Monday 28 December 2009

JALAN PANJANG SANTRI MENJADI PENULIS


Judul Buku : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis : Rizal Mumazziq Zionis, dkk.
Penerbit : Muara Progresif
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xii + 224 halaman

“Kalau engkau bukan anak raja, bukan pula anak ulama besar, maka jadilah penulis”. Kata-kata Imam Ghazali itulah yang membuat semangat Syaiful A’la, salah satu penulis buku ini, terus berkobar untuk menulis. Kesukaannya terhadap bidang tulis-menulis itu muncul sejak ia duduk di bangku MTs (setara dengan SLTP) di Nasy’atul Mutuallimin, Dungkek Sumenep. Saat itu banyak teman-teman yang tidak tahu tentang kesukaannya itu, sebab ia memang cenderung menutup diri, dan ketika menulis pun ia lakukan di tempat yang cukup sepi, yaitu di jalan yang menghubungkan antara rumah dan sekolahnya, jaraknya pun cukup jauh dan tempatnya lumayan sepi. Kebiasaan ini pun ia bawa saat ia mondok di Pondok Pesantren Nasyatul Mutallimin Gapura Sumenep, yang kemudian membawanya berkenalan dengan beberapa media cetak. Serta memberinya kesempatan untuk menjadi Redaktur Buletin ‘Gelora’ di Pondoknya.
Setelah lulus dari pondok itu, ia pun melanjutkan pendidikannya ke IAIN Sunan Ampel Surabaya. Meski pada awalnya ada beberapa pihak yang kurang setuju dengan keputusannya, namun dengan segenap keyakinan ia tak menghiraukan pendapat mereka itu. Keyakinan itulah yang membawanya pada sebuah pertemuan dengan beberapa teman yang di kemudian hari membantunya mengembangkan bakat menulisnya. Dan setelah melalui proses panjang, setelah berpuluh kali dikecewakan Redaktur karena tulisannya tidak layak muat, Dewi Fortuna akhirnya berada di dekatnya, tepat pada tanggal 17 April 2006 untuk pertama kalinya tulisannya dimuat di Duta Masyarakat. Lalu dalam jangka yang cukup berdekatan tulisan-tulisannya mulai bergiliran nampang di Koran-koran dan majalah-majalah. Dan selanjutnya, dengan kuseksan menembus media, ia pun diangkat menjadi Redaktur Opsi Nasional. Dan hingga hari ini, tulisannya cukup diperhitungkan oleh beberapa media.
Kisah yang hampir serupa dialami Rizal Mumazziq Zionis, dalam buku ini ia menceritakan pengalamannya dalam menjalini proses kreatifnya dalam menulis. Ia mengawali prosesnya saat ia masih duduk di MA Al Islam di Joresan Mlarak Ponorogo, saat itu ia suka menulis di Majalah Tembok (Mabok). Lambat laun hobi itu terus melekat dalam dirinya. Hobi itu pun ia bawa hingga ia pindah ke kota pahlawan Surabaya untuk melanjutkan jenjang S1 di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Di sana ia berkenalan dengan Yusuf Hanafi, tetangga kamarnya di Pondok Mahasiswa An Nur yang pada saat itu sedang menjabat menjadi Redaktur rubrik Khazanah Pesantren di Harian Bangsa. Pak Yusuf –begitu ia memanggil Yusuf Hanafi—yang mendengar pengakuannya tentang hobi menulis sangat senang sekali bahkan Pak Yusuf memintanya untuk menulis di rubrik yang ia asuh. Dengan penuh semangat Rizal menulis dengan harapan tulisannya bisa dimuat.
Namun tulisan yang ia hasil dengan ‘berdarah-darah’ tidak terdengar kabarnya, bahkan Pak Yusuf pun sulit ditemui. Ia pun kecewa, namun di suatu pagi, saat ia membolak-balik Koran di loper koran, ia menemukan namanya terpampang di rubrik Khazanah Pesantren. Betapa bahagianya dia saat itu. Lalu setelah itu, karya terus mengalir dari tangannya dan dimuat di beberapa media nasional dan lokal. Ia pun diminta oleh Pak Yusuf untuk menggantikannya menjadi redaktur Khazanah Pesantren. Dan di kemudian hari, ia pun diangkat menjadi redaktur Majalah AULA.
Muhammad Suhaidi RB, juga menulis proses kreatifnya menjadi penulis dalam buku ini. Penulis asal Madura ini mengakui bahwa darah penulis tidak pernah mengalir dalam tubuhnya. Ia mengenal dunia kepenulisan saat ia mondok di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep. Perkenalannya dengan dunia tulis-menulis berawal dari tugas guru bahasa Indonesianya, Pak Ali Mufti Akhmad, untuk menulis catatan harian atau diary setiap hari. Tugas itu ia jalani dengan tekun hingga akhirnya minat untuk jadi penulis tumbuh dalam dan mendarah dalam dirinya.
