Monday 1 December 2014

Geliat Desa Seribu Bunga

=Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kota Batu

            Ada beragam sebutan yang disandang beberapa daerah. Sebutan itu kadangkala mempertegas keberadaannya, seperti Desa Seribu Bunga yang disematkan untuk Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kota Batu. Disebut demikian, karena nyatanya di desa tersebut tersebar ribuan jenis bunga warna-warni. Seperti apakah kondisinya?
            Desa Seribu Bunga, tidak lagi hanya ada dalam cerita fiksi atau dongeng. Adalah Desa Sidomulyo, yang benar-benar ditumbuhi lebih dari seribu jenis bunga. Desa tersebut juga tampak segar, asri, hijau dan berwarna-warni oleh mekarnya kembang sepanjang tahun. Itu berbeda dengan daerah kebanyakan di Jawa Timur, yang hingga Bulan November masih ada yang kering.
            Sidomulyo adalah desa yang terletak di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan suhu berkisar 18-23 °C. Tanahnya pun relatif subur. Lantaran tanah subur inilah berbagai macam tanaman, terutama bunga bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Wajar bila Sidomulyo dijuluki sebagai Desa Seribu Bunga lantaran beragam macam bunga tumbuh di sana.

            “Bunga memang menjadi ikon desa kami. Lebih dari seribu jenis bunga ada di Sidomulyo,” kata kepala desa (Kades) Sidomulyo, Suharto. Hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh seluruh warga Sidomulyo. Mereka berlomba-lomba membudidayakan berbagai macam jenis bunga. Mulai dari mawar, melati, teratai, dan berbagai macam jenis lainnya.
            Tak hanya pekarangan, kebun, halaman rumah atau tepi jalan, sawah pun mereka tanami bunga. Karena dari bungalah income itu didapat. Data yang diterima Derap Desa, dari jumlah penduduk sekitar 7.649 jiwa, 90 persen di antaranya adalah petani bunga.
            Kades Suharto tak mengelak jika kehidupan warganya sangat bergantung pada bunga. Karena selain menjadi petani bunga, warga Sidomulyo juga menjadi pedagang bunga dan tengkulak bunga. Itu bisa dilihat dari kondisi sepanjang jalan protokol Desa Sidomulyo, yang dipenuhi kios dan toko bunga.
            Kios-kios tersebut tiap hari didatangi pembeli dari berbagai daerah. Harganya pun variatif dan relatif murah, mulai dari Rp 500 perbatang hingga ratusan ribu rupiah untuk bunga-bunga hias dengan kualitas nomor wahid. Selain dijual di kawasan Malang Raya, bunga-bunga Sidomulyo juga dikirim ke luar kota seperti Kediri, Surabaya, dan kota di luar Jawa Timur.
            Bahkan, daerah luar Jawa, seperti Bali, Kalimantan, dan Sumatera termasuk menjadi pasar bunga-bunga hasil tanah Desa Sidomulyo. “Setiap dua hari sekali saya kirim bunga ke Kediri, Surabaya dan kota lain di Jatim. Kalau luar pulau seperti Sumatera dan Kalimantan, bergantung pesanan. Tapi sekali kirim bisa lebih dua truk,” kata Ahmad Syahroni, salah satu tengkulak bunga Desa Sidomulyo.

Sejak Zaman Belanda
            Keberadaan Desa Sidomulyo sebagai desa bunga sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Bahkan, semasa Kolonial Belanda, desa itu sudah terkenal sebagai desa yang memiliki potensi alam yang cocok untuk tanaman bunga. “Bertani bunga itu sudah jadi warisan nenek moyang warga desa sini. Karena sejak kecil kami memang diajari bertani bunga,” cerita Suharto.

            Seakan tak ingin kehilangan potensi alam yang cukup bernilai, Pemkot Batu sejak tahun 2012 memberikan perhatian cukup spesial terhadap Desa Sidomulyo. Kala itu, berbekal dana Rp 2 miliar dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Walikota Batu, Eddy Rumpoko merintis Desa Sidomulyo menjadi Desa Wisata Bunga. Hal itu
mendapat sambutan positif dari banyak pihak.
            Tak hanya warga Desa Sidomulyo, warga dari luar daerah ikut bergembira dengan adanya Desa Wisata Bunga. Sejak saat itu, banyak wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia berbondong-bondong mendatangi Sidomulyo. Mereka datang tak sekadar berwisata, tetapi juga belanja bunga sambil menambah pengetahuan seputar budi daya bunga.
            Meski para wisatawan datang tidak untuk membeli bunga, para petani bunga Sidomulyo tak masalah. Bahkan, ketika ada salah satu wisatawan yang bertanya tentang budi daya bunga, mereka dengan senang hati menjelaskannya atau bahkan memberi contoh prosesnya.
            “Kami memang petani dan pedagang bunga, tapi kami sangat senang bisa membantu orang. Apalagi mereka ingin tahu tentang cara menanam bunga yang baik,” kata Sukadi, salah satu petani dan pedagang bunga di Desa Sidomulyo. (mtn)

Data Desa
Kepala Desa                         : Drs Suharto
Sekdes                                   : Hermanto
Kaur Pemerintahan           : Suyanto
Kaur Pembangunan          : Sugianto
Kaur Kesra                            : M Ismail
Kaur Keuangan                   : Misnu
Kaur Umum                         : Hadi Suyitno
Kasun Tinjumoyo               : Suwarnito
Kasun Tonggolari               : Juma’ali
Kasun Sukorembug           : Usman Imron
Jumlah Penduduk              : 7.649 Jiwa (2.206 KK)
Luas Wilayah                       : 270,821 Ha
Batas Desa
            -Utara                        : Kecamatan Bumiaji
            -Timur                       : Kecamatan Bumiaji
            -Selatan                     : Kelurahan Sisir
            -Barat                                    : Desa Sumber Rejo

Ibu Rumah Tangga Lebih Berdaya
            Berbicara Desa Sidomulyo, tak hanya tentang panorama alamnya yang indah dengan berbagai macam bunga. Tetapi juga tentang masyarakat, terutama kaum perempuan dan ibu rumah tangga, yang memiliki wawasan tinggi. Mereka yang sehari-hari menjadi petani bunga atau ibu rumah tangga, ternyata tidak kalah dari wanita lain yang berpendidikan tinggi. Mereka mampu dengan luwes berbicara tentang isu-isu terbaru baik politik, hukum, atau HAM. Bahkan tak jarang dari mereka yang hafal undang-undang di luar kepala.
            Adalah Sekolah Perempuan (SP) Batu yang membuat para perempuan ini berwawasan tinggi dan melek informasi. SP Batu yang berpusat di Desa Sidomulyo berdiri sejak 23 Agustus 2013. Di tahun pertama berdiri, sekolah tersebut mendapatkan respon positif dari masyarakat. Terbukti, saat pertama kali dibuka, SP Batu langsung mendapatkan 130 orang siswa. Mereka tidak hanya dari Desa Sidomulyo, tetapi dari desa tetangga seperti Gunungsari, Sumberrejo, Bulukerto, dan Kelurahan Sisir.
            Melihat respon masyarakat yang cukup baik, Siti Zulaikah, Koordinator SP Batu sangat gembira. Bahkan, ia tidak menyangka jumlah peserta yang datang kala itu melebihi perkiraannya. “Waktu itu kami hanya menargetkan 50 orang dengan asumsi dua kelas. Tapi ternyata yang daftar 130 orang. Jadi kami harus membagi menjadi empat kelas,” cerita Yuli, sapaan akrab Siti Zulaikah.
            Lantaran mayoritas siswanya ibu rumah tangga, maka waktu pembelajaran menyesuaikan kegiatan mereka. Waktunya dimulai dari jam 13.00 WIB hingga jam 15.00 WIB, yang rutin dilaksanakan setiap Senin hingga Kamis pada minggu pertama hingga minggu ketiga.
            “Waktu ini dipilih karena pada umumnya masyarakat selesai bekerja pada jam satu. Kemudian jam tiga biasanya ada kegiatan desa,” imbuh Rr Dinna Soertia Perwitasari, salah seorang Pengurus SP Batu yang menyediakan saran pembelajaran sekaligus kantor sekretariat SP di rumahnya.
            Soal materi, SP Batu membagi materinya menjadi 60 persen pengetahuan dan 40 persen keterampilan. Materi itu merujuk pada kebutuhan dan pengalaman perempuan yang bersifat praktis dan strategis. Tujuannya, membangun dan memperkuat kepemimpinan perempuan di pedesaan.
            Setelah satu tahun berjalan, SP Batu kian dikenal di kalangan masyarakat luas. Di tahun keduanya ini, ada 150 orang terdaftar menjadi siswa. Bahkan, Kades Sidomulyo, Suharto, terang-terangan siap memberikan fasilitas yang dibutuhkan. Karena kegiatannya sangat membantu kemaslahatan warga desa. “Kegiatan mereka sangat membantu program Pemdes dan PKK. Mereka membantu kami memberdayakan perempuan,” tuturnya. (mtn)

