Tuesday 3 June 2014

Tetap Gagah di Usia Renta


Candi Brahu, Bejijong, Trowulan, Mojokerto

            Candi Brahu adalah salah satu bukti peninggalan Kerajaan Majapahit. Candi bertinggi 25,7 m dan lebar 20,70 m, dibangun sejak sebelum Majapahit berdiri. Candi tersebut merangkum cerita Majapahit secara lengkap dari awal hingga akhir. Hingga kini kondisinya masih tegak berdiri kukuh, tak mengenal lelah meski usia sudah renta.
            Siang itu langit sedikit mendung saat DD beserta beberapa pengurus Lembaga Adat Budaya Majapahit (LABM) tiba di perempatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Tujuannya adalah Candi Brahu, yang letaknya sekitar 5 km dari perempatan Trowulan. Konon, umur candi tersebut lebih tua dari Kerajaan Majapahit.

            Candi Brahu siang itu tampak ramai. Beberapa rombongan mengelilingi kompleks candi sambil berfoto. Salah satu rombongan yang menarik perhatian adalah siswa SDN Sidokumpul, Gresik. Di tengah gurat kelelahan, mereka tetap asyik menyimak penjelasan sejarah Candi Brahu dari pengelola.
            “Candi ini biasa dikunjungi pelajar. Terutama mereka yang ingin mempelajari sejarah Majapahit. Karena Candi Brahu ini bagian pentingnya,” tutur Agus Purwanto, Ketua Dewan Pengurus Pusat LABM. Ia lantas bercerita, Candi Brahu merupakan salah satu candi yang ada dalam lingkungan situs Trowulan Kerajaan Majapahit.
            Candi Brahu, katanya, sudah ada sebelum masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, bahkan diperkirakan juga sudah ada sebelum masa Raja Brawijaya I. Bahwa Candi Brahu merupakan candi yang paling tua dibandingkan dengan candi-candi lainnya yang ada di situs Trowulan. Candi Brahu didirikan Mpu Sindok yang sebelumnya merupakan raja Kerajaan Mataram Kuno yang ada di Jawa Tengah.
            “Hal itu dijelaskan dari nama Brahu, yang berasal dari kata Wanaru atau Warahu. Itu nama sebuah bangunan suci keagamaan yang disebutkan di dalam prasasti tembaga Alasantan yang ditemukan kira-kira 45 meter di sebelah barat Candi Brahu,” ujar Agus.
            Menurut dia, prasasti tersebut dibuat pada tahun 861 Saka atau tepatnya 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Dari penuturan prasasti itu dijelaskan, Candi Brahu yang didirikan di masa Mpu Sindok adalah candi yang usianya lebih tua dibanding candi-candi lain. Bahkan lebih tua dari Kerajaan Majapahit.
            “Pada masa Kerajaan Majapahit, Candi Brahu digunakan sebagai tempat persembahyangan atau merupakan bangunan suci yang digunakan berdoa. Hal ini dapat dilihat dari temuan-temuan di candi tersebut. Seperti beberapa benda yang jadi alat-alat upacara keagamaan, berupa alat-alat upacara dari logam,” lanjut Agus.

