Wednesday 12 May 2010

Gus Dur, Indonesia, dan Islam


Judul Buku : Gus Dur Sang Guru Bangsa
Penulis : Wasid
Penerbit : Interpena, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2010
Tebal : xxx + 186 halaman
Peresensi : Ahmad Al Matin

Ada sebuah ungkapan berbahasa Arab yang mengatakan bahwa orang yang mempunyai ilmu akan terus hidup meskipun jasadnya telah mati dan dikubur dalam tanah. Pepatah itu telah terbukti pada Gus Dur. Benar, Gus Dur telah wafat pada tanggal 30 Desember 2009 kemarin, namun hingga saat ini beliau masih terasa hidup di tengah-tengah kita. Hal itu disebabkan karena Gus Dur adalah orang pintar atau berilmu yang meninggalkan ilmunya untuk kita semua yaitu rakyat Indonesia umumnya dan ummat Islam khususnya. Atau yang lebih ringkasnya pemikiran Gus Dur.
Sebagai seorang tokoh yang terlahir dari kalangan pesantren, Gus Dur mempunyai pemikiran yang melebihi pemikir lainnya. Tidak hanya para pemikir yang sama-sama dari pesantren saja yang mengakui hal itu, dari luar kalangan santri atau pesantren banyak yang mengakui tentang pemikiran Gus Dur yang lebih luas dari yang lain. Pemikiran Gus Dur yang luas tersebut sebenarnya dilatar belakangi oleh latar belakang pendidikan Gus Dur yang komplet. Seperti yang telah tertulis dalam buku ini bahwa selain mengenyam pendidikan pesantren, Gus Dur juga pernah mengenyam pendidikan luar pesantren.
Perjalanan pendidikan Gus Dur dimulai dari SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta pada tahun 1954. Namun pada tahun itu juga dia langsung dipindahkan oleh ibunya, Nyai Sholicha ke SMEP Yogyakarta. Di Yogyakarta inilah pemikiran Gus Dur diasah. Beliau mulai suka membaca buku-buku bahasa Inggris, karya-karya sastrawan dunia seperti Hewingway, Steinbeck, Malraux dan Faulkner, juga buku-buku pemikiran kiri seperti Das Kapital karya Karl Marx. Dan pada tahun 1959 Gus Dur kembali ke dunia pesantren, beliau ‘mondok’ di Pesantren Tambakberas Jombang asuhan KH. Wahab Hasbullah dan juga sesekali melakukan komunikasi intensif dengan sang Kakek dari ibunya, KH. Bisri Syansuri (hal 87).
Setelah itu, dia melanjutkan sekolahnya ke Mesir pada tahun 1964 untuk belajar ilmu-ilmu agama di Ma’had Al Dimsat Al Islamiyah di lingkungan Al Azhar Islamic University. Sesampainya di sana, beliau kecewa dengan sistem pengajaran yang dipakai di sana yang menitikberatkan pada sistem hafalan saja. Namun meskipun demikian, beliau menfaatkan waktu di Kairo dengan sebaik mungkin, yaitu dengan menghabiskan waktunya di salah satu perpustakaan yang lengkap di Kairo, termasuk American University Library.
Dari Kairo, Gus Dur terbang ke Baghdad. Di kota ini, beliau melewatinya dengan penuh rasa bahagia karena mempelajari sastra Arab, filsafat dan teori sosial Eropa. Di sana juga kultur sebagai aktivis tumbuh dan berkembang dari kepribadian Gus Dur, hingga tercatat pernah menjabat Ketua Persatuan Mahasiswa Indonesia untuk Timur Tengah masa bakti 1964 hingga 1970 (hal 89). Dan setelah itu, beliau terbang ke Kanada untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam di McGill University.
