatan atau ikut upacara adat suku Tengger yang biasa mereka lakukan, tapi hal ini tidak berlangsung lama karena masyarakat desa menolak kehadiran ajaran yang bertentangan dengan karakter warga Tengger yang cinta damai dan penuh toleransi terhadap sesama.
Bisa bayangkan bagaimana keadaan Indonesia jika warga negaranya damai dan mempunyai toleransi tinggi terhadap perbedaan laiknya warga Tengger ini, rasanya tidak berlebihan jika mendaulat desa ini sebagai daerah percontohan kerukunan antar sesama.

Note: tulisan ini hasil hunting aku, Uul, Amir dan Subaidi untuk penerbitan Tabloid SOLIDARITAS IAIN Sunan Ampel.


Tuesday 3 May 2011

Musim Beku di Kota Sajak

Selembar salju menyelimutiku

Sehabis ku selesaikan perjalanan rindu

Dari gunung pasir dan pantai cemara

 

Ada seikat rindu yang ku simpan

Di kantong kemejaku

Ingin ku berikan padamu sore itu

Namun di matamu setumpuk mendung

Berwarna jambu

Lalu ku urungkan tuk memberikannya padamu

 

Masih ku simpan rapi

Gulungan cerita

Yang pernah kita tulis di warung pinggiran

Bersama semangkok kuah kata

Yang tak lagi hangat karna kita terlalu lama bercanda

 

Mungkin kau telah melupakannya

Karna lelaki berwajah merah itu

Telah memasuki istana birumu

Dan kau pun tak pernah lagi

Menemaniku bercerita dan berpuisi

Di sudut taman tak berbunga

 

Hari ini, laut tak secair dahulu

Sungai kata tak seindah kemarin

Pelangi pun tak lagi berwarna

Musim beku telah datang

Melanda kota sajak tempat kita sering berjumpa

Hanya langit tetap indah dengan aurora

Selalu temaniku dalam gigilku

 

                        April-Mei 2011


Sunday 17 April 2011

JOURNEY TO BE JOURNALIST



Perjalanan ini diawali dengan rencana terbitnya Tabloid Solidaritas IAIN Sunan Ampel Surabaya edisi Mei 2011. Kebetulan pada edisi tersebut redaksi sepakat untuk mengangkat tema tentang multikulturalisme di indonesia dan salah satu sub temanya tentang kerukunan beragama suku Tengger yang berada di lereng gunung Bromo, Pobolinggo, Jatim. 

Setelah itu, kami memutuskan siapa saja yang bertugas untuk liputan ke Bromo yang terdiri dari empat orang. Yaitu, Ubeid selaku Pimred, aku, Amir, dan Uul. Kami berempat sepakat untuk memulai liputan di Tengger tanggal 15 April 2011, hari jumat. Menurut rencana kami akan berada di sana selama dua hari sampai hari sabtu sore atau paling terakhir minggu pagi.

Sejujurnya, tak satu pun dari kami berempat yang tahu betul daerang suku Tengger di Bromo. Ubeid pun yang pernah ke Bromo hanya sebatas tahu rute jalannya dengan kendaraan pribadi, tidak dengan angkutan umum, apalagi seluk beluk suku tengger juga desa apa yang layak untuk diliput dan dimasukkan ke tabloid Solidaritas.

Meski begitu, kami tetap berangkat ke Bromo dengan bermodal kartu pers dan surat tugas peliputan. Kami berangkat dari LPM Solidaritas jam 08.00 WIB menuju terminal bungurasih Surabaya. 

Dari terminal Bungurasih tujuan kami saat itu hanya satu, yaitu terminal Probolinggo. Tak ada yang tau setelah itu kami harus cari angkutan di mana untuk mencapai suku tengger. Hanya keberanian bercampur kepasrahan yang ada di benak kami saat itu.

