Sunday 14 March 2010

MENGENANG SOE HOK-GIE


Judul buku : Soe Hok-gie ...Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya
Editor : Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, dan Nessy Luntungan R.
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Cetakan : Pertama, Desember 2009
Tebal : xl + 512 halaman

Apa yang bisa kita kenang dari seseorang yang telah menghadap yang Maha Kuasa 40 tahun yang lalu kalau bukan perjuangan, pemikiran, dan karyanya. Betul, Soe Hok-gie yang telah terlebih dahulu dipanggil oleh-Nya merupakan salah satu dari sekian banyak mahasiswa yang turun ke jalan pada tahun 1966 untuk menumbangkan pemerintahan Orde Lama. Memang pada saat itu pemuda atau mahasiswa seperti Hok-gie cukup banyak. Namun pemuda idealis, humanis, dan moralis sepertinya cukup ‘langka’.
Sosok pemuda seperti Hok-gie pada saat ini pun nyaris tidak ditemui di Negara kita. Seorang pemuda yang selalu resah dengan keadaan Negara dan rakyatnya yang tidak menentu. Seorang pemuda yang mempunyai peran cukup besar dalam menumbangkan pemerintahan orde lama tetapi juga menentang pemerintahan orde baru yang dirasanya seenaknya saja. Seorang penggila buku, jago diskusi tapi juga cinta terhadap lingkungan sekitarnya dan juga seorang pemuda yang romantis.
Kematian Soe Hok-gie pada tanggal 16 Desember 1969—sehari sebelum hari ulang tahunnya—di puncak Mahameru, tanah tertinggi di pulau Jawa, menyisakan luka yang cukup mendalam di hati teman-teman dan keluarganya. Betapa tidak, dikalangan teman-temannya Hok-gie dikenal sebagai seorang yang sangat pintar bergaul, tidak pernah pamrih, dan selalu mendengarkan segala keluh kesah teman-temannya tentang sesuatu, baik itu masalah lingkuan ataupun sesuatu yang sifatnya sangat pribadi sekali. Tidak hanya itu, Hok-gie juga dikenal sebagai seorang penulis yang karyanya cukup disenangi dan dipublikasikan di beberapa media terkemuka pada saat itu, salah satunya Kompas, Sinar Harapan dan Indonesia Raya. Bahkan, dari saking banyaknya orang yang mengagumi tulisannya ada salah satu pengagumnya, yaitu seorang penjual peti jenazah dengan rela menyumbangkan peti jenazah untuk evakuasi mayat Hok-gie dari Malang ke Jakarta.
Bagi Herman O Lantang dan Rudy Badil, Soe Hok-gie merupakan teman yang sangat mereka sayangi. Karena bagi mereka, selain memang Hok-gie cukup pintar dan cerdas, ada kesamaan hobi yang membuat mereka begitu dekat, yaitu mecintai alam dan mendaki gunung. Hal ini memang sering dilakukan oleh mereka terlebih ketika pemerintahan sedang dalam keadaan tidak menentu lalu mereka membuang segala kepenatan dan kebosanan terhadap pemerintah dengan mengenal alam lebih dekat. Hal itu terbukti ketika adanya beberapa karya Hok-gie yang mengisahkan tentang keindahan alam pegunungan yang telah ia daki.
Menurut Arief Budiman, kakak Hok-gie, kegemaran Hok-gie pada dunia baca-tulis memang sudah tercermin sejak ia masih berumur belasan tahun. Saat teman-temannya yang lain sedang mengejar layang-layang, Hok-gie malah nongkrong di genting rumah sambil membaca buku, atau sekedar merenung. Ketika ia dewasa, kegemaran itu mulai bertambah dan mendarah dalam dirinya. Juga menurut pengakuan Arief Budiman, ketika Hok-gie pulang dari kampus atau kegiatan lainnya di luar rumah, saat semua anggota keluarganya telah terlelap, dengan diterangi lampu neon yang sinarnya suram karena voltase listrik saat itu sering turun ketika malam hari, Hok-gie menulis bermacam tulisan baik tentang pengalamannya di alam bebas, ataupun tentang keresahan dan kritik pada pemerintah yang kemudian karya-karya itu kemudian dipublikasi di berbagai media.
Dalam perbincangan aktivisme gerakan mahasiswa Hok-gie merupakan sosok yang “langka” di tengah periode kontestasi politik ideologi masa itu, persisnya pada senjakala pemerintahan Soekarno dan awal menyingsingnya kekuasaan rezim Orde Baru. Tipikal Hok-gie itu merujuk pada rekam jejaknya yang tak menjadi bagian organisasi politik dan partai ideologis apa pun, bahkan sampai batas akhir hidupnya. Padahal, pada masa itu “mahasiswa Jakarta pada umumnya jauh lebih lebur sebagai bagian atau bahkan perpanjangan tangan dari kelompok-kelompok politik ideologis yang ada dalam struktur Nasakom”. Yang perlu dicatat di sini, aktivitas gerakan di era kontestasi politik ideologi tak mungkin dilepaskan dari aspek pergaulan dan kesesuaian pemikirannya. Untuk kasus Hok-gie, dia dekat dengan aktivis Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) dan sempat menaruh simpati ke PSI (Partai Sosialis Indonesia).
Bahkan, karena sikapnya yang tidak mau melebur lebih jauh sebagai anggota dari suatu organisasi politik atau partai ideologis, dia menjadi ‘musuh’ dari mantan teman-temannya. Selain itu, dia juga sering dijuluki “cina kecil” oleh ‘musuh-musuhnya’ dan orang-orang yang sempat ia kritik melalui tulisan. Namun hal itu tidak ia pedulikan, ia tetap terus menulis, berpikir dan mengkritik.
Buku yang digadang-gadang untuk menampilkan Soe Hok-gie (sekali lagi) ini sangat cocok dicerna dan dikonsumsi oleh para pelajar dan pemuda. Selain itu pula, buku ini merupakan salah satu cara untuk mengenang sosok Soe Hok-gie sekaligus menampilkan kembali sosoknya, terlebih pada saat Negara kita sedang dalam keadaan seperti saat ini. Maka, kalau boleh berceletuk sebentar, kira-kira seperti apa ungkapan Hok-gie melihat energi masyarakat dan mahasiswa yang belakangan hari kerap diwarnai aksi protes? Sebagaimana dituliskan Rudy Badil (hlm. 266), mungkin sekali beginilah pernyataan pesan Hok-gie yang tertuju kepada pemangku kekuasaan, “Jangan memancing perasaan anak-anak muda itu. Mereka anak-anak zaman sekarang yang pemarah. Mereka itu angkatan the angry young men, bukan crossboys lagi, bukan hippies juga.”
Mungkin kita tidak bisa atau bahkan tidak mungkin menjadi Soe Hok-gie, karena Soe Hok-gie takkan pernah tergantikan. Kita hanya bisa meneladi dan menghadirkan sosoknya pada diri kita. Lantas bagaimana caranya? Jakob Oetama menganjurkan dengan jernih akal, “Dilakukan tidak dengan maksud mengultusindividukan, ...melainkan menawarkan nilai-nilai keteladanan, utamanya integritas dan kebersihan hati.” (hlm. xiv) Pembaca, kita ditantang untuk itu.


0 comments: