Saturday 31 January 2015

Mengenal Histori Kesehatan Indonesia

Museum Kesehatan Dr Adhyatma MPH

            Siapa pun pasti penasaran, minimal bertanya-tanya, seperti apakah museum kesehatan itu. Lazimnya, museum identik dengan tempat penyimpanan benda-benda peninggalan sejarah di zaman atau masa lalu. Namun bagaimana dengan Museum Kesehatan Dr Adhyatma MPH? Apakah benda-benda di dalamnya juga bernilai sejarah?
            Bagi yang belum pernah berkunjung ke Museum Kesehatan Dr Adhyatma MPH di kawasan Jl Indrapura No 17 Surabaya, bakal sulit menemukan lokasinya. Selain minim papan penunjuk ke lokasia, letak gedung tersebut berada dalam satu lokasi dengan Graha Indrapura dan Gedung Pelatihan Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat (PHKKPM). Wajar, gedung museum sulit ditemukan.
            Padahal museum kesehatan terlengkap se-Indonesia itu diresmikan sejak 2004. Tepatnya 14 September 2004, Menteri Kesehatan meresmikan museum yang bernama Museum Kesehatan Dr Adhyatma MPH. Nama Dr Adhyatma dipakai sebagai tanda jasa terhadap seorang dokter dan menteri yang sangat peduli terhadap kesehatan rakyat jelata. Museum ini dibangun guna melengkapi museum kesehatan yang ada di DI Jogjakarta, sejak tahun 1980.

            Bedanya, museum yang di Jogjakarta memiliki gedung yang cukup luas. Tetapi isi museum hanya sebuah prasasti pembukaan. Fungsi sebagai museum juga belum dijalankan. Mestinya, museum kesehatan digunakan sebagai tempat mengumpulkan koleksi, konservasi, penelitian, dan mengomunikasikan ke masyarakat tentang ide, perilaku dan hasil karya manusia yang terkait dengan aspek kesehatan.
            Berangkat dari hal inilah pada tahun 1990, Dr dr Harijadi Suparto dari Puslitbang Pelayanan Kesehatan merintis dan memotori berdirinya Museum Kesehatan di Surabaya. Hanya waktu itu Museum Kesehatan Surabaya terbatas untuk kalangan sendiri.
            “Barulah tahun 2004, museum terbuka untuk umum setelah disahkan Menteri Kesehatan RI (kala itu), Dr dr Achmad Sujudi MHA, dengan nama Museum Kesehatan Dr Adhyatma MPH,” ucap Sartono, salah satu penjaga Museum Kesehatan Dr Adhyatma MPH.
            Sartono bercerita, sebelum museum berdiri, gedung yang saat ini dipakai merupakan bekas sebuah rumah sakit kulit dan kelamin. Bahkan, sebagian barang-barang museum merupakan peralatan medis yang digunakan dokter-dokter ketika gedung tersebut masih dipakai sebagai rumah sakit.
            Museum Dr Adhyatma didirikan dengan tujuan menyimpan dan melestarikan benda-benda yang bernilai historis dalam hal kesehatan, hingga sekarang. Dengan begitu dapat memberikan informasi kepada generasi sekarang dan generasi mendatang tentang seluk-beluk kesehatan, budaya ilmu pengetahuan sejarah, dan sebagainya.
            Museum tersebut mengumpulkan dan menampilkan beberapa peralatan kesehatan bersejarah sejak waktu awal hingga sekarang. Dengan perkembangan teknologi, saat ini orang selalu dilayani dan dimanjakan dengan alat-alat medis berteknologi canggih. Tetapi juga perlu diketahui bahwa di waktu awal, terdapat alat-alat medis sederhana yang turut berperan.
            “Koleksi benda di museum ini mencapai ratusan buah dan merupakan sarana pelayanan kesehatan yang digunakan sejak 1950. Museum kesehatan ini juga dilengkapi laboratorium pengobatan dan obat tradisional, laboratorium tenaga dalam, laboratorium akupunktur, dan perpustakaan,” papar Sartono.
            Kecuali itu, Museum ini juga memiliki koleksi mengenai semua benda-benda bersejarah dalam pelayanan kesehatan dari berbagai daerah, ras/etnis, dan agama/kepercayaan. Termasuk berbagai koleksi Adhyatma ketika menjabat Menteri Kesehatan tahun 1988 hingga 1993.
            Koleksi tersebut diperlihatkan dalam bentuk asli, imitasi, replika, dan foto atau gambar. Bahkan, dalam sanana budaya--sebuah ruangan yang menampilkan alat-alat medis berdasarkan budaya di Indonesia--juga terdapat berbagai macam benda-benda santet.
            Koleksi benda-benda satet tersebut semakin  lengkap dengan adanya foto ronsen atau sinar-X dari tubuh pasien yang terkena santet. “Koleksi ini sebagai bukti bahwa santet itu ada. Tapi bukan lantas kita mengajak pengunjung mempercainya. Ini sebagai tambahan pengetahuan, agar kita bisa berhati-hati dalam menjaga tubuh dan keluarga,” imbuh Sartono.  (mtn)

Mistis di Balik Peralatan Santet
            Konon, museum kesehatan itu dianggap memiliki cerita mistis yang berhubungan dengan peralatan yang ada di museum tersebut. Ada pula yang mengatakan museum tersebut sebagai museum santet lantaran menampilkan berbagai macam benda seputar santet.
            “Memang kalau benda-benda santet di sini banyak. Bahkan sampai perlengkapan melakukan santet juga ada. Kalau pas melihat koleksinya kadang saya merasa merinding. Apalagi kalau lewat dekat boneka jailakung itu,” kata Indra, salah satu pengunjung Museum Dr Adhyatma, sambil menunjuk boneka jailangkung yang ada di sasana budaya.
            Memang, koleksi benda-benda yang dipajang di Museum Dr Adhyatma memberi kesan mistis dan seram. Apalagi, di sasana budaya yang menampilkan benda-benda santet dan mistik lain khas masyarakat Indonesia, seperti boneka jailangkung semakin menambah nuansa mistik.
            Bahkan, Sartono sendiri selaku petugas di Museum Dr Adhyatma, tidak menyangkal adanya nuansa mistis. Hanya, menurutnya, aura tersebut muncul bukan lantaran benda-benda santet yang dipajang, tetapi karena bangunan yang sekarang digunakan sebagai museum merupakan bekas rumah sakti. Apalagi arsitekturnya masih sangat kuno.

            “Sejujurnya, saya belum pernah mengalami hal-hal mistis di museum ini seperti benda bergerak sendiri atau penampakan dan semacamnya. Hal-hal tersebut ‘kan bergantung kepercayaan masing-masing orang. Kalau saya, yang penting tidak mengganggu saja,” tuturnya. (mtn)

Tulisan Ini dimuat di Majalah Derap Desa, Edisi 88 Februari 2015


Potensi Tambak Yang Terancam

Desa Sawohan, Kec. Buduran, Sidoarjo

            Kabupaten Sidoarjo identik dengan hasil perikanan atau tambak. Bahkan daerah tersebut dikenal memiliki wilayah tambak yang cukup luas. Dan kondang dengan julukan ‘kota udang’ lantaran banyak menghasilkan udang dari tambak-tambak tersebut.

            Salah satu desa di Sidoarjo yang memiliki tambak luas adalah Desa Sawohan, Kecamatan Buduran. Daerah yang terletak di sisi timur Kabupaten Sidoarjo ini memiliki luas desa mencapai 914.194 Ha, dan 40 persen di antaranya wilayah tambak. Tak heran, banyak penduduk desa yang menggantungkan hidupnya pada tambak.
            Ketika Derap Desa mengunjungi Desa Sawohan, pertengahan Oktober 2014 lalu, tampak beberapa orang petani tambak sedang memanen udang. Terik matahari yang menyengat seakan tak dipedulikan. Mereka tetap menjaring dan mengais sisa-sisa udang di tambak.
            “Alhamdulillah, akhirnya panen juga. Tapi hasilnya menurun. Udangnya banyak yang mati sebelum panen,” kata Mauluddin, salah seorang petani tambak.
Memang, dalam beberapa tahun terakhir, hasil tambak Desa Sawohan menurun.
            Hal tersebut disebabkan hama atau penyakit yang menyerang udang-udang di tambak Desa Sawohan. Jika penyakit tersebut menyerang, para petani tambak harus siap memanen udang lebih awal. Padahal jika dipanen lebih awal, udang masih kecil dan tentu kualitasnya tidak bagus.
            Menurut Mauluddin, awal mula munculnya penyakit udang tersebut pada awal tahun 1990-an. Waktu itu, masyarakat Desa Sawohan sangat bergantung pada hasil tambak. Malah saat itu untuk mencari orang dengan pekerjaan lain, sangatlah sulit. Mereka bisa hidup berkecukupan hanya dengan hasil tambak.
            Kondisi itu berubah ketika udang-udang Desa Sawohan terserang penyakit. Waktu itu, ada beberapa petani yang memanen udang-udangnya lebih awal agar tidak terserang penyakit. “Meski demikian, dulu hasilnya masih lumayan. Kami masih bisa untung,” tutur Mauluddin.
            Mengenai penyebabnya, hingga kini belum diketahui. Ada yang mengatakan penyebab munculnya penyakit adalah air tambak yang tercemar limbah pabrik. Namun semua itu, menurut Hj Ismawati, salah satu pemilik tambak, belum terbukti secara benar.
            Bahkan, kata Mauluddin, ada beberapa peneliti dari luar negeri seperti Jepang, Korea, dan Thailand yang datang ke Sawohan, tak tahu penyebab penyakit udang tersebut.
            Akhirnya, karena dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan, banyak petani tambak yang beralih profesi. Mereka mencari pekerjaan lain sebagai sambilan agar bisa memenuhi kebutuhan, meski sesekali menggarap tambak. Ada pula yang meninggalkan tambak dan bekerja sebagai buruh pabrik dan pekerjaan lainnya.
            “Mereka melakukan itu karena hasil panen dari tambak sendiri tak bisa diprediksikan dan cenderung tak produktif. Misalnya, menebar bibit sebanyak 10.000, hasil panennya 300 kg saja. Itu dikarenakan airnya tidak alami dan tidak sehat lagi,” imbuh Ismawati.


            Selain karena penyakit, berkurangnya hasil panen tambak di Sawohan juga kurangnya pengelola atau buruh tambak yang mau merawat. Kebanyakan mereka yang masih bertahan menjadi petani tambak atau buruh tambak adalah para orang tua. Sedangkan pemuda yang memiliki lebih banyak stamina dan tenaga memilih menjadi buruh pabrik atau bekerja serabutan di luar desa.
            Beragam alasan, seperti upah yang didapat saat bekerja sebagai buruh pabrik lebih besar ketimbang bekerja di tambak. Hitungannya, jika bekerja di tambak dari pagi hingga sore, mereka menerima upah Rp 70 ribu. Tetapi upah itu belum tentu bisa didapatkan setiap hari.
            Berbeda jika bekerja sebagai buruh pabrik, setiap hari bisa mendapat upah Rp 50 ribu. “Bekerja di tambak itu hasilnya nggak bisa diandalkan, soalnya kerjanya tidak tentu,” kata Thoriq, pemuda Desa Sawohan yang bekerja di sebuah pabrik di Buduran.
            Faktor lain, anggapan sebagian warga Sawohan bahwa bekerja di tambak tidak bisa membuat hidup lebih layak. Hal itu juga diakui Mauluddin. Ia melarang anaknya yang lulus SMA, bekerja di tambak. “Kalau dia bekerja di tambak, eman. (sayang, Red). Sudah disekolahkan, masak mau kerja seperti bapaknya?” kata pria berusia 43 tahun itu. (mtn)

Data Desa
Kepala Desa             : Nurul Munfatiq
Dusun                        : Sawohan dan Kepetingan
Jumlah Penduduk  : 5.225 Jiwa
Luas Desa                 : 914.194 Ha
Batas Desa   
-Utara            : Desa Damarsi, Desa Pepe Buduran Sedati
-Selatan         : Kel. Serardangan, Kel Pucang Anom
-Timur           : Desa Kalanganyar, Muara Laut Sedati
-Barat                        : Desa Damarsi, Buduran

Akses ke Kepetingan Masih Sulit
            Desa Sawohan memiliki dua dusun, Sawohan dan Kepetingan. Bagi sebagian kalangan, Dusun Kepetingan relatif akrab. Sebab, di sana ada makam Nyai Sekardadu, yang menurut sejarah adalah ibu Sunan Giri. Jenazahnya ditemukan di laut dekat dusun sehingga dimakamkan di sana. Setiap perayaan nyadran, makam tersebut selalu ramai dikunjungi peziarah.
            Letak dusun itu cukup tertutup dari kawasan lain. Selain jarak yang lumayan jauh, akses menuju dusun yang terdiri atas dua RT tersebut sangat terbatas. Jalur darat memang tersedia, namun penduduk setempat hanya menggunakannya sebagai alternatif.

            Jalur darat hanya bisa ditempuh saat musim kemarau. Jalur yang lebarnya tidak lebih dari 2 meter itu tidak layak disebut sebagai jalan. Sebab, jalur tersebut memanfaatkan pematang tambak. Permukaannya berupa tanah dan rerumputan tidak bisa dilewati ketika musim hujan.
            Suparno, seorang petani di kawasan itu, mengatakan, tanah pematang tersebut lembek. Ketika terkena hujan, berubah becek. Kendaraan maupun sepeda angin yang memaksa lewat bisa terpeleset dan terjatuh di tambak yang terhampar di samping kanan dan kiri jalan. “Menawi ketiga, marginipun nembe saged dilewati (Kalau musim kemarau, jalannya baru bisa dilewati, Red),” tutur dia.

            Apalagi, kala malam, jalan tersebut gelap gulita. Tidak ada satu penerangan pun di sana. Meski demikian, di jalan itu jarang, bahkan tidak pernah ada tindak kriminal. Sebab, akses tersebut memang tidak pernah dilewati. (mtn)

Tulisan Ini dimuat di Majalah Derap Desa Edisi, 88 Februari 2015