=Desa Tlambah, Karang Penang, Sampang
Di
beberapa wilayah memiliki julukan masing-masing. Pacitan, misalnya, dengan
sebutan Kota Seribu Gua, Banjarmasin dengan Kota Seribu Sungai dan beberapa
lainnya. Nah, yang ini beda. Adalah Desa Tlambah, Kecamatan Karang Penang,
Kabupaten Sampang, yang dijuluki ‘Desa Seribu Genteng’.
Berjarak sekitar 25 km dari kota Sampang, Desa Tlambah
yang terletak di area dataran tinggi berbukit berada di ujung timur Kabupaten
Sampang dan berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan. Memasuki wilayah tersebut, seketika
pemandangan berubah merah bata. Hampir di setiap sudut desa dipenuhi jejeran
genteng, baik yang sudah siap dipasarkan atau yang masih dalam proses produksi
dan pematangan.
Desa Tlambah merupakan desa produsen genteng terbesar di
Madura. Berbeda dengan wilayah lainnya di Pulau Madura, Karang Penang,
khususnya Desa Tlambah, memiliki struktur tanah yang istimewa. Umumnya tanah di
daerah tersebut merupakan tanah liat berkualitas baik. Terutama bila
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan genteng, sehingga menghasilkan produk
yang tidak mudah retak bila diproses dalam tungku pembakaran.
Tak heran bila sebagian besar warga desa ini menggeluti
usaha pembuatan genteng tanah liat. Bahan baku alami yang mereka miliki
dijadikan satu kekayaan yang tak dapat ditukar dengan apa pun. Hanya berbekal
keterampilan mengolah bahan baku tersebut, warga Tlambah mampu bertahan hidup.
Bahkan tidak sedikit tergolong hidup berkecukupan.
Ya, setiap orang yang melihat tumpukan tanah liat di
samping rumah akan mengira sebagai tanah yang tak bernilai. Tapi tidak untuk
masyarakat Desa Tlambah. Bagi mereka tanah liat adalah tanah emas. Zahir, misalnya,
dengan bermodalkan tanah liat di pekarangannya, ia mampu memasarkan produk
gentengnya ke seluruh Madura, Jawa bahkan luar Jawa.
Biasanya sekali kirim pesanan, Zahir mampu memenuhi
permintaan hingga 10 ribu hingga 20 ribu keping genteng. “Saya melanjutkan
usaha bapak yang sudah wafat dua tahun lalu. Karena ini sudah menjadi sumber
penghasilan keluarga, jadi mau tidak mau harus tetap jalan,” ujar Zahir.
Lebih lanjut, Zahir bercerita, bapaknya, Abdul Sa’ie,
malang melintang di dunia produksi genteng. Sebelum membangun usaha sendiri,
bapaknya menjadi kuli di salah satu pabrik genteng milik tetangganya. Karena
merasa sudah cukup memiliki modal, Sa’ie pun merintis usaha sendiri yang
kemudian menjadi sumber penghasilan bagi keluarga besarnya.
Tak hanya bapaknya, Zahir menuturkan, banyak keluarga yang
lain terjun ke bisnis genteng. Salah satunya adalah Saladin, pamannya. Saladin
memang tidak menjadi produsen genteng seperti kakaknya, tetapi ia menjadi
pengepul yang mendistribusikan genteng hasil produksi saudara dan tetangganya
ke berbagai tempat di Madura dan Pulau Jawa.
Zahir dan Saladin adalah salah satu contoh. Bahkan hampir
seluruh masyarakat Desa Tlambah menggantungkan kehidupan pada usaha genteng.
Tercatat dari sekitar 9.000 jumlah penduduk, lebih dari 60 persen menggeluti
bisnis jual beli genteng. Tidak melulu menjadi produsen, ada juga yang jadi
pengepul, kuli, atau bahkan supir truk yang notabene menjadi satu-satunya pengangkut
genteng.
Berbeda dengan produk lokal lainnya, genteng Karang
Penang tak lagi dipusingkan pemasaran. Sebab sejumlah pemilik industri genteng
mengakui sudah mampu menembus areal pemasaran sampai luar kota. “Seperti ke Banyuwangi,
Solo dan Probolinggo,” kata H Syamsul, warga Karang Penang, yang juga
mengandalkan industri pembuatan genteng sebagai penopang hidup
keluarganya.
Namun begitu, mereka juga masih perlu mempelajari trik
dan teknik pemasaran yang lain. Terbukti kini mereka tidak hanya memikirkan
bagaimana cara menghasilkan, tapi juga mulai memikirkan tentang teknik
perbaikan kualitas. “Saya senang bila ada pihak yang bersedia memberi tambahan
pengetahuan. Utamanya tentang teknik kemajuan kualitas,” harap H Syamsul,
mewakili warga lainnya.
Apa yang dikatakan sebagain besar warga sangat beralasan.
Terlebih bila mengingat kemasan dan tampilan produk daerah lain sudah mulai
bercorak warna dibanding produk lokal. “Makanya kita juga ingin bersaing,” ujar
mereka serentak.
Tanah Liat Bagus, Keramik Pun Oke
Struktur tanah liat yang terkandung di daerah Karang
Penang merupakan anugerah bagi warga, sebagai bahan baku pembuatan genteng.
Bahkan, tanah lempung di daerah itu sebenarnya dapat dikembangkan menjadi
kerajinan gerabah yang tak kalah dengan daerah Kasongan, Jogjakarta.
Namun, seiring maraknya genteng pres yang lebih modern dan
banyak diminati pembeli, permintaan genteng Karang Penang cenderung menurun.
Projek pembangunan gedung yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Sampang pun
tak berpengaruh terhadap meningkatnya permintaan genteng tradisional tersebut.
Sedangkan upaya pemerintah kabupaten mengalihkan usaha
kerajinan genteng menjadi kerajinan keramik sangat sulit dilakukan. Pola pikir
warga yang masih enggan beralih menjadi perajin gerabah menjadi kendala bagi
pemerintah untuk memberikan pembinaan.
“Dari Dinas Perindustrian Sampang sebenarnya dulu pernah
bilang, tanah liat di Kecamatan Karang Penang itu tidak hanya bisa dijadikan
genteng, tapi bisa dikembangkan menjadi keramik yang sangat prospektif,” kata H
Fauzi, salah seorang perajin genteng Karang Penang.
Ia mengakui, dalam beberapa tahun terakhir permintaan
pasar semakin sepi. Namun, untuk mengajak perajin genteng beralih sebagai
perajin keramik tidaklah mudah, karena kerajinan genteng itu sudah turun
temurun dari leluhurnya. Kerajinan genteng tidak sekadar sebagai sumber
penghasilan, tapi sudah menjadi tradisi keluarga.
“Harga genteng Karang Penang sebenarnya jauh lebih murah
dibandingkan genteng pabrikan. Namun, pembeli lebih suka genteng pabrikan
sehingga dikhawatirkan banyak perajin genteng tradisional gulung tikar karena
usahanya sepi,” kata Fauzi.
Biaya produksi yang sangat tinggi, menurut dia, membuat
nasib para perajin genteng semakin terpuruk. Ongkos mengangkut tanah liat,
untuk satu kali proses pembakaran genteng, bisa mencapai lebih dari Rp 3 juta.
Bahkan sampai Rp 6 juta. Sedangkan kayu bakar yang digunakan memanasi tungku
membutuhkan biaya sedikitnya Rp 4,5 juta.
Tulisan ini dimuat di Majalah DERAP DESA Edisi 80 Juni 2014
0 comments:
Post a Comment