Suhaidi—begitu ia disapa—kerap kali menuai kegagalan dalam mempublikasikan karyanya di media, tapi dengan penuh semangat ia terus berusaha tanpa mengenal lelah. Hingga akhirnya tak bisa dipungkiri bahwa tulisannya cukup ‘bergizi’ dan dimuat di Tabloid INFO. Sejak saat itulah ia pun mulai diperhitungkan dalam dunia kepenulisan di daerahnya terutama di Podok Pesantren Annuqayah. Dan dengan menulis itu pula ia mampu membiayai pedidikannya di STIK Annuqayah hingga ia dinobatkan sebagai wisudawan terbaik.
Sedangkan Hana Al-Ithriyyah, penulis yang juga jebolan Pondok Pesantren Annuqayah, dalam buku ini mengisahkan awal proses kepenulisannya dimulai sejak ia masih duduk di kelas IV SDN Guluk-Guluk Sumenep. Saat itulah hobi menulisnya timbul. Ketika duduk di bangku MTs, ia pun terus mengasah kemampuannya di bidang itu, terlebih lagi didukung dengan banyaknya buku-buku yang dikoleksi almarhum Babanya, KH. Waqin Khazin yang banyak menginspirasinya dalam menulis terlebih dalam menulis cerpen. Hingga akhirnya cerpennya yang berjudu ‘Donat’ dimuat di Majalah Annida dan kumpulan cerpennya yang berjudul ‘My Valentine’ diterbitkan pada 2006 silam oleh Gema Insani Press (GIP). Dia mengakui sebelum karya-karyanya dipublikasikan dia sering mengalami kegagalan namun dia tetap berusaha, bahkan ia pun mengakui bahwa akhir-akhir ini ia sulit menulis karena kesibukannya tapi dia berusaha untuk menulis.
Buku Jalan Terjal Santri Penulis ini juga ditulis oleh sembilan penulis lainnya. Yaitu, Ahmad Muchlish Amrin, Noviana Herlianti, Nur Faishal, Azizah Hefni, Salman Rusydie Anwar, Muhammadun AS, Ana FM, Ahmad Khotib, dan Fathorrahman Jm. Mereka adalah penulis-penulis yang ditelorkan oleh pesantren-pesantren ternama.
Membaca buku ini akan membuka mata kita bahwa menjadi seorang penulis tidaklah harus tinggal di lingkungan mewah, buktinya mereka yang menulis dalam buku ini merupakan anak-anak yang dilahirkan di daerah yang jauh dari hangar-bingar kehidupan kota. Juga, kita akan tahu bahwa menjadi penulis tidak membutuhkan bakat, factor bakat hanya mendukung lima persen dalam perjalan menjadi penulis. Dan tak lupa pula, satu hal yang harus kita ketahui, perjalanan menjadi penulis tidak semudah apa yang kita bayangkan. Untuk menjadi penulis kita harus melalui beribu-ribu rintangan, termasuk ditolak redaktur dan dicacimaki. Oleh karena itu, kita tidak boleh menyerah, kita harus berusaha untuk meraiha apa yang kita mimpikan.
Dengan adanya buku ini kita dapat mengetahui bahwa betapa pada masa sekarang ini para santri telah memenuhi dunia kepenulisan tanah air. Bahkan tidak jarang dari mereka menjadi orang yang diperhitungkan dalam dunia jurnalistik dan sastra di Negara ini. Sebuah bukti bahwa santri yang ada saat ini telah mengulang sejarah, di mana pada masa silam, pada masa ulama’-ulama’ salaf santri merupakan penulis paling produktif dan karya mereka hingga saat ini masih diperhitungkan dan layak untuk dijadikan bahan bacaan.
Untuk para teman-teman santri, buku ini sangat penting untuk dibaca. Kerena tidak selamanya santri itu harus berkutat dengna kitab-kitab kuning, tetapi juga bagaimana kita sebagai santri mencoba menulis. Sebab dengna menulis image santri yang terkesan kolot di mata masyarakat luas akan terhapus, dan akan membuktikan bahwa para santri, para ‘kaum sarungan’ juga bisa menghasilkan sebuah karya yang layak diabadikan.
Namun, sebagus apapun sebuah karya, pastilah di situ ada celahnya. Buku ini mengandung cukup banyak kata tidak baku yang sepantasnya tidak digunakan dalam penulisan jenis tulisan seperti yang ada di buku ini, dan walaupun memang harus memakai kata tidak baku mungkin lebih baik kata tersebut dicetak miring.
Dan marilah kita tanam kata-kata Imam Ghazali pada awal tulisan ini pada hati kita. Juga karena sepandai apapun orang itu jika ia tidak berkarya atau menulis maka ia akan hilang ditelan waktu, seperti kata almarhum Gus Zainal Arifin Thoha, “Aku menulis maka aku ada”. Mari para santri, jadilah penulis.!


0 comments: