Dulu, batik dianggap sebagai pakaian kuno, ketinggalan zaman dan identik dengan orang
tua. Tapi, saat ini batik merupakan bagian dari fashion. Bahkan batik sudah
tidak hanya berbentuk busana saja melainkan dalam beragam bentuk.
Bila ada kesempatan bertandang ke Madura, maka jangan lupa
untuk melihat-lihat beragam batik tulis Madura. Ya, batik Madura memang
memiliki daya pikat tersendiri, antara lain pada pewarnaannya yang tajam atau
lebih dikenal dengan istilah ngejreng. Dalam selembar kain, misalnya, bisa
muncul wama yang kontras, yang tidak mungkin ditemukan pada kain batik
pedalaman ataupun pesisiran di Jawa
Di Madura, pengusaha dan perajin batik tulis sudah tersebar
di berbagai penjuru di empat kabupaten. Salah satu pusat batik tulis yang perlu
didatangi para pecinta batik adalah desa Pakandangan Barat, Kecamatan Bluto,
Kabupaten Sumenep.
Rute untuk mencapai desa Pakandangan Barat tidaklah sulit.
Karena desa yang terletak di pesisir selatan Kabupaten Sumenep ini dilalui
angkutan bus antar kota. Selain itu, hampir di seluruh jalan raya akan banyak
sekali ditemukan baliho dan papan nama usaha batik tulis dengan beragam bentuk.
Di desa yang terletak sekitar 16 km di selatan kota Sumenep
ini, para pecinta batik akan menemukan banyak sekali macam-macam batik. Karena
di desa Pakandangan Barat membatik sudah budaya yang mengakar dalam kehidupan
masyarakatnya.
Menurut sejarah, desa Pakandangan Barat, Bluto, Sumenep, sudah
terkenal sebagai sentra produksi batik tulis sejak zaman Belanda. Bahkan,
sentra kerajinan batik tulis di desa ini sudah mulai kondang sejak Kerajaan
Sumenep masih eksis hingga berakhir di bawah kekuasaan Ario Prabuwinoko pada
tahun 1926-1929. Tak heran, bila motif batik buatan desa ini banyak dipengaruhi
tradisi keraton. Misalnya, terlihat motif kipas yang sudah ada sejak tahun
1930-an.
Pemerintah Kabupaten sendiri sudah mempatenkan desa
Pakandangan Barat sebagai sentra batik tulis di Sumenep. Tak heran jika
kemudian di desa dengan penduduk sekitar 3.000 jiwa ini banyak sekali perajin
batik. Bahkan yang unik, tidak jarang ada anak sekitar usia 15 tahun sudah bisa
membatik cukup baik.
Beli dengan Online pun
Bisa
Mungkin bagi masyarakat kota, jual beli online saat sudah
sangat biasa. Tapi, bagi masyarakat pedesaan terutama masyarakat Pakandangan
Barat, jual-beli online adalah sesuatu yang cukup baru.
Meski dengan pengetahuan IT yang masih seadanya, para
pengusaha dan perajin batik Pakandangan Barat pun tak mau ketinggalan zaman.
Mereka pun mencoba untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi sebagai alat
menambah konsumen batik.
“Sekarang sudah canggih. Tinggal kirim foto batiknya, berapa
jumlahnya, harganya sekian. Kami terima pesanannya. Uangnya dikirim lewat
bank,” papar Zaini, salah satu pengusaha batik tulis Pakandangan Barat.
Zaini Menuturkan, saat ini mayoritas pemasaran batik
Pakandangan Barat secara online. Baik melalui media jejaring sosial, instan
messenger atau e-mail. Meski si pemilik usaha tak bisa menggunakan internet,
anak-anak merekalah yang meng-upload dan menjual batiknya di media online.
Dari Madura Untuk Nusantara
Tersohornya batik tulis desa Pakandangan Barat membuat
pemerintah kabupaten Sumenep untuk memberikan berbagai penghargaan dan bantuan
terhadap para perajin batik di desa itu. Salah satu pengusaha dan perajin batik
yang akrab dengan pemerintah Kabupaten Sumenep adalah Ach. Zaini, pemilik usaha
batik ‘Melati.’
Zaini, begitu sapaan akrabnya, sudah menjadi perajin batik
sejak usia masih dini. Ia kemudian meneruskan usaha batik turun-temurun ayahnya
sejak tahun 1977. Meski begitu, ia merintis usahanya itu dari nol.
Saat ini, berkat kegigihannya, ia menjadi salah satu
pengusaha batik tersukses di desanya. Karena itu, ia kemudian sering menjadi
delegasi Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Sumenep dalam berbagai event dan
pemeran seputar batik di luar Madura.
Pameran di kota-kota besar di Indonesia menjadi pinjakan awal
Zaini memperkenalkan batiknya di luar Madura. Lantas kemudian, ia membangun
relasi dengan berbagai lembaga pemerintah seperti Dinas Koperasi dan UKM Jatim,
Dekranasda Jatim dan lainnya untuk mempromosikan batiknya.
Di Luar Jatim, Zaini juga memiliki langganan yang kerap kali
membeli batiknya seperti Sulawesi dan Kalimantan. Hanya saja, hingga saat ini,
transaksi dengan konsumen di luar Jatim masih menggunakan media elektronik
seperti telepon atau online. Kecuali Jakarta, di Ibu Kota konsumen Zaini lebih
banyak memesan batik melalui putra keduanya Anaz Khairunnaz yang juga menjadi
designer di sana.
“Di seluruh Pulau Jawa saya punya (konsumen, red) kecuali
Jawa Tengah karena di sana tempat batik,” cerita Zaini.
Yang unik, batik ‘Melatik’ milik Zaini ini tidak
melulu bermotif bunga melati seperti nama usahanya. Melainkan, motif yang
digunakan juga menggunakan berbagai macam identitas Sumenep seperti Pandai besi
(Pandhi), Labheng Mesem (Gerbang di Karaton Sumenep), Empu Kelleng (Empu
ternama kala masa kerajaan Sumenep), dan sapi sonok terlihat indah dalam bentuk
lukisan batik.Tulisan ini dimuat di Majalah DERAP DESA, Edisi 77 Maret 2014