Suharto, Kades Sidomulyo
Gali Ikon, Fasilitasi Kebutuhan Masyarakat
            Desa Sidomulyo memang dianugerahi potensi alam yang berlimpah. Panorama yang indah, tanah yang subur, dan udara yang sejuk membuat Desa Sidomulyo memiliki berbagai macam kelebihan. Selain lahan yang mampu menghasilkan berbagai tumbuhan, desa tersebut seringkali menjadi destinasi wisata.
            Sadar akan berlimpahnya potensi yang dimiliki desanya, Kades Sidomulyo, Suharto bertekad menjaga dan melestarikan potensinya. Semenjak dilantik menjadi Kepala Desa Sidomulyo pada November 2013 lalu, beberapa program dia jalankan sebagai upaya mempertahankan pertanian bunga yang menjadi ikon desa.
            Hal ini dilakukan lantaran dia sadar meski saat ini bunga sudah menjadi ikon utama tetap perlu dijaga dan dilestarikan. Karena bagaimana pun setiap sesuatu perlu dijaga dan dilestarikan agar tetap eksis dan tidak hilang ditelan waktu. Apalagi, mayoritas warga Desa Sidomulyo menggantungkan kehidupan mereka pada bunga.
            “Saya dan perangkat desa yang lain siap memfasilitasi kebutuhan masyarakat. Terutama yang ada kaitannya dengan pertanian bunga. Karena bunga ini sudah sangat khas dengan desa ini, jadi jangan sampai hilang,” kata Suharto.
            Ia berinisiatif menyewakan tanah kas desa kepada para petani agar digunakan sebagai lahan pertanian bunga. Tidak hanya itu, pihaknya meminta perangkat desa yang tanah bengkoknya tidak digunakan agar disewakan ke petani yang membutuhkan. Karena Desa Sidomulyo memang tidak memiliki lahan luas untuk pertanian.
            Meski begitu, dengan lahan cukup sempit dengan luas hanya 100 meter persegi hingga 200 meter persegi, sudah bisa mencukupi kehidupan satu keluarga. “Karena desa memiliki tanah yang subur dan cocok untuk pertanian bunga,” papar pria kelahiran 16 Oktober 1966 ini.
            Tidak hanya petani bunga yang mendapat perhatian, keberadaan Sekolah Perempuan (SP) Batu di Dusun Sukorembug juga tak luput dari perhatiannya. Ia menilai, SP Batu terus berlanjut, bukan tidak mungkin SP Batu menjadi ikon baru Desa Sidomulyo. Apalagi SP Batu sudah mengangkat derajat wanita Sidumulyo dan sekitarnya, satu tingkah lebih tinggi. (mtn)

Data Diri
Nama                         : Drs Suharto
Tetala                         : Batu, 16 Oktober 1966
Istri                             : Nasuhin Suharto
Anak                          : 2 (dua) orang
Cucu                           : 2 (dua) orang

Penddidikan Terakhir       : S-1 IKIP Budi Utomo Malang

Tulisan ini dimuat di Majalah Derap Desa Edisi 86, Desember 2014


Candi Menara Yang Istimewa

=Situs Candi Singosari

            Singosari adalah sebuah kerajaan yang menguasai Jawa sebelum Majapahit. Kerajaan itu lebih tersohor juga karena kisah Ken Arok dan Ken Dedes. Meski begitu, jangan lupakan Candi Singosari, yang memiliki hubungan erat dengan sejarah Kerajaan Singosari.
            Bila berkunjung ke Malang, tentu tidak lengkap jika tidak mampir di kompleks pariwisata purbakala di Kecamatan Singosari. Di kompleks tersebut banyak situs peninggalan Kerajaan Singosari yang masih utuh hingga saat ini. Salah satu yang paling banyak dikunjungi adalah Candi Singosari.
            Candi Singosari terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Candi ini, menurut Soetikno, penjaga situs Candi Singosari, ditemukan pada sekitar awal abad 18 (tahun 1800-1850) yang kemudian oleh orang Belanda diberi nama atau sebutan Candi Menara. 
            Pemberian nama tersebut disebabkan bentuknya yang menyerupai menara. Sempat juga diberi nama Candi Cella oleh seorang ahli purbakala bangsa Eropa dengan berpedoman adanya empat buah celah pada dinding-dinding di bagian tubuhnya.

