Desa Sawohan, Kec. Buduran, Sidoarjo
Kabupaten Sidoarjo identik dengan hasil perikanan atau
tambak. Bahkan daerah tersebut dikenal memiliki wilayah tambak yang cukup luas.
Dan kondang dengan julukan ‘kota udang’ lantaran banyak menghasilkan udang dari
tambak-tambak tersebut.
Salah satu desa di Sidoarjo yang memiliki tambak luas adalah
Desa Sawohan, Kecamatan Buduran. Daerah yang terletak di sisi timur Kabupaten
Sidoarjo ini memiliki luas desa mencapai 914.194 Ha, dan 40
persen di antaranya wilayah tambak. Tak heran, banyak penduduk desa yang
menggantungkan hidupnya pada tambak.
Ketika Derap Desa mengunjungi Desa Sawohan, pertengahan
Oktober 2014 lalu, tampak beberapa orang petani tambak sedang memanen udang.
Terik matahari yang menyengat seakan tak dipedulikan. Mereka tetap menjaring dan
mengais sisa-sisa udang di tambak.
“Alhamdulillah,
akhirnya panen juga. Tapi hasilnya menurun. Udangnya banyak yang mati sebelum
panen,” kata Mauluddin, salah seorang petani tambak.
Memang, dalam beberapa
tahun terakhir, hasil tambak Desa Sawohan menurun.
Hal tersebut disebabkan hama atau penyakit yang menyerang
udang-udang di tambak Desa Sawohan. Jika penyakit tersebut menyerang, para
petani tambak harus siap memanen udang lebih awal. Padahal jika dipanen lebih
awal, udang masih kecil dan tentu kualitasnya tidak bagus.
Menurut Mauluddin, awal mula munculnya penyakit udang
tersebut pada awal tahun 1990-an. Waktu itu, masyarakat Desa Sawohan sangat
bergantung pada hasil tambak. Malah saat itu untuk mencari orang dengan pekerjaan
lain, sangatlah sulit. Mereka bisa hidup berkecukupan hanya dengan hasil
tambak.
Kondisi itu berubah ketika udang-udang Desa Sawohan
terserang penyakit. Waktu itu, ada beberapa petani yang memanen udang-udangnya
lebih awal agar tidak terserang penyakit. “Meski demikian, dulu hasilnya masih lumayan.
Kami masih bisa untung,” tutur Mauluddin.
Mengenai penyebabnya, hingga kini belum diketahui. Ada
yang mengatakan penyebab munculnya penyakit adalah air tambak yang tercemar
limbah pabrik. Namun semua itu, menurut Hj Ismawati, salah satu pemilik tambak,
belum terbukti secara benar.
Bahkan, kata Mauluddin, ada beberapa peneliti dari luar
negeri seperti Jepang, Korea, dan Thailand yang datang ke Sawohan, tak tahu penyebab
penyakit udang tersebut.
Akhirnya, karena dalam beberapa tahun terakhir mengalami
penurunan, banyak petani tambak yang beralih profesi. Mereka mencari pekerjaan
lain sebagai sambilan agar bisa memenuhi kebutuhan, meski sesekali menggarap
tambak. Ada pula yang meninggalkan tambak dan bekerja sebagai buruh pabrik dan
pekerjaan lainnya.
“Mereka melakukan itu karena hasil panen dari tambak
sendiri tak bisa diprediksikan dan cenderung tak produktif. Misalnya, menebar bibit
sebanyak 10.000, hasil panennya 300 kg saja. Itu dikarenakan airnya tidak alami
dan tidak sehat lagi,” imbuh Ismawati.
Selain karena penyakit, berkurangnya hasil panen tambak
di Sawohan juga kurangnya pengelola atau buruh tambak yang mau merawat.
Kebanyakan mereka yang masih bertahan menjadi petani tambak atau buruh tambak
adalah para orang tua. Sedangkan pemuda yang memiliki lebih banyak stamina dan
tenaga memilih menjadi buruh pabrik atau bekerja serabutan di luar desa.
Beragam alasan, seperti upah yang didapat saat bekerja
sebagai buruh pabrik lebih besar ketimbang bekerja di tambak. Hitungannya, jika
bekerja di tambak dari pagi hingga sore, mereka menerima upah Rp 70 ribu.
Tetapi upah itu belum tentu bisa didapatkan setiap hari.
Berbeda jika bekerja sebagai buruh pabrik, setiap hari bisa
mendapat upah Rp 50 ribu. “Bekerja di tambak itu hasilnya nggak bisa diandalkan, soalnya kerjanya tidak
tentu,” kata Thoriq, pemuda Desa Sawohan
yang bekerja di sebuah pabrik di Buduran.
Faktor lain, anggapan sebagian warga Sawohan bahwa
bekerja di tambak tidak bisa membuat hidup lebih layak. Hal itu juga diakui
Mauluddin. Ia melarang anaknya yang lulus SMA, bekerja di tambak. “Kalau dia bekerja
di tambak, eman. (sayang, Red). Sudah
disekolahkan, masak mau kerja seperti bapaknya?” kata pria berusia 43 tahun itu.
(mtn)
Data Desa
Kepala Desa : Nurul Munfatiq
Dusun : Sawohan dan Kepetingan
Jumlah Penduduk : 5.225 Jiwa
Luas Desa : 914.194 Ha
Batas Desa
-Utara : Desa Damarsi, Desa Pepe Buduran
Sedati
-Selatan : Kel. Serardangan, Kel Pucang Anom
-Timur : Desa Kalanganyar, Muara Laut Sedati
-Barat : Desa Damarsi, Buduran
Akses ke Kepetingan Masih Sulit
Desa Sawohan memiliki dua dusun, Sawohan dan Kepetingan. Bagi
sebagian kalangan, Dusun Kepetingan relatif akrab. Sebab, di sana ada makam
Nyai Sekardadu, yang menurut sejarah adalah ibu Sunan Giri. Jenazahnya
ditemukan di laut dekat dusun sehingga dimakamkan di sana. Setiap perayaan
nyadran, makam tersebut selalu ramai dikunjungi peziarah.
Letak dusun itu cukup tertutup dari kawasan lain. Selain
jarak yang lumayan jauh, akses menuju dusun yang terdiri atas dua RT tersebut
sangat terbatas. Jalur darat memang tersedia, namun penduduk setempat hanya
menggunakannya sebagai alternatif.
Jalur darat hanya bisa ditempuh saat musim kemarau. Jalur
yang lebarnya tidak lebih dari 2 meter itu tidak layak disebut sebagai jalan.
Sebab, jalur tersebut memanfaatkan pematang tambak. Permukaannya berupa tanah
dan rerumputan tidak bisa dilewati ketika musim hujan.
Suparno, seorang petani di kawasan itu, mengatakan, tanah
pematang tersebut lembek. Ketika terkena hujan, berubah becek. Kendaraan maupun
sepeda angin yang memaksa lewat bisa terpeleset dan terjatuh di tambak yang
terhampar di samping kanan dan kiri jalan. “Menawi
ketiga, marginipun nembe saged dilewati (Kalau musim kemarau, jalannya baru
bisa dilewati, Red),” tutur dia.
Apalagi, kala malam, jalan tersebut gelap gulita. Tidak
ada satu penerangan pun di sana. Meski demikian, di jalan itu jarang, bahkan
tidak pernah ada tindak kriminal. Sebab, akses tersebut memang tidak pernah
dilewati. (mtn)
Tulisan Ini dimuat di Majalah Derap Desa Edisi, 88 Februari 2015
1 comments:
seharusnya pemda setempat lebih berperan aktif tentu akan lebih baik.
dijual rumah di buduran sidoarjo
Post a Comment