Candi Brahu, Bejijong, Trowulan, Mojokerto
Candi Brahu adalah salah satu bukti peninggalan Kerajaan
Majapahit. Candi bertinggi 25,7 m dan lebar 20,70 m, dibangun sejak sebelum
Majapahit berdiri. Candi tersebut merangkum cerita Majapahit secara lengkap
dari awal hingga akhir. Hingga kini kondisinya masih tegak berdiri kukuh, tak
mengenal lelah meski usia sudah renta.
Siang itu langit sedikit mendung saat DD beserta beberapa
pengurus Lembaga Adat Budaya Majapahit (LABM) tiba di perempatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto. Tujuannya adalah Candi Brahu, yang letaknya sekitar 5 km dari
perempatan Trowulan. Konon, umur candi tersebut lebih tua dari Kerajaan
Majapahit.
Candi Brahu siang itu tampak ramai. Beberapa rombongan
mengelilingi kompleks candi sambil berfoto. Salah satu rombongan yang menarik
perhatian adalah siswa SDN Sidokumpul, Gresik. Di tengah gurat kelelahan, mereka
tetap asyik menyimak penjelasan sejarah Candi Brahu dari pengelola.
“Candi ini biasa dikunjungi pelajar. Terutama mereka yang
ingin mempelajari sejarah Majapahit. Karena Candi Brahu ini bagian pentingnya,”
tutur Agus Purwanto, Ketua Dewan Pengurus Pusat LABM. Ia lantas bercerita, Candi
Brahu merupakan salah satu candi yang ada dalam lingkungan situs Trowulan
Kerajaan Majapahit.
Candi Brahu, katanya, sudah ada sebelum masa pemerintahan
Raja Hayam Wuruk, bahkan diperkirakan juga sudah ada sebelum masa Raja
Brawijaya I. Bahwa Candi Brahu merupakan candi yang paling tua dibandingkan
dengan candi-candi lainnya yang ada di situs Trowulan. Candi Brahu didirikan
Mpu Sindok yang sebelumnya merupakan raja Kerajaan Mataram Kuno yang ada di
Jawa Tengah.
“Hal itu dijelaskan dari nama Brahu, yang berasal dari
kata Wanaru atau Warahu. Itu nama sebuah bangunan suci keagamaan yang
disebutkan di dalam prasasti tembaga Alasantan yang ditemukan kira-kira 45
meter di sebelah barat Candi Brahu,” ujar Agus.
Menurut dia, prasasti tersebut dibuat pada tahun 861 Saka
atau tepatnya 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan.
Dari penuturan prasasti itu dijelaskan, Candi Brahu yang didirikan di masa Mpu
Sindok adalah candi yang usianya lebih tua dibanding candi-candi lain. Bahkan
lebih tua dari Kerajaan Majapahit.
“Pada masa Kerajaan Majapahit, Candi Brahu digunakan
sebagai tempat persembahyangan atau merupakan bangunan suci yang digunakan
berdoa. Hal ini dapat dilihat dari temuan-temuan di candi tersebut. Seperti
beberapa benda yang jadi alat-alat upacara keagamaan, berupa alat-alat upacara
dari logam,” lanjut Agus.
Sinkretisme Hindu dan Budha
Menurut beberapa penelitian, Candi Brahu dinyatakan
sebagai candi agama Budha. Anggapan ini muncul karena candi itu memiliki stupa
yang menjadi ciri-ciri candi agama Budha. Bentuk Candi Brahu berbeda dibanding
candi-candi lain di situs Trowulan Kerajaan Majapahit. Bentuk tubuh atau badan Candi
Brahu tidak tegas persegi melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk.
Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam seperti pinggang.
Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat
atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak berbentuk prisma bersusun atau
segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar. Itu memunculkan
anggapan bahwa Candi Brahu didirikan bukan pada masa kerajaan Majapahit,
melainkan merupakan bangunan candi yang dibangun sebelum Kerajaan Majapahit.
Selain itu, ada anggapan lain yang menerangkan bahwa
Candi Brahu merupakan candi agama Budha. Anggapan ini berdasarkan penemuan
beberapa benda kuno di sekitar kompleks candi, di antaranya alat upacara dari
logam, perhiasan dan benda-benda dari emas, dan arca-arca logam.
“Benda-benda ini kemudian disebut sebagai ciri-ciri agama
Budha. Karena banyak orang yang mengatakan bahwa candi Brahu merupakan candi
Budha” ujar Agus Purwanto.
Ia menambahkan, dari reliefnya, Candi Brahu merupakan gambaran
sinkretisme keagamaan, antara agama Hindu dan Budha. Dengan gambaran
sinkretisme itu, hingga saat ini pemeliharaan Candi Brahu dilakukan oleh kedua
agama tersebut. Awalnya candi ini berfungsi sebagai tempat pembakaran raja-raja
Majapahit, namun asumsi itu tidak terbukti karena tidak ditemukannya sisa–sisa
abu pembakaran jenazah.
Meskipun tidak terbukti, menurut masyarakat sekitar Candi
Brahu, candi ini dulunya berfungsi sebagai tempat pembakaran jenazah Raja
Brawijaya I sampai IV. Tapi, hasil penelitian yang dilakukan terhadap Candi
Brahu tidak menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi
sekarang sudah kosong.
Di era sekarang, selain sebagai tempat wisata, Candi
Brahu kerap digunakan sebagai tempat kegiatan budaya Majapahit, khususnya
Peringatan Srada dan Ruwat Nusantara Kerajaan Majapahit. Bahkan, tak jarang juga
dipakai sebagai tempat pagelaran seni budaya Majapahit.
Prihatin di Balik Kunjungan Yang Ramai
Candi Brahu yang berlokasi di Desa Bejijong, Kecamatan
Trowulan, Kabupaten Mojokerto, selalu ramai pengunjung, terutama pada hari
libur. Candi yang dulu tempat pembakaran jenazah raja Majapahit itu, dalam satu
minggu dikunjungi lebih dari seribu orang.
Pada hari libur, misalnya, pengunjung ramai berdatangan
ke sana. Tidak hanya ingin mengetahui sejarah candi, namun mayoritas pengunjung
juga ingin menghabiskan waktu bersama teman dan keluarga, di bawah rindangnya
pepohonan yang ada di halaman candi.
Menurut Suyono (44), salah seorang pelestari Candi Brahu
dari BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) Trowulan, dalam satu minggu, jumlah
pengunjung mencapai seribu orang. Pada hari-hari biasa, pengunjung didominasi
pelajar yang mengadakan wisata pendidikan sejarah.
Sedangkan pada hari libur, pengunjung dari kalangan
remaja yang ingin mengisi liburan bersama teman atau kekasih. “Kebanyakan
pengunjung datang karena tempatnya nyaman. Selain itu ada juga yang kagum pada
bentuk dan bangunan candi,” kata Suyono.
Tetapi di balik keasrian situs Candi Brahu, ada
perjuangan besar yang dilakukan delapan juru pelestari yang sehari-hari merawat
candi tersebut. Pasalnya, sampai saat ini dana operasional untuk merawat candi
bersumber dari beaya parkir pengunjung.
Dana itu, setiap bulan disisihkan untuk membiayai
operasional perawatan candi. Seperti membeli bahan bakar mesin pemotong rumput,
alat-alat kebersihan dan lainnya. “Kami kelola secara swadaya. Hasil parkir
kami sisihkan untuk kas, sebagian lagi untuk biaya perawatan,” kata Suyono,
yang sudah sembilan tahun menjadi juru rawat Candi Brahu.
Selain itu, keusilan dan kenakalan pengunjung kerapkali
membuat jengkel Suyono dan teman-temannya. Tidak sedikit pengunjung yang nekat
menaiki bangunan candi, meski pihaknya sudah melarang. “Sudah kami larang,
takutnya merusak bangunan. Dulu dibiarkan, malah ada yang buang sampah sembarangan,
dan corat coret tembok candi,” tuturnya.
Tulisan Ini dimuat di Majalah DERAP DESA Edisi 80 Juni 2014
0 comments:
Post a Comment