            Menurut laporan W. Van Schmid yang mengunjungi candi ini pada tahun 1856, penduduk setempat menamakan candi itu dengan Candi Cungkup. “Akhirnya nama yang hingga sekarang dipakai adalah Candi Singosari karena letaknya di Singosari. Ada pula sebagian orang menyebutnya dengan Candi Renggo karena letaknya di Desa Candirenggo,” kata Soetikno.
            Menurut laporan tertulis dari para pengunjung Candi Singosari dari tahun 1803 sampai 1939, dikatakan, Candi Singosari merupakan kompleks percandian yang luas. Di dalam kompleks tersebut terdapat tujuh buah bangunan candi yang sudah runtuh dan banyak arca berserakan di sana-sini. Salah satu dari tujuh candi yang dapat diselamatkan dari kemusnahan adalah Candi Singosari.
            Sayangnya, arca-arca yang terdapat di kompleks Candi Singosari kala itu banyak yang dibawa ke Belanda. Sedangkan arca-arca yang saat ini berada di halaman Candi Singosari, berasal dari candi yang sudah musnah. Bentuk bangunan Candi Singosari, cukup istimewa. Karena candi tersebut seolah-olah mempunyai dua tingkatan.
            Lazimnya, bilik-bilik candi berada pada bagian badan candi, namun pada Candi Singosari justru terdapat pada kaki candi. Bilik-bilik tersebut pada awalnya juga terdapat arca di dalamnya yakni di sebelah utara berisi arca Durgamahisasuramardhini, sebelah timur berisi arca Ganesha dan di bagian selatan terdapat arca Resi Guru yang biasa terkenal dengan sebutan Resi Agastya.
            “Saat ini hanya tinggal arca Resi Agastya. Arca lainnya sudah dibawa ke Leiden, Belanda. Alasan mengapa arca resi Agastya tidak dibawa serta ke Belanda adalah mungkin karena kondisinya yang sudah rusak parah, sehingga tidak layak dibawa sebagai hadiah kepada penguasa negeri Belanda, pada saat itu,” paparnya.
            Kecuali itu, ada hal lain yang menarik diamati pada Candi Singosari. Menurut Syakir Hidayat, Mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang (UM), hal tersebut adalah hiasan candi. Umumnya bangunan candi dihias dengan hiasan yang rata pada seluruh badan atau bagian candi. Pada Candi Singosari tidak terdapat hal yang demikian. Hiasan Candi Singosari tidak seluruhnya diselesaikan.
            “Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Candi Singosari dahulu belum selesai dikerjakan tapi kemudian ditinggalkan,” paparnya ketika menyambangi Candi Singosari bersama Derap Desa.
            Syakir bercerita, sebab-sebab ditinggalkannya candi tersebut berkaitan erat dengan adanya peperangan yang terjadi pada sekitar tahun 1292. Peperangan antara Raja Jayakatwang dari kerajaan Gelang-gelang dengan Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari, yang menghancurkan Kerajaan Singosari.
            Raja Kertanegara beserta pengikutnya dibunuh.  Diduga, karena masa kehancuran (pralaya) Kerajaan Singosari itulah, maka Candi Singosari tidak terselesaikan dan akhirnya terbengkalai. Selain itu, di halaman Candi Singosari masih terdapat beberapa arca yang tersisa, beberapa di antaranya berupa tubuh dewa/dewi meskipun bisa dibilang tidak utuh lagi.
            Bahkan terdapat satu arca Dewi Parwati yang memiliki bagian kepala yang terlihat ‘aneh’. Tampaknya bagian tersebut bukan merupakan kepala arca yang sebenarnya. Karena kepala arca yang sebenarnya diduga putus dan tidak ditemukan lagi. (mtn)

Bersejarah dan Favorit Anak Muda
            Situs Candi Singosari menjadi destinasi wisata yang selayaknya  dikunjungi setiap orang Indonesia. Tidak hanya menjadi tempat wisata bersejarah, Candi Singosari seperti menjadi tempat wajib para kawula muda untuk bersantai di akhir pekan.
            Hal itu terbukti ketika Derap Desa singgah ke Candi Singosari, akhir Agustus 2014 lalu. Di halaman candi terlihat beberapa muda-mudi yang bercengkrama dan bercanda. Sambil berfoto-foto mereka terlihat menikmati sore di akhir pekan yang terasa sejuk di Kabupaten Malang. “Saya dan teman-teman memang sering datang ke sini. Biasanya cuma nongkrong dan foto-foto,” ungkap Arofi, siswa MA Al Maarif Singosari Malang.
            Menurut Soetikno, penjaga situs Candi Singosari, warga sekitar candi memang banyak yang sering mengunjungi candi tersebut. Pasalnya ada sebagian masyarakat yang masih melakukan ritual.  Kecuali itu, di akhir pekan tidak jarang para pemuda yang berbondong-bondong datang untuk berfoto bersama teman-temannya.

            “Kalau anak-anak muda itu biasanya datang ke sini foto-foto. Kadang di sini juga dijadikan tempat pemotretan majalah juga,” katanya. Tidak hanya dari daerah Malang saja, para pengunjung berdatangan dari luar Malang dan Jawa Timur. Bahkan, tak jarang turis mancanegara yang berkunjung ke candi peninggalan Kerajaan Singosari itu. (mtn)  

Tulisan Ini dimuat di Majalah Derap Desa Edisi 86, Desember 2014