Monday 9 May 2011

DARI LERENG BROMO UNTUK INDONESIA


Tepat ketika shalat Jum’at hendak dilaksanakan pada Jum’at (15/4) lalu, sebuah bom meledak di masjid Mapolresta Cirebon, banyak jama’ah yang menjadi korban, termasuk si pengebom yang tewas seketika. Kedamaian di negeri ini sekali lagi terkoyak, setelah publik sempat ramai dengan teror bom buku yang meresahkan, kali ini tempat suci berupa masjid merah oleh darah korban yang berjatuhan.
Tapi hal itu menjadi kontras dengan pemandangan yang tersaji di sekian ratus kilometer dari tempat insiden bom bunuh diri itu. Tepatnya di desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, kerukunan dan kedamaian terasa begitu kental di daerah yang dihuni oleh masyarakat suku Tengger ini.
Berdasarkan informasi yang didapat, desa yang terletak sekitar 15 km dari Gunung Bromo ini sangat cocok menjadi pilihan untuk melihat lebih dekat bagaimana kerukunan hidup antar umat beragama yang kini semakin jarang ditemukan di negeri ber-bhinneka ini. Konon, di desa ini terdapat penganut agama Islam, Hindu, dan agama lainnya yang hidup berdampingan dan rukun.
Desa ini mempunyai luas. Dari kecamatan Sukapura sekitar 3 km. Kehidupan warga di desa yang dihuni oleh 2.823 jiwa dan terdiri dari 910 kepala keluarga ini damai sejak dari dulu meski terdiri dari latar belakang agama yang berbeda. Menurut Arjiwan Widodo yang menjadi Pak Tinggi (Kepala Desa, red) desa Sapikerep, dari warganya terdapat kurang lebih 50% beragama Muslim, Hindu 45%, dan agama lainnya seperti Kristen berjumlah sekitar 5%, mereka semua hidup rukun dan berdampingan tanpa gesekan dari zaman nenek moyang dulu. Hal ini diindikasikan terjadi karena warga di desa ini memegang kuat adat yang berlaku.
Toleransi beragama yang akhir-akhir ini banyak dipertanyakan, ternyata terlihat sangat kental di sini, contohnya ketika Idul Fitri yang menjadi hari besar bagi Muslim, tak hanya sesama muslim, tapi tetangga yang beragama lain juga turut berkunjung ke rumah tetangganya yang sedang merayakan hari besarnya, begitu juga sebaliknya. Bahkan, ketika tiba waktunya shalat bagi orang Islam dan sembahyang bagi umat Hindu, pengeras suaranya pun bergantian, jika sudah selesai adzan di masjid, maka kemudian pengeras suara milik Pura yang berbunyi.
Hal ini juga berlaku ketika ada salah seorang warga Muslim mengadakan Haul/Tahlilan keluarganya yang telah meninggal, maka si empunya hajat akan mengundang semua tetangga, baik yang seagama atau yang beragama lain.
Di desa yang mempunyai luas + 15 juta hektar ini, semangat tolong-menolong dan gotong royong melekat erat pada masyarakat meskipun berbeda, misalnya ketika terjadi perbaikan pura atau masjid, umat beragama lain turut serta membantu.
“Dari dulu memang desa ini damai, bahkan ketika selama 6 bulan gunung Bromo mengeluarkan abu vulkanik, warga desa Sapikerep santai saja, tidak ada yang unjukrasa, tidak ada yang mengungsi, karena yakin, meski tanah tidak bisa ditanami”, ujar Ngatik, Dukun Pandita, atau sering disebut juga Pak Dukun (tetua adat Tengger, red.).
Di desa ini juga perbedaan agama dalam keluarga tidak dipermasalahkan, banyak rumah yang dihuni oleh dua atau tiga macam agama, misalnya Hindu, Islam, dan Kristen. Seperti yang terjadi di keluarga Arjiwan Widodo, nenek mertuanya beragama Hindu, sedangkan dia dan anak istrinya beragama Islam. Bahkan, salah seorang putri Ngatik ada yang masuk Islam karena mengikuti agama suaminya, dan hal itu tidak menjadi soal.
“Tidak ada yang merasa keberatan dengan agama yang dianut oleh orang lain,” ungkap Noer Salim, Dewan Syura DPC NU Sukapura sekaligus pengajar TPQ di desa ini. “Karena toleransinya yang kuat, bahkan tidak jadi masalah jika anak seorang yang Hindu ikut belajar membaca al-Qur’an,” lanjutnya.
