Sunday 28 March 2010

PEMUDA, SANG PLAY MAKER UNTUK PERUBAHAN

”Berilah aku sepuluh orang pemuda yang bergelora jiwanya maka aku akan mengubah dunia”, begitulah kira-kira ucapan Bung Karno, Presiden pertama kita tentang semangat pemuda dan betapa berpengaruhnya mereka. Ya, pemuda memang mempunyai semangat yang menggebu-gebu, seperti kata Rhoma Irama dalam salah satu lagunya yang berjudul ‘Darah Muda’ dan itulah kelebihan dari mereka yang mampu mengubah segalanya.
Pemuda merupakan aktor utama dalam menciptakan perbuhan, betapa tidak, dengan semangatnya yang menggebu-gebu dan keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru mereka mampu menciptakan ide-ide baru untuk menyongsong datangnya perubahan. Bukti nyata dari hal itu adalah turunnya Soekarno sekaligus mengakhiri Orde Lama, serta runtuhnya kekuasaan Orde baru yang dipimpin oleh Soeharto, yang kesemua itu adalah ‘ulah’ dari mereka para pemuda.
Hingga saat ini, pemuda masih mempunyai peran yang sangat penting. Layaknya seorang play maker (pengatur permainan) dalam pertandingan sepak bola, semua tergantung pada dirinya. Terserah dia apakah dia mau menjadikan permainan indah, umpan-umpan matang yang kemudian berbuah gol atau hanya sekedar bermain tanpa menghasilkan apa-apa, jangan permainan bagus dan indah mungkin saja tak satu gol pun yang didapat. Seperti itulah peran pemuda dalam mengatur sebuah perubahan.
Di Negara kita, hal itu juga berlaku. Namun, beberapa tahun terakhir ‘gebrakan’ yang mereka buat seolah tidak ada. Akhir-akhir ini mereka terkesan masih sibuk dengan diri mereka masing-masing, masih sibuk dengan kelompoknya sendiri dan masih sibuk dengan tauran dan ulah-ulah anarkis. Memang, dalam beberapa kasus mereka para pemuda khususnya mahasiswa, turun ke jalan untuuk melakukan penuntutan terhadap hak rakyat. Tapi, mereka yang sadar dan benar-benar dengan ikhlas melakukan itu hanya segelintir saja. Kebanyakan dari mereka hanya ‘jadi bebek’ dan tidak tahu tujuan dari aksi mereka itu. Bahkan, tak sedikit dari mereka melakukan itu karena ada dorongan dari orang di ‘belakang’ mereka yang nyatanya mempunyai ambisi pribadi. Dan mereka mau-mau saja.
Itu membuktikan bahwa rasa nasionalisme yang sering mereka elu-elukan dalam aksi-aksi mereka hanya ada di mulut saja, tidak di hati mereka. Dan jika berdomenstrans saja sudah bisa diatur oleh pihak lain dan hanya mengharapkan ‘upah’ saja. Bagaimana jika nanti mereka menjadi wakil rakyat. Tidak menutup kemungkinan mereka juga akan melakukan hal yang sama dengan apa yang telah dilakukan oleh wakil rakyat yang saat ini sedang mereka kritik dan jelek-jelekan.
Pada awal tahun 2009 kemarin, terjadi sebuah kasus korupsi yang melibatkan mahasiswa yang juga seorang aktivis sebuah organisasi mahasiswa. Mahasiswa tersebut diduga telah menggelapkan dana kampanye sebuah partai yang dia dukung. Sekali, ini sebuah bukti bahwa mereka hanya bisa berbicara dan mengkritik saja, namun tidak bisa mengaplikasikan apa yang mereka ucapkan. Apakah ini yang disebut pemuda adalah agent of change?
Pada tahun 1960-an, di Negara kita ini terjadi sebuah pergolakan politik yang hampir serupa dengan politik kita saat ini. Pengaruh dari pergolakan tersebut membuat rakyat miskin semakin miskin namun orang kaya semakin kaya. Hal ini kemudian membangkitkan gejolak para pemuda dan mahasiswa untuk melakukan aksi-aksi dan gerakan untuk pemberontakan terhadap pemerintah. Pergolakan itu berakhir pada tahun 1966 dengan tumbangnya pemerintahan Orde Lama di tangan mahasiswa. Setelah itu, lahirlah pemerintahan Orde Baru. Para mahasiswa yang dulu ikut dalam aksi tahun 1966 atau yang sering disebut ‘Angkatan ‘66’ kemudian diangkat menjadi anggota DPR dan susunan kabinet. Namun, tak sedikit pula dari mereka yang menolak untuk itu, dengan alasan mereka belum mampu untuk mengemban amanah dan mereka ingin lebih bebas mengontrol pemerintah. Salah satu dari mereka yang menolak itu adalah Soe Hok-gie, seorang aktifis yang selalu lantang dalam mengkritik pemerintah namun dia tidak terlalu fanatik terhadap suatu organisasi dan partai politik.
Setelah beberapa waktu berlalu, sebuah pergolakan kembali terjadi, para mahasiswa angkatan ’66 yang menjadi anggota DPR tidak bisa menjalankan tugas mereka dengan baik. Bahkan, mereka terkesan terlalu menikmati dengan jabatan yang mereka miliki saat itu. Kata ‘nasionalisme’ yang mereka ucapkan pada saat aksi di jalan seakan pupus dan hilang di telan waktu.
Tindakan Soe Hok-gie untuk tidak termasuk dalam anggota DPR dan pemerintah sangatlah benar dengan adanya bukti bahwa mereka yang masuk dalam pemerintahan telah ‘mati suri’ dan terlalu menikmati dengan kenyamanan dan kenikmatan. Mereka telah lupa dengan segala ucapan mereka sendiri saat mereka berorasi di jalan.
Nah, kejadian inilah yang kemudian bisa kita pikirkan dan menjadikannya sebagai pelajaran supaya hal itu tidak terulang kembali. Supaya kita para pemuda sekaligus mahasiswa tidak hanya mampu berbicara saja tentang nasionalisme dan pro rakyat tetapi juga mampu melaksanakannya dalam keseharian kita. Agar kita bisa mengatur permainan, melancarkan serangan-serang dengan umpan-umpan matang yang kemudian menjadi sebuah gol perubahan untuk Negara kita.


0 comments: