Desa Gersik Putih, Kec. Gapura,
Sumenep
Madura dikenal sebagai
pulau garam. Namun tidak semua orang tahu tentang kampong buje (kampung garam),
yakni desa pemasok garam di Madura. Salah satunya adalah Desa Gersik Putih,
Kec. Gapura, Sumenep.
Sore itu
matahari sedikit tertutup awan. Deretan tambak garam yang berada di samping
jalan terlihat sepi. Hanya ada satu dua orang yang melewati tanggul-tanggul
pembatasnya. Di sana, tak sedikit pun terdapat tanda-tanda butiran putih kecil
pertanda air laut sudah air garam muncul. Yang tampak hanya air yang
memantulkan cahaya matahari yang mulai berwarna oranye.
“Memang
sekarang tidak akan ada garam di tambak-tambak ini. Karena sekarang bukan
musimnya garam,” tutur Tabroni, salah satu warga yang menemani Derap Desa
berkeliling tambak dan kampung tersebut.
Apalagi, saat
itu masih musim hujan. Artinya, tidak ada satu pun petani yang menggarap lahan
mereka untuk bertani garam. Sebaliknya tambak-tambak yang mereka miliki lebih
banyak digunakan sebagai tempat memelihara ikan, seperti ikan bandeng dan ikan mujair.
Hasilnya pun tak kalah dengan hasil bertani garam. Bahkan melebihi.
Sebenarnya,
banyak yang menjuluki desanya itu sebagai Kampong
Buje, atau dalam bahasa Indonesia artinya Kampung Garam. Julukan ini muncul
lantaran desa Gersik Putih ini merupakan salah satu pemasok garam terbesar di
Sumenep setelah desa Pinggir Papas dan Kalianget. Dari luas desa luas 4.848.409
m2 hampir separuh diantaranya merupakan lahan tambak garam.
Tambak garam
yang sangat luas ini pun dimanfaatkan masyarakat dengan baik. Sehingga tak
jarang penduduk desa Gersik Putih ini menjadi petani garam dan bekerja di PT
Garam. Tercatat, dari jumlah penduduk sekitar 1500 jiwa, 30 persen diantaranya menjadi
tenaga kerja untuk PT Garam, baik yang bekerja sebagai penggarap lahan ataupun
bekerja sebagai mandor atau tim kantor.
Proses
produksi garam sebenarnya hanya bisa dilakukan pada musim kemarau saja. Namun,
cara produksinya yang sederhana menjadi penyebab warga desa ini memilih menjadi
petani garam. Hasilnya pun tidak bisa dibilang sedikit. Hanya saja, kemudahan
tersebut tidak lantas membuat petani garam menggantungkan seratus persen hidup
mereka pada garam. “Garam itu kan musiman, pas musim kemarau saja. Di luar itu
ya sudah habis. Kami cari garapan lainnya,” terang Jamaluddin, salah salah
seorang petani garam di desa itu.
Menurut Jamaluddin,
ketergantungan pertanian garam pada cuaca menjadi faktor utama banyaknya warga
desa Gersik Putih yang mulai enggan bertani garam. Garam memang sangat
membutuhkan terik matahari. Sedikit saja mendung saat proses penjemuran, maka
jerih payah petani garam terancam sia-sia.
Tidak hanya
itu, menurut As’ad, para petani garam asal Gersik Putih merasa sangat terkekang
dengan adanya lahan pegaraman tersebut. Pasalnya, lahan yang berdampingan
dengan lingkungan masyarakat bukanlah milik masyarakat Gersik Putih sendiri,
melainkan milik perusahaan negara yaitu PT Garam. Dengan ini, hasil dari pertanian
garam pun harus dibagi lagi dengan PT Garam selaku pemilik lahan. Dengan
pembagian ini pun income untuk warga setempat berkurang.
Dari ini
kemudian banyak petani garam mencari alternatif pekerjaan lain untuk menambah
penghasilan mereka. Bagi mereka yang memiliki tambak sendiri memilih untuk
menjadi petani tambak dengan memelihara ikan badeng di tambak mereka. Ada juga
masyarakat yang bersedia memelihara ikan bandeng di tambak orang lain dengan
sistem bagi hasil ketika panen. Pemeliharaan ikan bandeng sendiri biasa
dilakukan pada musim penghujan dan berakhir pada musim kemarau. Ada juga yang
memeliharanya melebihi waktu yang ditentukan atau sampai pada musim kemarau
berlangsung, dengan alasan untuk lebih memperbaiki kualitas ikan yang masih
kecil.