Sekitar jam 12.00 WIB kami tiba di terminal Probolinggo. Saat itu cuaca di sana lumayan sejuk tak seperti Surabaya yang selalu panas. Di terminal Probolinggo kami mencoba bertanya ke petugas terminal tentang angkutan menuju Bromo atau Tengger. Ada beberapa orang yang kami tanyakan dan kesimpulannya, untuk mencapai Bromo kami harus ikut bison atau mini bus yang ternyata merupakan travel jasa antar jemput.

Pada awalnya kami kira ongkos dari terminal Probolinggo ke Bromo tak kurang dari 15.000 rupiah saja. Tapi ternyata 30.000 rupiah setiap orang. Kami pun sedikit kaget. Tapi mau bagaimana lagi, kami harus ke sana untuk mendapatkan data keberagaman agama suku Tengger meski pun kami sendiri tau kondisi kantong kami saat itu sangat tipis sekali.

Saat itu, kami masih tetap belum menemukan tujuan yang pasti di mana kami bisa menemui suku tengger yang berdampingan kehidupan beragamanya. Namun saat kami berempat menunggu bison berangkat ada seorang ibu muda yang berbincang-bincang dengan kami. Dari ibu muda itu kami mendapatkan informasi bahwa desa yang kehidupan beragamanya berdampingan dan cukup banyak macam agamanya hanya desa Sapikerep. Jaraknya dari puncak Bromo masih sekitar 15 km. sedangkan desa lain yang ada di bawaha atau pun di atasnya mayoritas ditinggali kaum satu agama. Ada yang ditinggali umat islam saja, ada pula yang hanya ditinggali umat hindu.

Hampir satu jam perjalanan dari terminal Probolinggo menuju desa Sapikerep. Di desa itu kami turun tepat di depan balai desa. Tapi saat itu balai desa sudah tak ada orang. Kami pun bertanya pada orang yang tinggal di rumah sebelah balai desa. Ternyata balai desa sudah kosong dan kami harus menemui pak lurahnya atau pak tinggi (menurut istilah suku Tengger) di rumahnya yang jaraknya sekitar 500 m dari balai desa ke bawah.

Saat itu suasana di desa Sapikerep lumayan dingin dan kami melihat kabut di mana-mana. Sedangkan dibawah kami sisa-sisa abu fulkanik semburan dari puncak Bromo masih terasa sangat tebal. Tapi kami tetap berjalan mencari rumah pak Lurah desa itu. Akhirnya, kami pun tiba di rumah pak Lurah. Saya cukup terkesan saat tiba di sana, suku Tengger ternyata sangat ramah saat menerima tamu tak seperti yang kami bayangkan sebelumnya.

Sekitar setengah jam lamanya kami wawancara dengan pak Lurah. Setelah itu kami menanyakan siapa saja pemuka agama-agama di sana. Kami pun ditujukkan pada dua orang yaitu pak Dukun Ngatik selaku pembesar agama Hindu dan pak Kesra dari agama Islam.

Kemudian, pak Lurah mengantarkan kami ke kediaman Pak Dukun Ngatik. Di sana juga kami disambut dengan sangat ramah. Aku sendiri pun merasa tak ada perbedaan dengan rumah pak Lurah yang beragama islam tadi dengan rumah pak Dukun ini, serasa tak ada perbedaan agama yang ku rasakan dari sikap pak Dukun dan keluarganya pada kami.

Hampir satu jam kami mewawancarai pak Dukun. Beliau sangat bersemangat sekali saat ditanya seputar adat suku Tengger dan keberagaman agamanya. Beliau mengatakan bahwa agama bukanlah penghalang untuk mereka hidup rukun dan saling tolong menolong.

Baru aku tahu ternyata di daerah itu banyak keluarga yang dalam satu rumah berbeda agama. Pak Dukun sendiri yang pembesar agama hindu mempunyai anak yang beragama islam dan menikah dengan orang islam pula. Tapi tak sedikit pun di sana tercium aroma perselisihan seputar agama seperti di daerah lain. Mereka hidup sangat rukun. Anjing-anjing yang dipelihara orang hindu pun tak sembarang menggonggong ketika melihat orang asing. Juga umat islam di sana tak sedikit pun merasa risih dan terganggu dengan adanya anjing-anjing yang berkeliaran di sekitar rumah mereka. Sungguh betapa indahnya kehidupan yang mereka jalani. Saling mengerti dan toleransi satu sama lain. Subhanallah. Andai saja daerah lain mau meniru suku Tengger ini.

