Sunday 17 April 2011

JOURNEY TO BE JOURNALIST



Perjalanan ini diawali dengan rencana terbitnya Tabloid Solidaritas IAIN Sunan Ampel Surabaya edisi Mei 2011. Kebetulan pada edisi tersebut redaksi sepakat untuk mengangkat tema tentang multikulturalisme di indonesia dan salah satu sub temanya tentang kerukunan beragama suku Tengger yang berada di lereng gunung Bromo, Pobolinggo, Jatim. 

Setelah itu, kami memutuskan siapa saja yang bertugas untuk liputan ke Bromo yang terdiri dari empat orang. Yaitu, Ubeid selaku Pimred, aku, Amir, dan Uul. Kami berempat sepakat untuk memulai liputan di Tengger tanggal 15 April 2011, hari jumat. Menurut rencana kami akan berada di sana selama dua hari sampai hari sabtu sore atau paling terakhir minggu pagi.

Sejujurnya, tak satu pun dari kami berempat yang tahu betul daerang suku Tengger di Bromo. Ubeid pun yang pernah ke Bromo hanya sebatas tahu rute jalannya dengan kendaraan pribadi, tidak dengan angkutan umum, apalagi seluk beluk suku tengger juga desa apa yang layak untuk diliput dan dimasukkan ke tabloid Solidaritas.

Meski begitu, kami tetap berangkat ke Bromo dengan bermodal kartu pers dan surat tugas peliputan. Kami berangkat dari LPM Solidaritas jam 08.00 WIB menuju terminal bungurasih Surabaya. 

Dari terminal Bungurasih tujuan kami saat itu hanya satu, yaitu terminal Probolinggo. Tak ada yang tau setelah itu kami harus cari angkutan di mana untuk mencapai suku tengger. Hanya keberanian bercampur kepasrahan yang ada di benak kami saat itu.

Sekitar jam 12.00 WIB kami tiba di terminal Probolinggo. Saat itu cuaca di sana lumayan sejuk tak seperti Surabaya yang selalu panas. Di terminal Probolinggo kami mencoba bertanya ke petugas terminal tentang angkutan menuju Bromo atau Tengger. Ada beberapa orang yang kami tanyakan dan kesimpulannya, untuk mencapai Bromo kami harus ikut bison atau mini bus yang ternyata merupakan travel jasa antar jemput.

Pada awalnya kami kira ongkos dari terminal Probolinggo ke Bromo tak kurang dari 15.000 rupiah saja. Tapi ternyata 30.000 rupiah setiap orang. Kami pun sedikit kaget. Tapi mau bagaimana lagi, kami harus ke sana untuk mendapatkan data keberagaman agama suku Tengger meski pun kami sendiri tau kondisi kantong kami saat itu sangat tipis sekali.

Saat itu, kami masih tetap belum menemukan tujuan yang pasti di mana kami bisa menemui suku tengger yang berdampingan kehidupan beragamanya. Namun saat kami berempat menunggu bison berangkat ada seorang ibu muda yang berbincang-bincang dengan kami. Dari ibu muda itu kami mendapatkan informasi bahwa desa yang kehidupan beragamanya berdampingan dan cukup banyak macam agamanya hanya desa Sapikerep. Jaraknya dari puncak Bromo masih sekitar 15 km. sedangkan desa lain yang ada di bawaha atau pun di atasnya mayoritas ditinggali kaum satu agama. Ada yang ditinggali umat islam saja, ada pula yang hanya ditinggali umat hindu.

Hampir satu jam perjalanan dari terminal Probolinggo menuju desa Sapikerep. Di desa itu kami turun tepat di depan balai desa. Tapi saat itu balai desa sudah tak ada orang. Kami pun bertanya pada orang yang tinggal di rumah sebelah balai desa. Ternyata balai desa sudah kosong dan kami harus menemui pak lurahnya atau pak tinggi (menurut istilah suku Tengger) di rumahnya yang jaraknya sekitar 500 m dari balai desa ke bawah.

Saat itu suasana di desa Sapikerep lumayan dingin dan kami melihat kabut di mana-mana. Sedangkan dibawah kami sisa-sisa abu fulkanik semburan dari puncak Bromo masih terasa sangat tebal. Tapi kami tetap berjalan mencari rumah pak Lurah desa itu. Akhirnya, kami pun tiba di rumah pak Lurah. Saya cukup terkesan saat tiba di sana, suku Tengger ternyata sangat ramah saat menerima tamu tak seperti yang kami bayangkan sebelumnya.

Sekitar setengah jam lamanya kami wawancara dengan pak Lurah. Setelah itu kami menanyakan siapa saja pemuka agama-agama di sana. Kami pun ditujukkan pada dua orang yaitu pak Dukun Ngatik selaku pembesar agama Hindu dan pak Kesra dari agama Islam.

Kemudian, pak Lurah mengantarkan kami ke kediaman Pak Dukun Ngatik. Di sana juga kami disambut dengan sangat ramah. Aku sendiri pun merasa tak ada perbedaan dengan rumah pak Lurah yang beragama islam tadi dengan rumah pak Dukun ini, serasa tak ada perbedaan agama yang ku rasakan dari sikap pak Dukun dan keluarganya pada kami.

Hampir satu jam kami mewawancarai pak Dukun. Beliau sangat bersemangat sekali saat ditanya seputar adat suku Tengger dan keberagaman agamanya. Beliau mengatakan bahwa agama bukanlah penghalang untuk mereka hidup rukun dan saling tolong menolong.

Baru aku tahu ternyata di daerah itu banyak keluarga yang dalam satu rumah berbeda agama. Pak Dukun sendiri yang pembesar agama hindu mempunyai anak yang beragama islam dan menikah dengan orang islam pula. Tapi tak sedikit pun di sana tercium aroma perselisihan seputar agama seperti di daerah lain. Mereka hidup sangat rukun. Anjing-anjing yang dipelihara orang hindu pun tak sembarang menggonggong ketika melihat orang asing. Juga umat islam di sana tak sedikit pun merasa risih dan terganggu dengan adanya anjing-anjing yang berkeliaran di sekitar rumah mereka. Sungguh betapa indahnya kehidupan yang mereka jalani. Saling mengerti dan toleransi satu sama lain. Subhanallah. Andai saja daerah lain mau meniru suku Tengger ini.

Selanjutnya orang terakhir yang perlu kami wawancarai adalah pak Kesra selaku pemuka agama islam. Tapi sayang saat kami mendatangi rumahnya beliau sedang ada urusan keluar kota. Akhirnya dengan petunjuk dari istri pak Kesra kami mengunjungi pak Noer Salim penjaga masjid Nurul Falah yang juga pemuka agama Islam di sana.

Saat menemui beliau kami seakan menemui guru kami sendiri. Terasa sangat dekat dan sangat akrab. Beliau pun langsung mengerti apa yang kami inginkan dan langsung menjelaskan panjang lebar tentang Islam di suku Tengger termasuk tentang keislaman Suku Tengger yang ternyata termasuk umat NU (Nahdlatul Ulama’). Kalau kata Amir, ‘golongan sendiri’.

Akhirnya wawancara kami selesai. Tapi saat itu cuaca masih hujan dan kami tak bisa bergerak dari masjid Nurul Falah. Kami kemudian berunding apa akan tetap melanjutkan niat kami untuk naik ke puncak Bromo atau turun dan kembali ke Surabaya.

Sebenarnya, kami sangat menginginkan untuk naik ke puncak Bromo dan menikmati Sun Rise esok hari. Tapi kami mempertimbangkan lagi kondisi kantong kami. Di atas sana kami harus mendapatkan penginapan yang menurut informasi penduduk sana harga minimal 200.000 rupiah. Harga yang sudah sangat tidak cocok dengan kondisi kantong saat itu. Apalagi kami juga mempertimbangkan harga makanan yang ternyata jauh lebih mahal dari Surabaya. Bayangkan, harga sepiring nasi dengan lauk mien dan telor juga segelas teh hangat untuk empat orang sebesar 27.000 rupiah. Padahal di Surabaya dengan hidangan seperti itu, kami hanya mengeluarkan uang tak lebih dari 15.000 rupiah.

Akhirnya kami memutuskan untuk turun dan balik ke Surabaya meski saat itu sudah soren dan gerimis masih menyelimuti lereng gunung Bromo. Karena kalau saja kami lebih sore lagi hingga hari gelap kita tak turun kita tak akan mendapatkan angkutan ke terminal Probolinggo yang sangat jarang juga di perjalanan kami akan bertemu dengan anjing-anjing dan hutan.

