Sunday 8 January 2012

BELAJAR MULTIKULTURALISME DI PESANTREN

Indonesia merupakan salah satu negera yang berpenduduk terbanyak di Asia Tenggara dan Asia. Dengan jumlah penduduk yang melebihi 200 juta jiwa, tentu saja tidak hanya satu budaya (Culture) yang ada di dalamnya, melainkan banyak sekali. Banyak suku, dan ras yang tinggal di wiliyah negera Indonesia, dari Sabang sampai Merauke dengan berbagai macam budaya yang berbeda-beda.
Karena itulah Presiden pertama Indonesia, Soekarno kemudian menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara kita. Bhinneka Tunggal Ika mempunyai makna berbeda-beda tapi tetap satu adanya. Artinya, bahwa rakyat Indonesia terdiri dari berbagai ras, suku, budaya, dan agama, tetapi tetap berada salam satu nama yaitu Indonesia. Semboyan ini tidak lain merupakan salah satu ajakan Soekarno kepada rakyat Indonesia untuk menjunjung tinggi multikulturalisme di Indonesia.
Kata multikulturalisme sendiri oleh Webster’s New World College Dictionary diartikan sebagai sistem nilai yang menerima kelompok lain secara sama sebagai satu kesatuan, tak peduli perbedaan budaya, gender, agama ataupun yang lain. Konsep ini tidak hanya mengakui perbedaan, tapi lebih memberikan penegasan bahwa segala perbedaan itu mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama (giving equel attention) di ruang publik.
Istilah multikulturalisme di Indonesia muncul masih tidak terlalu lama sehingga kalangan pesantren yang tak pernah diajarkan kitab berbahasa Inggris masih kurang memahami apa maksud dan tujuan dari multikultralisme. Karena istilah ini merupakan perkembangan dari pemikiran post modernisme di Barat, yang disebut kalangan sosiolog Barat sebagai teori multikultural (Mary Rogers, Multikultural Experiences, Multicultural Theories, 1996). Teori ini bercirikan inklusif, memberdayakan pihak lemah (tidak bebas nilai), serta menggugah ranah sosial dan intelektual untuk lebih terbuka dan beragam.
Kaitannya dengan pesantren, multikulturalisme adalah spirit alamiah yang telah tumbuh berkembang sebelum istilah ini dikenal. Ditilik dari segi namanya saja, pesantren terkesan unik. Nama lembaga yang menjadi lokus pendidikan Islam di Indonesia ini bersumber dari bahasa Sansekerta, “sastri” artinya orang yang mendalami kitab suci. (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, 1994).
Pesantren, dalam konteks budaya Indonesia kuno, adalah tempat pemeluk agama Hindu dan Budha mempelajari dan mendalami kitab sucinya. Istilah ini kemudian diadopsi oleh Islam. Berarti, kalangan pesantren tak gamang bergaul dengan agama lain. Dalam sejarahnya memang begitu adanya.

Multikulturalisme Ala Pesantren

Banyak orang menganggap bahwa pesantren dan santri tidak bisa menerima hal-hal baru atau pemikiran modern yang ditemukan oleh non-santri. Bahkan, masih banyak orang yang mengira santri yang notabene orang pesantren tulen tidak bisa mengembangkan pemikiran atau bahkan membuat pemikiran modern layaknya orang-orang di luar pesantren. Hal itu saya katakan salah, karena sampai saat ini sudah banyak orang-orang pesantren atau santri yang mempunyai pemikiran-pemikiran modern, sebut saja Gus Dur atau Alm. Nur Cholis Madjid yang tentu saja pemikiran modern mereka tak bisa diragukan lagi.
Kaitannya dengan multikulturalisme, bukan berarti santri tidak bisa menganut dan menjalankan multikulturalisme dalam kehidupan mereka. Memang ada beberapa orang yang menggunakan seperti Imam Samdura, Amrozi, atau Abu Bakar Ba’asyir yang merupakan jebolan pesantren saat ini menjadi menjadi teroris kelas wahid di Indonesia bahkan di dunia, tetapi tidak semuanya seperti itu. International Center for Islamic and Pluralism (ICIP) yang bermarkas di Jakarta, pada tahun 2007, mengadakan penelitian untuk menguji apakah betul kalangan pesanten mensahkan tindak kekerasan dan tidak ramah terhadap perbedaan. Sampel yang diambil adalah 20 pesantren di Jawa Barat dari 2200 pesantren yang tergabung dalam Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI). Hasilnya, hampir 90% dari mereka menjawab dengan sikap toleran, santun, dan damai. Mereka akur dan akrab dengan perbedaan dan tidak setuju dengan aksi kekerasan atas nama apapun.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam buku Menggerakkan Tradisi, Esai-esai Pesantren (2001) menyebut realitas pesantren seperti tergambar di atas dengan istilah “subkultur”. Maksudnya, keberadaan pesantren selalu berada dalam lingkup budaya tertentu. Karena itu, fenomena multikulturalisme di dunia pesantren adalah hal yang wajar. Kitab-kitab yang diajarkan pun tidak satu mahdzab. Kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Juzairi merupakan salah satu kitab wajib para santri saat mengadakan Bahtsul Masail karena di dalamnya banyak terdapat hukum Fiqh yang bisa dijadikan landasan hukum untuk umat Islam yang memiliki kultur yang berbeda.
Bahkan, di kalangan pesantren dikenal kaidah fiqh, al-ijtihâd lâ yunqaddu bi al-ijtihâd, ijtihad itu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad. Misal, dalam satu masalah, ada perbedaan pendapat. Maka, bukan berarti pendapat yang satu lebih benar dari yang lain karena lebih akhir ijtihadnya atau alasan lain. Santri diberikan keleluasaan untuk memilah dan memilih manakah yang sesuai untuk dijalankan.
Ya, begitulah dinamika multikulturalisme di kalangan pesantren. Hal ini senada dengan falsafah lima tiang penyanggah pesantren, yaitu tawasuth (berada di tengah atau moderasi), tawazun (seimbang menjaga keseimbangan), tasamuh (toleransi), `adalah (keadilan), dan terakhir tasyawur (musyawarah).


3 comments:

M. Faizi said...

Wah, rajin juga Anda ini ternyata...

selamat...

M. Faizi said...

wow, komentar masih menunggu persetujuan pemilik blog :-((

takut SPAM, ya?

Lelaki Tak Sempurna said...

Hahaha...
Maaf baru sempat buka blog..

Terima kasih atas...Coment Ra Faizi..
Tulisan saya jelek..