Selanjutnya orang terakhir yang perlu kami wawancarai adalah pak Kesra selaku pemuka agama islam. Tapi sayang saat kami mendatangi rumahnya beliau sedang ada urusan keluar kota. Akhirnya dengan petunjuk dari istri pak Kesra kami mengunjungi pak Noer Salim penjaga masjid Nurul Falah yang juga pemuka agama Islam di sana.

Saat menemui beliau kami seakan menemui guru kami sendiri. Terasa sangat dekat dan sangat akrab. Beliau pun langsung mengerti apa yang kami inginkan dan langsung menjelaskan panjang lebar tentang Islam di suku Tengger termasuk tentang keislaman Suku Tengger yang ternyata termasuk umat NU (Nahdlatul Ulama’). Kalau kata Amir, ‘golongan sendiri’.

Akhirnya wawancara kami selesai. Tapi saat itu cuaca masih hujan dan kami tak bisa bergerak dari masjid Nurul Falah. Kami kemudian berunding apa akan tetap melanjutkan niat kami untuk naik ke puncak Bromo atau turun dan kembali ke Surabaya.

Sebenarnya, kami sangat menginginkan untuk naik ke puncak Bromo dan menikmati Sun Rise esok hari. Tapi kami mempertimbangkan lagi kondisi kantong kami. Di atas sana kami harus mendapatkan penginapan yang menurut informasi penduduk sana harga minimal 200.000 rupiah. Harga yang sudah sangat tidak cocok dengan kondisi kantong saat itu. Apalagi kami juga mempertimbangkan harga makanan yang ternyata jauh lebih mahal dari Surabaya. Bayangkan, harga sepiring nasi dengan lauk mien dan telor juga segelas teh hangat untuk empat orang sebesar 27.000 rupiah. Padahal di Surabaya dengan hidangan seperti itu, kami hanya mengeluarkan uang tak lebih dari 15.000 rupiah.

Akhirnya kami memutuskan untuk turun dan balik ke Surabaya meski saat itu sudah soren dan gerimis masih menyelimuti lereng gunung Bromo. Karena kalau saja kami lebih sore lagi hingga hari gelap kita tak turun kita tak akan mendapatkan angkutan ke terminal Probolinggo yang sangat jarang juga di perjalanan kami akan bertemu dengan anjing-anjing dan hutan.

Dengan sedikit nekat dan pasrah pada Allah kami pun turun menuju Sukapura, desa yang cukup banyak angkutan menuju terminal Probolinggo. Jarak yang harus kami tempuh dari desa Sapikerep ke Sukapura ternyata tidak dekat, tapi kami harus menempuh jarak sekitar 10 km.

Kami pun melangkah dengan diiringi shalawat dan doa-doa yang kami bacakan setiap kali melangkah dengan harapan Allah bisa melindungi kami dari segala bahaya. Namun, sekitar 2 km dari tempat kami mengawali perjalanan turun, kami bertemu dengan seekor anjing berwarna coklat sebesar kambing. Awalnya kami melangkah santai, tapi tiba-tiba anjing itu menggonggong membuat kami terkejut. Dengan sedikit berlari kami mencoba untuk menjauh dari anjing itu tapi anjing itu malah mengikuti kami. Kami ketakutan hingga salah satu dari kami yaitu Ubeid dan Uul hampir terjatuh karena ketakutan. Dan alhamdulillah, saat itu tuan dari anjing itu tahu dan segera memanggil anjingnya untuk kembali ke rumah. Kami pun sedikit lega dan bersyukur pada Allah.

Namun, ringtangan menuju Sukapura ternyata tak hanya itu saja. Di depan kami terbentang hutan yang cukup luas. Tak satu rumah pun ada di sana. Jalan pun hampir tak terlihat andai saja purnama tak menemani perjalanan kami. Di hutan  ternyata aku merasakan hal sangat aneh, tiba-tiba aku merinding seperti ada sesuatu yang gaib menyentuh kulit. Tapi aku tetap tenang dan tak memberitahukannya ke teman-teman yang lain. Kami pun terus melangkah, ku lihat Amir masih tetap kuat karena memang dia cukup sering mengalami hal yang sama begitu juga aku dan Ubeid. Tapi yang menjadi perhatianku adalah Uul, dia mulai sedikit terseok-seok langkahnya dan sangat kelihatan sekali lelah telah masuk ke dalam tubuhnya. Tapi kami tetap bertahan karna kami tahu bukan saatnya untuk istirahat di tengah hutan yang gelap dan seram.

Akhirnya, setelah sangat lama kami berjalan desa Sukapura kami capai juga. Berkali-kali ku ucapkan kalimat syukur pada Allah karna kami terbebas dari bahaya hutan itu. Tapi di sana kami masih juga belum menemukan angkutan menuju terminal Probolinggo.

Sejenak kami istirahat sambil lalu membeli air mineral dan snack di depan sebuah toko yang cukup besar. Saat itulah kami melihat ada bison yang turun dari puncak. Tanpa pikir panjang kami menyetop bison itu dan menumpangnya. Akhirnya kami bisa sedikit lega karena kami telah bisa segera menuju terminal Probolinggo kemudian pulang ke Surabaya.

Sekitar 45 menit perjalanan dari Sukapura ke terminal Probolinggo. Di terminal kami tak berpikir panjang. Kami harus segera makan dan mencari bus ke Surabaya untuk pulang.

Saat kami makan, aku bercerita tentang apa yang ku rasakan saat ada di hutan tadi dan ternyata tak hanya aku saja yang merasakannya tapi yang lain juga merasakan ada hal mistis dan gaib yang menyentuh dan menemani perjalanan kami dari Sapikerep ke Sukapura. Namun Allah masih melindungi kami hingga kami tak terbawa ke alam yang bukan alam kami.


Akhirnya kami menaiki bus Akas Asri menuju Surabaya dan pada jam 1.00 WIB dini hari kami kembali tiba di kampus tercinta dengan selamat. Apa yang terjadi padaku dan teman-teman saat itu akan menjadi pengalaman yang berharga, tak kan terlupakan hingga kapan pun dan juga tak akan bisa dihargai dengan uang sebesar apa pun.

Untuk teman-teman dari LPM Solidaritas yang lain, kalian tak akan bisa merasakan enaknya jadi wartawan jika belum pernah merasakan hal yang aku, Amir, Ubeid dan Uul rasakan di Bromo.


Monday 11 April 2011

Sepotong Malam di Kotamu

Gemerlap malam kotamu telah membiusku

Dan membuatku enggan tuk tinggalkannya

 

Sepotong roti bakar berselai rindu

Dan segelas susu coklat tanpa gula

Menjadi hidangan makan malamku

Setelah ku lantunkan syair-syair Tuhan

Di sudut putih kotamu

 

Perbincanganku tentang wanita bersepda hitam dan putih

Dengan lelaki tambun berwajah oval itu

Membuatku tak bisa memainkan dawai tipis gerimis

Di kening langit

 

Gemerlap malam kotamu

Telah membangkitkan kembali insomniaku

Membuatku tak bisa menikmati sejuknya

Angin malam yang begitu lembut membelaiku

 

Ingin sekali aku beranjak dari sini

Tapi kisah tentang penyair bisu

Yang ku tulis di prasasti depan rumahmu

Tak kunjung mampu ku selesaikan

 

Lalu saat pagi mulai menguap,

Para wanita berfarfum sembilu mulai terlelap

Ku mulai membuka gulungan angin

Yang ku dapat dari negeri sakura

Dan membaca mantra-mantranya untukmu

Sambil menunggu datangnya kantuk

Yang selalu memelukku

 

                                    April 2011


Thursday 7 April 2011

Amnesia

              ;iwf

 

I

Bukan puisi atau cerita tentang detektif

Yang ingin ku bacakan untukmu malam ini

Melainkan sebaris mantra api

Dari dukun berwajah kelabu

 

Tak ada lagi hasratku

Tuk menikmati hidangan makan malam

Dihidangkan wanita berparas bisu itu

 

II

Aku masih di sini

Di trotoar kotamu

Bercanda ria bersama para wanita setengah lelaki

Sambil lalu memainkan nada-nada fals

Dari negeri para tikus

 

Ada sedikit inginku

Tuk kembali ke kotaku

Tapi aku tak lagi ingat jalannya

Bahkan seketsa gubuk biru itu

Tak lagi mampu kulukiskan

Di catatan harian

 

Malam ini, bersama aroma lumpur minyak kotamu

Ku coba terlelap

Sambil lalu menghapus sisa lumpur di wajahku

Yang ku dapat dari badan halus roda kertamu

Saat dia melaju bersamamu begitu kencangnya

 

Malam ini, bukan aku tak mau meninggalkan kotamu

Tapi aku tak lagi bisa menyebutkan dan mengingat

Ayahku, ibuku, saudaraku, dan semua orang dari gubukku

Karena aku sudah terlalu lama di sini

Mencari pecahan permata merah jambu dari istanamu

Tuk ku bawa ke puncak mahameru


Thursday 24 March 2011

Epilog Malam

Pertemuan di senja renta itu

Mungkin akan menjadi akhir kisah ini

;ku tulis dengan secawan arak surga

 

Malam ini bulan tak memelukku seperti biasa

Dia hanya tersenyum padaku dari kejauhan

Serasa enggan mencium aroma vodka dari mulutku

 

Ada seekor kelelawar menghampiriku

Menceritakan tentang seorang perempuan berparas biru

Dirayu lelaki berwajah kelabu

 

Ah, ingin sekali ku bunuh dia

Hingga tak lagi bisa menampakkan wangi amisnya

;menusuk hidungku

 

Malam ini, aku ingin membaca dongeng terakhir

Detektif negeri sakura untukmu

Sebelum akhirnya kau terlelap

Lalu bertemu dengan awan di pagi beku

 

Agar esok saat ku temui Izrail di fajar bisu

Aku tak lagi mengingat sketsa parasmu

Mirip putri iklan tivi itu

 

Malam ini, aku ingin menghabiskan

Beribu botol wiski dari negeri bersalju

Tuk hilangkan semua penat yang menumpuk

Sejak seabad yang lalu

Lalu aku akan mendendangkan nyanyian

Pria humoris dari negeri seribu satu malam

Agar mataku tak terkantuk lagi

 

                                    Maret 2011


Saturday 19 March 2011

Reruntuhan Mimpi

Sudah tak ada guna

Menangisi untaian puisi yang terhanyut

Tsunami di laut jiwa

 

Beribu kisah yang ditulis malaikat

Berwarna merah jambu

Telah hangus terbakar api

;dinyalakan lelaki berwajah merah

 

Bangunan mimpi yang kudirikan

Dengan beribu-ribu batu imaji

Hancur bersama ambruknya istana kata

 

Aku tak lagi bisa bernafas lega

Sebab udara di sini sudah tak lagi menari

Sedang burung-burung elang hitam itu

Semakin mencoba menusukku dengan cakarnya

 

Senja pun tak lagi secantik dahulu

Dia telah kehilangan keperawanannya

Sedang pelangi telah memudar warnanya

 

Ingin sekali rasanya memandang langit lebih lama

Dan mengunjungi ujung selatan kota pahlawan sekali lagi

Tapi aku tak bisa

Kereta malam dari surga telah menungguku

Ia akan membawaku meninggalkan reruntuhan ini

Menuju taman nirwana berhias sejuta syair dan sajak

 

                        Maret 2011