Sinkretisme Hindu dan Budha
            Menurut beberapa penelitian, Candi Brahu dinyatakan sebagai candi agama Budha. Anggapan ini muncul karena candi itu memiliki stupa yang menjadi ciri-ciri candi agama Budha. Bentuk Candi Brahu berbeda dibanding candi-candi lain di situs Trowulan Kerajaan Majapahit. Bentuk tubuh atau badan Candi Brahu tidak tegas persegi melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk.
            Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar. Itu memunculkan anggapan bahwa Candi Brahu didirikan bukan pada masa kerajaan Majapahit, melainkan merupakan bangunan candi yang dibangun sebelum Kerajaan Majapahit.
            Selain itu, ada anggapan lain yang menerangkan bahwa Candi Brahu merupakan candi agama Budha. Anggapan ini berdasarkan penemuan beberapa benda kuno di sekitar kompleks candi, di antaranya alat upacara dari logam, perhiasan dan benda-benda dari emas, dan arca-arca logam.
            “Benda-benda ini kemudian disebut sebagai ciri-ciri agama Budha. Karena banyak orang yang mengatakan bahwa candi Brahu merupakan candi Budha” ujar Agus Purwanto.
            Ia menambahkan, dari reliefnya, Candi Brahu merupakan gambaran sinkretisme keagamaan, antara agama Hindu dan Budha. Dengan gambaran sinkretisme itu, hingga saat ini pemeliharaan Candi Brahu dilakukan oleh kedua agama tersebut. Awalnya candi ini berfungsi sebagai tempat pembakaran raja-raja Majapahit, namun asumsi itu tidak terbukti karena tidak ditemukannya sisa–sisa abu pembakaran jenazah.
            Meskipun tidak terbukti, menurut masyarakat sekitar Candi Brahu, candi ini dulunya berfungsi sebagai tempat pembakaran jenazah Raja Brawijaya I sampai IV. Tapi, hasil penelitian yang dilakukan terhadap Candi Brahu tidak menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi sekarang sudah kosong.
            Di era sekarang, selain sebagai tempat wisata, Candi Brahu kerap digunakan sebagai tempat kegiatan budaya Majapahit, khususnya Peringatan Srada dan Ruwat Nusantara Kerajaan Majapahit. Bahkan, tak jarang juga dipakai sebagai tempat pagelaran seni budaya Majapahit. 
Prihatin di Balik Kunjungan Yang Ramai
            Candi Brahu yang berlokasi di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, selalu ramai pengunjung, terutama pada hari libur. Candi yang dulu tempat pembakaran jenazah raja Majapahit itu, dalam satu minggu dikunjungi lebih dari seribu orang.
            Pada hari libur, misalnya, pengunjung ramai berdatangan ke sana. Tidak hanya ingin mengetahui sejarah candi, namun mayoritas pengunjung juga ingin menghabiskan waktu bersama teman dan keluarga, di bawah rindangnya pepohonan yang ada di halaman candi.
            Menurut Suyono (44), salah seorang pelestari Candi Brahu dari BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) Trowulan, dalam satu minggu, jumlah pengunjung mencapai seribu orang. Pada hari-hari biasa, pengunjung didominasi pelajar yang mengadakan wisata pendidikan sejarah.
            Sedangkan pada hari libur, pengunjung dari kalangan remaja yang ingin mengisi liburan bersama teman atau kekasih. “Kebanyakan pengunjung datang karena tempatnya nyaman. Selain itu ada juga yang kagum pada bentuk dan bangunan candi,” kata Suyono.
            Tetapi di balik keasrian situs Candi Brahu, ada perjuangan besar yang dilakukan delapan juru pelestari yang sehari-hari merawat candi tersebut. Pasalnya, sampai saat ini dana operasional untuk merawat candi bersumber dari beaya parkir pengunjung.
            Dana itu, setiap bulan disisihkan untuk membiayai operasional perawatan candi. Seperti membeli bahan bakar mesin pemotong rumput, alat-alat kebersihan dan lainnya. “Kami kelola secara swadaya. Hasil parkir kami sisihkan untuk kas, sebagian lagi untuk biaya perawatan,” kata Suyono, yang sudah sembilan tahun menjadi juru rawat Candi Brahu.
            Selain itu, keusilan dan kenakalan pengunjung kerapkali membuat jengkel Suyono dan teman-temannya. Tidak sedikit pengunjung yang nekat menaiki bangunan candi, meski pihaknya sudah melarang. “Sudah kami larang, takutnya merusak bangunan. Dulu dibiarkan, malah ada yang buang sampah sembarangan, dan corat coret tembok candi,” tuturnya. 

Tulisan Ini dimuat di Majalah DERAP DESA Edisi 80 Juni 2014


0 comments: