Makam W.R. Soepratman, Pencipta Lagu
Indonesia Raya
Apa yang paling berarti
dari seorang musisi jika bukan lagu ciptaannya? W.R. Soepratman menjadi
satu-satunya musisi Indonesia paling legendaris. Lagu ciptaanya memang tidak
meraih piala citra atau semacamnya. Melainkan melalui lagunyalah Indonesia
mendapatkan kemerdekaan.
Sore itu
terik matahari di langit Surabaya masih terasa cukup menyengat. Sore itu,
bersama beberapa belas pemuda asal Madura, DD mendapatkan kesempatan untuk
berziarah ke makam musisi paling legendaris di Indonesia yang terdapat di Jl
Kenjeran Surabaya ini. Di sini, peziarah tidak hanya mendapatkan pengalaman
religiusnya, tetapi juga akan mendapat tambahan pengetahuan tentang riwayat
hidup pencipta lagu kebangsaan Indonesia ini.
“Bagi kami W.R.
Soepratman itu tidak hanya sekedar seorang pahlawan kemerdekaan saja. Tapi juga
panutan yang mengajarkan bagaimana kita berjuang. Beliau mengajarkan kalau
berjuang mendapatkan kemerdekaan itu juga bisa lewat musik,” terang Dzakir
Ahmad, ketua rombongan pemuda asal Madura ini.
Memang, di
antara sederet pahlawan pejuang kemerdekaan di masa pergerakan tersebut
W.R.Soepratman memiliki perbedaan dengan para pahlawan lainnya. Jika pahlawan
lain melawan penjajah melalui perjuangan fisik, diplomatik dan tekanan politik,
W.R. Soeprtaman berjuang lebih mengandalkan ketajaman dari gesekan biolanya
yang mampu membakar semangat perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah
ketika itu.
Di antara
improvisasi lagu lewat gesekan biolanya yang kemudian menjadi sebuah karya
spektakuler dan membahana di seluruh Nusantara sepanjang masa adalah Lagu
Indonesia Raya, yang hingga kini menjadi lagu kebangsaan Indonesia. Ketenaran
lagu ini bukan hanya dalam setiap peristiwa bersejarah di dalam negeri saja. Tetapi
telah diakui manca negara karena syairnya yang mengandung semangat heroisme
perjuangan bangsa Indonesia. Lewat daya ciptanya W.R. Soepratman telah
membuktikan bahwa perjuangan bisa dilalui lewat sudut mana saja termasuk
melalui musik.
Guru, Musisi Jazz, dan Wartawan
Menurut
prasasti yang terdapat di kompleks makamnya, pemilik nama lengkap Wage Rudolf
Soepratman, lahir pada hari Senin Wage tanggal 9. Maret 1903 di Jatinegara,
Jakarta. Di masa kecilnya ia diasuh oleh kakak iparnya bernama W.M. Van Eldik
(Sastrornihardjo). Soepratman semasa kecilnya tergolong siswa paling cerdas di
sekolahnya namun ia mulai belajar memetik gitar dan menggesek biola ketika
diajak kakak iparnya hijrah ke Makasar, Sulawesi Selatan.
Di kota ini
ia masuk sekolah guru. Setelah lulus sekolah itu ia langsung diangkat menjadi
guru. Namun, meski ia Seorang guru dan mengajar murid-muridnya di sekolah umum,
ia pantang meninggalkan musik untuk mengekspresikan hobinya. Guna menyalurkan
hobi musiknya di Makassar ia mendirikan kelompok musik Jazz, namanya Black And
White, di bawah binaan W.M. Van Eldik, sampai tahun 1924. Melalui musik jazz
inilah W.R. Soepratman mulai mencipta lagu-lagu perjuangan yang tersohor dengan
ritme heroiknya itu.
Sebagai
sosok pejuang yang gigih untuk kemerdekaan bangsanya ia berjuang tidak hanya
mealalui musik, tetapi juga terjun langsung ke dunia jurnalistik. Hal ini dapat
dibuktikan, pada tahun 1924 ia menjadi wartawan surat kabar Kaoem Moeda di
Bandung, kemudian tahun 1926 menjadi wartawan Sin Poo di Jakarta. Semasa menjadi
wartawan ia sangat rajin mengunjungi rapat-rapat pergerakan nasional di Gedung
Pertemuan Gang Kenari Jakarta.
Sejak itu ia
mulai mencipta berbagai jenis lagu perjuangan, termasuk lagu Indonesia Raya
yang diselesaikan tahun 1928. Sejak itu pula W.R. Soepratman dikejarkejar
polisi pemerintah Hindia Belanda. Penghargaan terakhir karya ciptanya pada
Kongres Pemuda di Jakarta, 27-28 Oktober 1928. Waktu itu diputuskan lagu
Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Setelah itu pada tahun 1930 W.R.
Soepratman dibawa saudaranya pindah ke Surabaya dalam kondisi sakit. Meski
dalam kondisi sakit ia pantang berhenti berjuang untuk kemerdekaan bangsanya.
Dalam
prasasti tersebut juga dituliskan, Pada tanggal 7 Agustus 1938, ketika memimpin
Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan menyiarkan lagu Mata Hari Terbit di Radio
Nirom Jl. Embong Malang Surabaya, ia ditangkap Belanda dan dipenjarakan di
Kalisosok Surabaya. Pada Rabu Wage, 17 Agustus 1938, W.R. Soepratman meninggal
dunia di Jl. Mangga No 21 Surabaya tanpa istri dan anak karena ia belum
menikah. Ia dimakamkan secara Islam di Makam Umum Kapasan, Jl. Kenjeran
Surabaya.
“Nasipkoe
soedah begini. Inilah yang di soekai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Biar saja
meninggal, saja iclas. Saja toh soedah beramal, berdjoang, dengan tjarakoe,
dengan biolakoe. Saja yakin Indonesia pasti merdeka,” begitulah pesan terakhir
W.R. Soepratman sebelum meninggal sebagaimana tercantum dalam prasasti di
kompleks makamnya. (mtn)
Tulisan ini dimuat di Majalah Derap Desa, Edisi 82 Agustus 2014