Dengan sedikit nekat dan pasrah pada Allah kami pun turun menuju Sukapura, desa yang cukup banyak angkutan menuju terminal Probolinggo. Jarak yang harus kami tempuh dari desa Sapikerep ke Sukapura ternyata tidak dekat, tapi kami harus menempuh jarak sekitar 10 km.

Kami pun melangkah dengan diiringi shalawat dan doa-doa yang kami bacakan setiap kali melangkah dengan harapan Allah bisa melindungi kami dari segala bahaya. Namun, sekitar 2 km dari tempat kami mengawali perjalanan turun, kami bertemu dengan seekor anjing berwarna coklat sebesar kambing. Awalnya kami melangkah santai, tapi tiba-tiba anjing itu menggonggong membuat kami terkejut. Dengan sedikit berlari kami mencoba untuk menjauh dari anjing itu tapi anjing itu malah mengikuti kami. Kami ketakutan hingga salah satu dari kami yaitu Ubeid dan Uul hampir terjatuh karena ketakutan. Dan alhamdulillah, saat itu tuan dari anjing itu tahu dan segera memanggil anjingnya untuk kembali ke rumah. Kami pun sedikit lega dan bersyukur pada Allah.

Namun, ringtangan menuju Sukapura ternyata tak hanya itu saja. Di depan kami terbentang hutan yang cukup luas. Tak satu rumah pun ada di sana. Jalan pun hampir tak terlihat andai saja purnama tak menemani perjalanan kami. Di hutan  ternyata aku merasakan hal sangat aneh, tiba-tiba aku merinding seperti ada sesuatu yang gaib menyentuh kulit. Tapi aku tetap tenang dan tak memberitahukannya ke teman-teman yang lain. Kami pun terus melangkah, ku lihat Amir masih tetap kuat karena memang dia cukup sering mengalami hal yang sama begitu juga aku dan Ubeid. Tapi yang menjadi perhatianku adalah Uul, dia mulai sedikit terseok-seok langkahnya dan sangat kelihatan sekali lelah telah masuk ke dalam tubuhnya. Tapi kami tetap bertahan karna kami tahu bukan saatnya untuk istirahat di tengah hutan yang gelap dan seram.

Akhirnya, setelah sangat lama kami berjalan desa Sukapura kami capai juga. Berkali-kali ku ucapkan kalimat syukur pada Allah karna kami terbebas dari bahaya hutan itu. Tapi di sana kami masih juga belum menemukan angkutan menuju terminal Probolinggo.

Sejenak kami istirahat sambil lalu membeli air mineral dan snack di depan sebuah toko yang cukup besar. Saat itulah kami melihat ada bison yang turun dari puncak. Tanpa pikir panjang kami menyetop bison itu dan menumpangnya. Akhirnya kami bisa sedikit lega karena kami telah bisa segera menuju terminal Probolinggo kemudian pulang ke Surabaya.

Sekitar 45 menit perjalanan dari Sukapura ke terminal Probolinggo. Di terminal kami tak berpikir panjang. Kami harus segera makan dan mencari bus ke Surabaya untuk pulang.

Saat kami makan, aku bercerita tentang apa yang ku rasakan saat ada di hutan tadi dan ternyata tak hanya aku saja yang merasakannya tapi yang lain juga merasakan ada hal mistis dan gaib yang menyentuh dan menemani perjalanan kami dari Sapikerep ke Sukapura. Namun Allah masih melindungi kami hingga kami tak terbawa ke alam yang bukan alam kami.


Akhirnya kami menaiki bus Akas Asri menuju Surabaya dan pada jam 1.00 WIB dini hari kami kembali tiba di kampus tercinta dengan selamat. Apa yang terjadi padaku dan teman-teman saat itu akan menjadi pengalaman yang berharga, tak kan terlupakan hingga kapan pun dan juga tak akan bisa dihargai dengan uang sebesar apa pun.

Untuk teman-teman dari LPM Solidaritas yang lain, kalian tak akan bisa merasakan enaknya jadi wartawan jika belum pernah merasakan hal yang aku, Amir, Ubeid dan Uul rasakan di Bromo.


0 comments: