Tuesday 3 June 2014

Desa ‘Seribu Genteng’


=Desa Tlambah, Karang Penang, Sampang

            Di beberapa wilayah memiliki julukan masing-masing. Pacitan, misalnya, dengan sebutan Kota Seribu Gua, Banjarmasin dengan Kota Seribu Sungai dan beberapa lainnya. Nah, yang ini beda. Adalah Desa Tlambah, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang, yang dijuluki ‘Desa Seribu Genteng’.

            Berjarak sekitar 25 km dari kota Sampang, Desa Tlambah yang terletak di area dataran tinggi berbukit berada di ujung timur Kabupaten Sampang dan berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan. Memasuki wilayah tersebut, seketika pemandangan berubah merah bata. Hampir di setiap sudut desa dipenuhi jejeran genteng, baik yang sudah siap dipasarkan atau yang masih dalam proses produksi dan pematangan.
            Desa Tlambah merupakan desa produsen genteng terbesar di Madura. Berbeda dengan wilayah lainnya di Pulau Madura, Karang Penang, khususnya Desa Tlambah, memiliki struktur tanah yang istimewa. Umumnya tanah di daerah tersebut merupakan tanah liat berkualitas baik. Terutama bila dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan genteng, sehingga menghasilkan produk yang tidak mudah retak bila diproses dalam tungku pembakaran.
            Tak heran bila sebagian besar warga desa ini menggeluti usaha pembuatan genteng tanah liat. Bahan baku alami yang mereka miliki dijadikan satu kekayaan yang tak dapat ditukar dengan apa pun. Hanya berbekal keterampilan mengolah bahan baku tersebut, warga Tlambah mampu bertahan hidup. Bahkan tidak sedikit tergolong hidup berkecukupan.
            Ya, setiap orang yang melihat tumpukan tanah liat di samping rumah akan mengira sebagai tanah yang tak bernilai. Tapi tidak untuk masyarakat Desa Tlambah. Bagi mereka tanah liat adalah tanah emas. Zahir, misalnya, dengan bermodalkan tanah liat di pekarangannya, ia mampu memasarkan produk gentengnya ke seluruh Madura, Jawa bahkan luar Jawa.
            Biasanya sekali kirim pesanan, Zahir mampu memenuhi permintaan hingga 10 ribu hingga 20 ribu keping genteng. “Saya melanjutkan usaha bapak yang sudah wafat dua tahun lalu. Karena ini sudah menjadi sumber penghasilan keluarga, jadi mau tidak mau harus tetap jalan,” ujar Zahir.
            Lebih lanjut, Zahir bercerita, bapaknya, Abdul Sa’ie, malang melintang di dunia produksi genteng. Sebelum membangun usaha sendiri, bapaknya menjadi kuli di salah satu pabrik genteng milik tetangganya. Karena merasa sudah cukup memiliki modal, Sa’ie pun merintis usaha sendiri yang kemudian menjadi sumber penghasilan bagi keluarga besarnya.
            Tak hanya bapaknya, Zahir menuturkan, banyak keluarga yang lain terjun ke bisnis genteng. Salah satunya adalah Saladin, pamannya. Saladin memang tidak menjadi produsen genteng seperti kakaknya, tetapi ia menjadi pengepul yang mendistribusikan genteng hasil produksi saudara dan tetangganya ke berbagai tempat di Madura dan Pulau Jawa.
            Zahir dan Saladin adalah salah satu contoh. Bahkan hampir seluruh masyarakat Desa Tlambah menggantungkan kehidupan pada usaha genteng. Tercatat dari sekitar 9.000 jumlah penduduk, lebih dari 60 persen menggeluti bisnis jual beli genteng. Tidak melulu menjadi produsen, ada juga yang jadi pengepul, kuli, atau bahkan supir truk yang notabene menjadi satu-satunya pengangkut genteng.
            Berbeda dengan produk lokal lainnya, genteng Karang Penang tak lagi dipusingkan pemasaran. Sebab sejumlah pemilik industri genteng mengakui sudah mampu menembus areal pemasaran sampai luar kota. “Seperti ke Banyuwangi, Solo dan Probolinggo,” kata H Syamsul, warga Karang Penang, yang juga mengandalkan industri pembuatan genteng sebagai penopang hidup keluarganya. 
            Namun begitu, mereka juga masih perlu mempelajari trik dan teknik pemasaran yang lain. Terbukti kini mereka tidak hanya memikirkan bagaimana cara menghasilkan, tapi juga mulai memikirkan tentang teknik perbaikan kualitas. “Saya senang bila ada pihak yang bersedia memberi tambahan pengetahuan. Utamanya tentang teknik kemajuan kualitas,” harap H Syamsul, mewakili warga lainnya.

            Apa yang dikatakan sebagain besar warga sangat beralasan. Terlebih bila mengingat kemasan dan tampilan produk daerah lain sudah mulai bercorak warna dibanding produk lokal. “Makanya kita juga ingin bersaing,” ujar mereka serentak. 
 Tanah Liat Bagus, Keramik Pun Oke
            Struktur tanah liat yang terkandung di daerah Karang Penang merupakan anugerah bagi warga, sebagai bahan baku pembuatan genteng. Bahkan, tanah lempung di daerah itu sebenarnya dapat dikembangkan menjadi kerajinan gerabah yang tak kalah dengan daerah Kasongan, Jogjakarta.
            Namun, seiring maraknya genteng pres yang lebih modern dan banyak diminati pembeli, permintaan genteng Karang Penang cenderung menurun. Projek pembangunan gedung yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Sampang pun tak berpengaruh terhadap meningkatnya permintaan genteng tradisional tersebut.
            Sedangkan upaya pemerintah kabupaten mengalihkan usaha kerajinan genteng menjadi kerajinan keramik sangat sulit dilakukan. Pola pikir warga yang masih enggan beralih menjadi perajin gerabah menjadi kendala bagi pemerintah untuk memberikan pembinaan.
            “Dari Dinas Perindustrian Sampang sebenarnya dulu pernah bilang, tanah liat di Kecamatan Karang Penang itu tidak hanya bisa dijadikan genteng, tapi bisa dikembangkan menjadi keramik yang sangat prospektif,” kata H Fauzi, salah seorang perajin genteng Karang Penang.
            Ia mengakui, dalam beberapa tahun terakhir permintaan pasar semakin sepi. Namun, untuk mengajak perajin genteng beralih sebagai perajin keramik tidaklah mudah, karena kerajinan genteng itu sudah turun temurun dari leluhurnya. Kerajinan genteng tidak sekadar sebagai sumber penghasilan, tapi sudah menjadi tradisi keluarga.
            “Harga genteng Karang Penang sebenarnya jauh lebih murah dibandingkan genteng pabrikan. Namun, pembeli lebih suka genteng pabrikan sehingga dikhawatirkan banyak perajin genteng tradisional gulung tikar karena usahanya sepi,” kata Fauzi.
            Biaya produksi yang sangat tinggi, menurut dia, membuat nasib para perajin genteng semakin terpuruk. Ongkos mengangkut tanah liat, untuk satu kali proses pembakaran genteng, bisa mencapai lebih dari Rp 3 juta. Bahkan sampai Rp 6 juta. Sedangkan kayu bakar yang digunakan memanasi tungku membutuhkan biaya sedikitnya Rp 4,5 juta.

Tulisan ini dimuat di Majalah DERAP DESA Edisi 80 Juni 2014


0 comments: