Thursday 7 August 2014

‘Saja Berdjoang, dengan Tjarakoe, dengan Biolakoe’


Makam W.R. Soepratman, Pencipta Lagu Indonesia Raya

Apa yang paling berarti dari seorang musisi jika bukan lagu ciptaannya? W.R. Soepratman menjadi satu-satunya musisi Indonesia paling legendaris. Lagu ciptaanya memang tidak meraih piala citra atau semacamnya. Melainkan melalui lagunyalah Indonesia mendapatkan kemerdekaan.
Sore itu terik matahari di langit Surabaya masih terasa cukup menyengat. Sore itu, bersama beberapa belas pemuda asal Madura, DD mendapatkan kesempatan untuk berziarah ke makam musisi paling legendaris di Indonesia yang terdapat di Jl Kenjeran Surabaya ini. Di sini, peziarah tidak hanya mendapatkan pengalaman religiusnya, tetapi juga akan mendapat tambahan pengetahuan tentang riwayat hidup pencipta lagu kebangsaan Indonesia ini.
“Bagi kami W.R. Soepratman itu tidak hanya sekedar seorang pahlawan kemerdekaan saja. Tapi juga panutan yang mengajarkan bagaimana kita berjuang. Beliau mengajarkan kalau berjuang mendapatkan kemerdekaan itu juga bisa lewat musik,” terang Dzakir Ahmad, ketua rombongan pemuda asal Madura ini.  
Memang, di antara sederet pahlawan pejuang kemerdekaan di masa pergerakan tersebut W.R.Soepratman memiliki perbedaan dengan para pahlawan lainnya. Jika pahlawan lain melawan penjajah melalui perjuangan fisik, diplomatik dan tekanan politik, W.R. Soeprtaman berjuang lebih mengandalkan ketajaman dari gesekan biolanya yang mampu membakar semangat perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah ketika itu.

Di antara improvisasi lagu lewat gesekan biolanya yang kemudian menjadi sebuah karya spektakuler dan membahana di seluruh Nusantara sepanjang masa adalah Lagu Indonesia Raya, yang hingga kini menjadi lagu kebangsaan Indonesia. Ketenaran lagu ini bukan hanya dalam setiap peristiwa bersejarah di dalam negeri saja. Tetapi telah diakui manca negara karena syairnya yang mengandung semangat heroisme perjuangan bangsa Indonesia. Lewat daya ciptanya W.R. Soepratman telah membuktikan bahwa perjuangan bisa dilalui lewat sudut mana saja termasuk melalui musik.
Guru, Musisi Jazz, dan Wartawan
Menurut prasasti yang terdapat di kompleks makamnya, pemilik nama lengkap Wage Rudolf Soepratman, lahir pada hari Senin Wage tanggal 9. Maret 1903 di Jatinegara, Jakarta. Di masa kecilnya ia diasuh oleh kakak iparnya bernama W.M. Van Eldik (Sastrornihardjo). Soepratman semasa kecilnya tergolong siswa paling cerdas di sekolahnya namun ia mulai belajar memetik gitar dan menggesek biola ketika diajak kakak iparnya hijrah ke Makasar, Sulawesi Selatan.
Di kota ini ia masuk sekolah guru. Setelah lulus sekolah itu ia langsung diangkat menjadi guru. Namun, meski ia Seorang guru dan mengajar murid-muridnya di sekolah umum, ia pantang meninggalkan musik untuk mengekspresikan hobinya. Guna menyalurkan hobi musiknya di Makassar ia mendirikan kelompok musik Jazz, namanya Black And White, di bawah binaan W.M. Van Eldik, sampai tahun 1924. Melalui musik jazz inilah W.R. Soepratman mulai mencipta lagu-lagu perjuangan yang tersohor dengan ritme heroiknya itu.
Sebagai sosok pejuang yang gigih untuk kemerdekaan bangsanya ia berjuang tidak hanya mealalui musik, tetapi juga terjun langsung ke dunia jurnalistik. Hal ini dapat dibuktikan, pada tahun 1924 ia menjadi wartawan surat kabar Kaoem Moeda di Bandung, kemudian tahun 1926 menjadi wartawan Sin Poo di Jakarta. Semasa menjadi wartawan ia sangat rajin mengunjungi rapat-rapat pergerakan nasional di Gedung Pertemuan Gang Kenari Jakarta.
Sejak itu ia mulai mencipta berbagai jenis lagu perjuangan, termasuk lagu Indonesia Raya yang diselesaikan tahun 1928. Sejak itu pula W.R. Soepratman dikejarkejar polisi pemerintah Hindia Belanda. Penghargaan terakhir karya ciptanya pada Kongres Pemuda di Jakarta, 27-28 Oktober 1928. Waktu itu diputuskan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Setelah itu pada tahun 1930 W.R. Soepratman dibawa saudaranya pindah ke Surabaya dalam kondisi sakit. Meski dalam kondisi sakit ia pantang berhenti berjuang untuk kemerdekaan bangsanya.
Dalam prasasti tersebut juga dituliskan, Pada tanggal 7 Agustus 1938, ketika memimpin Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan menyiarkan lagu Mata Hari Terbit di Radio Nirom Jl. Embong Malang Surabaya, ia ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Kalisosok Surabaya. Pada Rabu Wage, 17 Agustus 1938, W.R. Soepratman meninggal dunia di Jl. Mangga No 21 Surabaya tanpa istri dan anak karena ia belum menikah. Ia dimakamkan secara Islam di Makam Umum Kapasan, Jl. Kenjeran Surabaya.
“Nasipkoe soedah begini. Inilah yang di soekai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Biar saja meninggal, saja iclas. Saja toh soedah beramal, berdjoang, dengan tjarakoe, dengan biolakoe. Saja yakin Indonesia pasti merdeka,” begitulah pesan terakhir W.R. Soepratman sebelum meninggal sebagaimana tercantum dalam prasasti di kompleks makamnya. (mtn)

Tulisan ini dimuat di Majalah Derap Desa, Edisi 82 Agustus 2014


Tak lagi Bergantung Pada Garam


Desa Gersik Putih, Kec. Gapura, Sumenep

Madura dikenal sebagai pulau garam. Namun tidak semua orang tahu tentang kampong buje (kampung garam), yakni desa pemasok garam di Madura. Salah satunya adalah Desa Gersik Putih, Kec. Gapura, Sumenep.
Sore itu matahari sedikit tertutup awan. Deretan tambak garam yang berada di samping jalan terlihat sepi. Hanya ada satu dua orang yang melewati tanggul-tanggul pembatasnya. Di sana, tak sedikit pun terdapat tanda-tanda butiran putih kecil pertanda air laut sudah air garam muncul. Yang tampak hanya air yang memantulkan cahaya matahari yang mulai berwarna oranye.
“Memang sekarang tidak akan ada garam di tambak-tambak ini. Karena sekarang bukan musimnya garam,” tutur Tabroni, salah satu warga yang menemani Derap Desa berkeliling tambak dan kampung tersebut.
Apalagi, saat itu masih musim hujan. Artinya, tidak ada satu pun petani yang menggarap lahan mereka untuk bertani garam. Sebaliknya tambak-tambak yang mereka miliki lebih banyak digunakan sebagai tempat memelihara ikan, seperti ikan bandeng dan ikan mujair. Hasilnya pun tak kalah dengan hasil bertani garam. Bahkan melebihi.
Sebenarnya, banyak yang menjuluki desanya itu sebagai Kampong Buje, atau dalam bahasa Indonesia artinya Kampung Garam. Julukan ini muncul lantaran desa Gersik Putih ini merupakan salah satu pemasok garam terbesar di Sumenep setelah desa Pinggir Papas dan Kalianget. Dari luas desa luas 4.848.409 m2 hampir separuh diantaranya merupakan lahan tambak garam.
Tambak garam yang sangat luas ini pun dimanfaatkan masyarakat dengan baik. Sehingga tak jarang penduduk desa Gersik Putih ini menjadi petani garam dan bekerja di PT Garam. Tercatat, dari jumlah penduduk sekitar 1500 jiwa, 30 persen diantaranya menjadi tenaga kerja untuk PT Garam, baik yang bekerja sebagai penggarap lahan ataupun bekerja sebagai mandor atau tim kantor.
Proses produksi garam sebenarnya hanya bisa dilakukan pada musim kemarau saja. Namun, cara produksinya yang sederhana menjadi penyebab warga desa ini memilih menjadi petani garam. Hasilnya pun tidak bisa dibilang sedikit. Hanya saja, kemudahan tersebut tidak lantas membuat petani garam menggantungkan seratus persen hidup mereka pada garam. “Garam itu kan musiman, pas musim kemarau saja. Di luar itu ya sudah habis. Kami cari garapan lainnya,” terang Jamaluddin, salah salah seorang petani garam di desa itu.