Dari pengalaman-pengelaman dan perjalan pendidikan seperti ini juga bermacam-macamnya bacaan yang telah dilahap, lahirlah sebuah pemikiran yang sangat komplet dan kritis dari Gus Dur. Tidak hanya kaedah-kaedah pesantren yang beliau gunakan sebagai landasan pemikirannya, tapi juga hasil pemikiran-pemikiran orang barat. Namun, yang perlu dicatat di sini selama Gus Dur berada di luar negeri tak ada satu pun ijazah yang beliau dapatkan. Karena setelah satu kuliah hampir selesai beliau langsung membiarkannya dan pindah ke kuliah yang lain. Juga karena beliau tidak terlalu mempermasalahkan formalitas ijazah, yang terpenting bagi beliau adalah bagaimana proses mendapatkan ilmu.
Dengan berbagai latar pendidikan yang telah beliau lalui, pemikiran Gus Dur seakan sulit dicapai oleh orang lain terutama oleh mereka orang-orang awam. Kemudian pemikiran beliau tersebut beliau gunakan untuk merubah lingkungan dan bangsannya. Mulai dari NU dengan gagasannya untuk kembali ke khittah 1926 sampai ke Indonesia dengan ide-ide pluralismenya yang beliau lakukan semasa beliau menjadi presiden.
Dengan pemikiran-pemikirannya tersebut Gus Dur mampu menempatkan dan menyesuaikan diri di mana dan kapan saja. Seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si. dalam Kata Pengantar buku ini (hal xx). Gus Dur ibaratnya seorang pemain sepak bola, beliau mampu bermain di posisi apa saja, belakang, tengah atau depan serta mampu berimprovisasi secara memadai. Beliau juga tidak hanya seorang play maker yang hanya mengatur permainan saja, tetapi juga mampu menjadi target man atau bahkan stopper yang handal. Di sinilah tak seorang pun yang mampu menandingi beliau.
Nah, proses keilmuan Gus Dur yang komplet dari berbagai sumber menjadikan Gus Dur menjadi individu kosmopolitan dan senantiasa menawarkan joke-joke segar bukan hanya membangun rasa kritisisme dalam menyikapi persoalan sosial kehidupan, tapi juga dalam model guyonan yang membuat kita terpingkal-pingkal. Seperti ungkapan yang beliau ucapkan “Gitu aja kok repot”, sebuah ungkapan yang menyimbolkan agar seorang tidak terlalu mempersulit masalah tapi mempermudahnya. Tradisi yang juga dikenal di kalangan umat Islam sebagai yasshiru wala tuassiru.
Buku ini merupakan dari sekian buku yang disajikan oleh para penulis untuk kita rakyat Indonesia secara umum dan Islam khususnya, agar terus mengenang Gus Dur dan juga meneruskan apa yang beliau inginkan, yaitu NKRI yang tentram dan anti perpecahan. Tidak hanya itu, buku ini juga mengajak kita untuk mempelajari lebih mendalam tentang pemikiran Gus Dur terhadap Islam dan Indonesia. Bagaimana kita menggabungkan pemikiran Islam dan barat untuk membangun Negara lebih maju dan anti perpecahan.
Namun, layaknya semua sesuatu di dunia ini, buku ini juga mempunyai kekurangan. Buku yang diangkat dari tesis penulisnya ini mempunyai bahasa yang lumayan tinggi yang kemudian membuat buku ini terasa berat untuk dibaca. Tidak hanya itu pula, tak ada sedikit pun arus yang mengalir dari buku ini. Artinya, jika anda membaca buku ini siapkanlah sebuah hiburan setelahnya karena anda merasa bosan dengan buku ini. Selamat membaca.


Resensi ini dimuat di RADAR SURABAYA edis Minggu 9 Mei 2010


2 comments:

Anonymous said...

ni enak tuk di baca :
http://sosbud.kompasiana.com/2009/10/29/penjajah-pikiran-gitu-aja-kok-repot/

M Mushthafa said...

akhirnya ada yang dimuat juga ya. selamat!

oya, ngeblog di Kompasiana ternyata cukup menarik. saya jadikan jalur alternatif.
ini punya saya: http://www.kompasiana.com/musthov