“Alhamdulillah,
lumayan banyak ketika musim panen tiba, asal ikannya berkualitas bagus dan
tidak begitu banyak yang mati. Biasanya, ikan-ikan bandeng yang telah dipanen
akan dijual ke pasar melalui belijjhe
yang membelinya langsung di tambak panen ikan,” cerita Sagiman salah
satu Petani Tambak yang juga petani Garam.
Pekerjaan
alternatif warga Gersik Putih tidak
hanya petani tambak, bagi sebagian wanita yang tidak memiliki pekerjaan tetap,
biasanya mereka akan mencari congcong (semacam siput kecil di pinggir pantai).
Pekerjaan ini dapat memakan waktu dan tenaga yang ekstra. Karena selain harus
mengumpulkan congcong sebanyak mungkin, keberadaannya pun sudah mulai
berkurang. Biasanya, untuk mengumpulkan congcong sebanyak ukuran karung beras,
para pencari harus menggunakan waktunya dua hingga tiga jam.
Tidak hanya
itu, proses pencarian hingga penjualannya masih juga memerlukan waktu yang
cukup lama, yaitu sekitar lima hari. Congcong yang sudah diperoleh dari pantai
kemudian akan direbus dan diambil bijinya dengan cara dicongkel, dikumpulkan,
lalu dijual. Proses penjualannya masih menunggu penampung atau orang yang
membutuhkan congcong itu. “Harga jual biji congcong yaitu berkisar antara
Rp1.250 hingga Rp1.400 per tekaran yaitu dengan menggunakan gelas kecil sebagai
takarannya,” terang Atun, seorang ibu rumah tangga yang menjadi pencari
cingcong. (mtn)
Permukiman Padat,
Solidaritas Kian Rekat
Pada umumnya, pemukiman di Madura menganut sistem Taneyan Lanjhang atau Halaman panjang.
Taneyan Lanjhang ini merupakan halaman berbentuk memanjang dengan beberapa
rumah. Rumah-rumah tersebut ditinggali oleh beberapa keluarga dengan leluhur
yang sama. Kebanyakan, Taneyan Lanjhang terdapat di desa-desa di Madura
terutama yang desa pelosok dan pedalaman.
Namun tidak begitu dengan pemukiman di desa Gersik Putih, kec
Gapura, Sumenep. Pemukiman di desa ini justru lebih mirip perumahan atau
pemukiman di kota-kota. Bukan dengan halaman memanjang, melainkan perumahan
yang berdempet dengan halaman sempit dan terdapat juga beberapa gang. Pemukiman
seperti ini kemudian membuat rasa persaudaraan dan solidaritas antar warga
makin erat.
Salah satu contoh kongkretnya ketika adalah satu warga
membangun rumah. Jika di desa lain untuk membantu si tukang bangunan perlu
menyewa orang, maka di desa ini tidak begitu. Para tetangga akan datang
berduyun-duyun datang membantu pembangunan rumah itu tanpa dibayar. Bahkan dari
saking banyaknya yang membantu, si tukang pun tidak bekerja dengan tangannya
sendiri, ia lebih seperti mandor yang memberi instruksi kepada anak buahnya.
“Tak perlu dipertanyakan lagi! Solidaritas yang ada di
masyarakat Gersik Putih itu memang sangat tinggi, Lek”, tutur Haryono,
sekretaris Organisasi Pemuda Gersik Putih.
Menurut Nono, begitu Haryono kerap disapa, solidaritas yang dimiliki
masyarakat seakan sudah menjadi budaya. Keakraban yang dimaksud adalah sebuah
proses pertemanan yang sangat lekat. Artinya, keakraban adalah hubungan yang
terjalin sedemikian lekat hingga tak terpisahkan, hingga kemudian terbentuklah
penggemukan terhadap solidaritas dan menjadi budaya.
Seperti budaya lainnya, solidaritas yang terjadi dan telah
dianggap sebagai budaya adalah sistem yang telah mengatur dan menuntut agar
keakraban antara satu individu dengan individu lain terus dipupuk layaknya
sebuah budaya yang harus dilestarikan. Maka kemudian solidaritas pada dan
antarmasyarakat Gersik Putih adalah sebuah budaya yang mendarah-daging dan
harus diajarkan secara turun-temurun seperti kebiasaan lainnya.
“Masyarakat Gersik Putih itu masyarakat yang sangat
menjunjung akan pentingnya persaudaraan dan solidaritas,” imbuhnya. (mtn)
Tulisan Ini dimuat di Majalah Derap Desa, Edisi 82 Agustus 2014
0 comments:
Post a Comment