Menurut Jamaluddin, ketergantungan pertanian garam pada cuaca menjadi faktor utama banyaknya warga desa Gersik Putih yang mulai enggan bertani garam. Garam memang sangat membutuhkan terik matahari. Sedikit saja mendung saat proses penjemuran, maka jerih payah petani garam terancam sia-sia.
Tidak hanya itu, menurut As’ad, para petani garam asal Gersik Putih merasa sangat terkekang dengan adanya lahan pegaraman tersebut. Pasalnya, lahan yang berdampingan dengan lingkungan masyarakat bukanlah milik masyarakat Gersik Putih sendiri, melainkan milik perusahaan negara yaitu PT Garam. Dengan ini, hasil dari pertanian garam pun harus dibagi lagi dengan PT Garam selaku pemilik lahan. Dengan pembagian ini pun income untuk warga setempat berkurang.
Dari ini kemudian banyak petani garam mencari alternatif pekerjaan lain untuk menambah penghasilan mereka. Bagi mereka yang memiliki tambak sendiri memilih untuk menjadi petani tambak dengan memelihara ikan badeng di tambak mereka. Ada juga masyarakat yang bersedia memelihara ikan bandeng di tambak orang lain dengan sistem bagi hasil ketika panen. Pemeliharaan ikan bandeng sendiri biasa dilakukan pada musim penghujan dan berakhir pada musim kemarau. Ada juga yang memeliharanya melebihi waktu yang ditentukan atau sampai pada musim kemarau berlangsung, dengan alasan untuk lebih memperbaiki kualitas ikan yang masih kecil.
“Alhamdulillah, lumayan banyak ketika musim panen tiba, asal ikannya berkualitas bagus dan tidak begitu banyak yang mati. Biasanya, ikan-ikan bandeng yang telah dipanen akan dijual ke pasar melalui belijjhe  yang membelinya langsung di tambak panen ikan,” cerita Sagiman salah satu Petani Tambak yang juga petani Garam.
Pekerjaan alternatif  warga Gersik Putih tidak hanya petani tambak, bagi sebagian wanita yang tidak memiliki pekerjaan tetap, biasanya mereka akan mencari congcong (semacam siput kecil di pinggir pantai). Pekerjaan ini dapat memakan waktu dan tenaga yang ekstra. Karena selain harus mengumpulkan congcong sebanyak mungkin, keberadaannya pun sudah mulai berkurang. Biasanya, untuk mengumpulkan congcong sebanyak ukuran karung beras, para pencari harus menggunakan waktunya dua hingga tiga jam.
Tidak hanya itu, proses pencarian hingga penjualannya masih juga memerlukan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar lima hari. Congcong yang sudah diperoleh dari pantai kemudian akan direbus dan diambil bijinya dengan cara dicongkel, dikumpulkan, lalu dijual. Proses penjualannya masih menunggu penampung atau orang yang membutuhkan congcong itu. “Harga jual biji congcong yaitu berkisar antara Rp1.250 hingga Rp1.400 per tekaran yaitu dengan menggunakan gelas kecil sebagai takarannya,” terang Atun, seorang ibu rumah tangga yang menjadi pencari cingcong. (mtn)

Permukiman Padat, Solidaritas Kian Rekat
Pada umumnya, pemukiman di Madura menganut sistem Taneyan Lanjhang atau Halaman panjang. Taneyan Lanjhang ini merupakan halaman berbentuk memanjang dengan beberapa rumah. Rumah-rumah tersebut ditinggali oleh beberapa keluarga dengan leluhur yang sama. Kebanyakan, Taneyan Lanjhang terdapat di desa-desa di Madura terutama yang desa pelosok dan pedalaman.
Namun tidak begitu dengan pemukiman di desa Gersik Putih, kec Gapura, Sumenep. Pemukiman di desa ini justru lebih mirip perumahan atau pemukiman di kota-kota. Bukan dengan halaman memanjang, melainkan perumahan yang berdempet dengan halaman sempit dan terdapat juga beberapa gang. Pemukiman seperti ini kemudian membuat rasa persaudaraan dan solidaritas antar warga makin erat.
Salah satu contoh kongkretnya ketika adalah satu warga membangun rumah. Jika di desa lain untuk membantu si tukang bangunan perlu menyewa orang, maka di desa ini tidak begitu. Para tetangga akan datang berduyun-duyun datang membantu pembangunan rumah itu tanpa dibayar. Bahkan dari saking banyaknya yang membantu, si tukang pun tidak bekerja dengan tangannya sendiri, ia lebih seperti mandor yang memberi instruksi kepada anak buahnya.
“Tak perlu dipertanyakan lagi! Solidaritas yang ada di masyarakat Gersik Putih itu memang sangat tinggi, Lek”, tutur Haryono, sekretaris Organisasi Pemuda Gersik Putih.
Menurut Nono, begitu Haryono kerap disapa, solidaritas yang dimiliki masyarakat seakan sudah menjadi budaya. Keakraban yang dimaksud adalah sebuah proses pertemanan yang sangat lekat. Artinya, keakraban adalah hubungan yang terjalin sedemikian lekat hingga tak terpisahkan, hingga kemudian terbentuklah penggemukan terhadap solidaritas dan menjadi budaya.
Seperti budaya lainnya, solidaritas yang terjadi dan telah dianggap sebagai budaya adalah sistem yang telah mengatur dan menuntut agar keakraban antara satu individu dengan individu lain terus dipupuk layaknya sebuah budaya yang harus dilestarikan. Maka kemudian solidaritas pada dan antarmasyarakat Gersik Putih adalah sebuah budaya yang mendarah-daging dan harus diajarkan secara turun-temurun seperti kebiasaan lainnya.
“Masyarakat Gersik Putih itu masyarakat yang sangat menjunjung akan pentingnya persaudaraan dan solidaritas,” imbuhnya. (mtn)

Tulisan Ini dimuat di Majalah Derap Desa, Edisi 82 Agustus 2014