Pada awalnya, warga desa Sapikerep beragama Budha, tapi mereka hanya mengamalkan acara selamatan saja, setelah datangnya pembina agama Hindu dari Bali, kemudian warga banyak yang pindah ke agama Hindu, hingga sekarang tidak dapat ditemukan lagi warga desa Sapikerep yang beragama Budha. Namun, warga menolak jika dihubung-hubungkan atau disamakan dengan agama Hindu atau adat yang ada Bali karena memang berbeda. Mulai dari bentuk udeng (penutup kepala, red) dan baju adat sudah berbeda.
Karakteristik Suku Tengger
Dalam Kamus Budaya dan Religi Tengger yang ditulis oleh Ayu Sutarto dijelaskan bahwa Tengger adalah nama sebuah dataran tinggi yang membentang di kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Menurut orang Tengger nama ini berasal dari suku kata terakhir Rara Anteng putra Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit yang melarikan diri dan Jaka Seger anak seorang Brahmana. Kedua tokoh ini menikah dan menurunkan orang Tengger yang sekarang dikenal. Tengger juga berarti tengering budi luhur ‘tanda keluhuran budi pekerti’, yakni bahwa orang yang tinggal di kawasan ini selali bertumpu pada keluhuran budi dalam kehidupan sehari-harinya.
Tengger mempunyai luas daerah kurang lebih 40 km dan utara ke selatan; 20-30 km dan timur ke barat, di atas ketinggian antara 1000m - 3675 m. Daerah Tengger terletak pada bagian dari empat kabupaten, yaitu : Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang terluas, terletak pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo, dengan ketinggian 2392 m, dan masih aktif .Di sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m.
Sebagai salah satu suku yang ada di Indonesia, suku Tengger adalah salah satu dari sekian suku yang masih menjaga kearifan lokalnya. Berbagai macam adat-istiadat masih terjaga rapi. Salah satunya adalah upacara adat yang rutin digelar mulai setahun hingga lima tahun sekali. Yaitu Karo yang diadakan setahun sekali, Unan-unan setiap lima tahun sekali, dan Kasada yang diadakan setahun sekali (yaitu pada tanggal 15 bulan Poso/Ramadhan).
Suku Tengger mudah dikenali karena kain sarung yang mereka kenakan, atau yang biasa disebut dengan kawengan. Kawengan juga berfungsi sebagai baju penghangat dan dikenakan mulai dari berladang hingga santai.
Di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mayoritas dari mereka adalah petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul, sabit dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi, kentang, kubis, wortel, dan lain-lainnya.
Mungkin karena sifat masyarakat suku Tengger yang cinta damai, mereka bisa dengan lapang dada menerima perbedaan yang ada di sekelilingnya, termasuk perbedaan agama, dengan catatan tidak mengganggu ketentraman warga. Karena menurut cerita, dulu pernah ada seorang yang melarang warga desa yang beragama muslim untuk berdekatan atau ikut upacara adat suku Tengger yang biasa mereka lakukan, tapi hal ini tidak berlangsung lama karena masyarakat desa menolak kehadiran ajaran yang bertentangan dengan karakter warga Tengger yang cinta damai dan penuh toleransi terhadap sesama.
Bisa bayangkan bagaimana keadaan Indonesia jika warga negaranya damai dan mempunyai toleransi tinggi terhadap perbedaan laiknya warga Tengger ini, rasanya tidak berlebihan jika mendaulat desa ini sebagai daerah percontohan kerukunan antar sesama.

Note: tulisan ini hasil hunting aku, Uul, Amir dan Subaidi untuk penerbitan Tabloid SOLIDARITAS IAIN Sunan Ampel.


0 comments: