Tuesday 3 June 2014

Tetap Gagah di Usia Renta


Candi Brahu, Bejijong, Trowulan, Mojokerto

            Candi Brahu adalah salah satu bukti peninggalan Kerajaan Majapahit. Candi bertinggi 25,7 m dan lebar 20,70 m, dibangun sejak sebelum Majapahit berdiri. Candi tersebut merangkum cerita Majapahit secara lengkap dari awal hingga akhir. Hingga kini kondisinya masih tegak berdiri kukuh, tak mengenal lelah meski usia sudah renta.
            Siang itu langit sedikit mendung saat DD beserta beberapa pengurus Lembaga Adat Budaya Majapahit (LABM) tiba di perempatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Tujuannya adalah Candi Brahu, yang letaknya sekitar 5 km dari perempatan Trowulan. Konon, umur candi tersebut lebih tua dari Kerajaan Majapahit.

            Candi Brahu siang itu tampak ramai. Beberapa rombongan mengelilingi kompleks candi sambil berfoto. Salah satu rombongan yang menarik perhatian adalah siswa SDN Sidokumpul, Gresik. Di tengah gurat kelelahan, mereka tetap asyik menyimak penjelasan sejarah Candi Brahu dari pengelola.
            “Candi ini biasa dikunjungi pelajar. Terutama mereka yang ingin mempelajari sejarah Majapahit. Karena Candi Brahu ini bagian pentingnya,” tutur Agus Purwanto, Ketua Dewan Pengurus Pusat LABM. Ia lantas bercerita, Candi Brahu merupakan salah satu candi yang ada dalam lingkungan situs Trowulan Kerajaan Majapahit.
            Candi Brahu, katanya, sudah ada sebelum masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, bahkan diperkirakan juga sudah ada sebelum masa Raja Brawijaya I. Bahwa Candi Brahu merupakan candi yang paling tua dibandingkan dengan candi-candi lainnya yang ada di situs Trowulan. Candi Brahu didirikan Mpu Sindok yang sebelumnya merupakan raja Kerajaan Mataram Kuno yang ada di Jawa Tengah.
            “Hal itu dijelaskan dari nama Brahu, yang berasal dari kata Wanaru atau Warahu. Itu nama sebuah bangunan suci keagamaan yang disebutkan di dalam prasasti tembaga Alasantan yang ditemukan kira-kira 45 meter di sebelah barat Candi Brahu,” ujar Agus.
            Menurut dia, prasasti tersebut dibuat pada tahun 861 Saka atau tepatnya 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Dari penuturan prasasti itu dijelaskan, Candi Brahu yang didirikan di masa Mpu Sindok adalah candi yang usianya lebih tua dibanding candi-candi lain. Bahkan lebih tua dari Kerajaan Majapahit.
            “Pada masa Kerajaan Majapahit, Candi Brahu digunakan sebagai tempat persembahyangan atau merupakan bangunan suci yang digunakan berdoa. Hal ini dapat dilihat dari temuan-temuan di candi tersebut. Seperti beberapa benda yang jadi alat-alat upacara keagamaan, berupa alat-alat upacara dari logam,” lanjut Agus.

Sinkretisme Hindu dan Budha
            Menurut beberapa penelitian, Candi Brahu dinyatakan sebagai candi agama Budha. Anggapan ini muncul karena candi itu memiliki stupa yang menjadi ciri-ciri candi agama Budha. Bentuk Candi Brahu berbeda dibanding candi-candi lain di situs Trowulan Kerajaan Majapahit. Bentuk tubuh atau badan Candi Brahu tidak tegas persegi melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk.
            Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar. Itu memunculkan anggapan bahwa Candi Brahu didirikan bukan pada masa kerajaan Majapahit, melainkan merupakan bangunan candi yang dibangun sebelum Kerajaan Majapahit.
            Selain itu, ada anggapan lain yang menerangkan bahwa Candi Brahu merupakan candi agama Budha. Anggapan ini berdasarkan penemuan beberapa benda kuno di sekitar kompleks candi, di antaranya alat upacara dari logam, perhiasan dan benda-benda dari emas, dan arca-arca logam.
            “Benda-benda ini kemudian disebut sebagai ciri-ciri agama Budha. Karena banyak orang yang mengatakan bahwa candi Brahu merupakan candi Budha” ujar Agus Purwanto.
            Ia menambahkan, dari reliefnya, Candi Brahu merupakan gambaran sinkretisme keagamaan, antara agama Hindu dan Budha. Dengan gambaran sinkretisme itu, hingga saat ini pemeliharaan Candi Brahu dilakukan oleh kedua agama tersebut. Awalnya candi ini berfungsi sebagai tempat pembakaran raja-raja Majapahit, namun asumsi itu tidak terbukti karena tidak ditemukannya sisa–sisa abu pembakaran jenazah.
            Meskipun tidak terbukti, menurut masyarakat sekitar Candi Brahu, candi ini dulunya berfungsi sebagai tempat pembakaran jenazah Raja Brawijaya I sampai IV. Tapi, hasil penelitian yang dilakukan terhadap Candi Brahu tidak menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi sekarang sudah kosong.
            Di era sekarang, selain sebagai tempat wisata, Candi Brahu kerap digunakan sebagai tempat kegiatan budaya Majapahit, khususnya Peringatan Srada dan Ruwat Nusantara Kerajaan Majapahit. Bahkan, tak jarang juga dipakai sebagai tempat pagelaran seni budaya Majapahit. 
Prihatin di Balik Kunjungan Yang Ramai
            Candi Brahu yang berlokasi di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, selalu ramai pengunjung, terutama pada hari libur. Candi yang dulu tempat pembakaran jenazah raja Majapahit itu, dalam satu minggu dikunjungi lebih dari seribu orang.
            Pada hari libur, misalnya, pengunjung ramai berdatangan ke sana. Tidak hanya ingin mengetahui sejarah candi, namun mayoritas pengunjung juga ingin menghabiskan waktu bersama teman dan keluarga, di bawah rindangnya pepohonan yang ada di halaman candi.
            Menurut Suyono (44), salah seorang pelestari Candi Brahu dari BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) Trowulan, dalam satu minggu, jumlah pengunjung mencapai seribu orang. Pada hari-hari biasa, pengunjung didominasi pelajar yang mengadakan wisata pendidikan sejarah.
            Sedangkan pada hari libur, pengunjung dari kalangan remaja yang ingin mengisi liburan bersama teman atau kekasih. “Kebanyakan pengunjung datang karena tempatnya nyaman. Selain itu ada juga yang kagum pada bentuk dan bangunan candi,” kata Suyono.
            Tetapi di balik keasrian situs Candi Brahu, ada perjuangan besar yang dilakukan delapan juru pelestari yang sehari-hari merawat candi tersebut. Pasalnya, sampai saat ini dana operasional untuk merawat candi bersumber dari beaya parkir pengunjung.
            Dana itu, setiap bulan disisihkan untuk membiayai operasional perawatan candi. Seperti membeli bahan bakar mesin pemotong rumput, alat-alat kebersihan dan lainnya. “Kami kelola secara swadaya. Hasil parkir kami sisihkan untuk kas, sebagian lagi untuk biaya perawatan,” kata Suyono, yang sudah sembilan tahun menjadi juru rawat Candi Brahu.
            Selain itu, keusilan dan kenakalan pengunjung kerapkali membuat jengkel Suyono dan teman-temannya. Tidak sedikit pengunjung yang nekat menaiki bangunan candi, meski pihaknya sudah melarang. “Sudah kami larang, takutnya merusak bangunan. Dulu dibiarkan, malah ada yang buang sampah sembarangan, dan corat coret tembok candi,” tuturnya. 

Tulisan Ini dimuat di Majalah DERAP DESA Edisi 80 Juni 2014


Desa ‘Seribu Genteng’


=Desa Tlambah, Karang Penang, Sampang

            Di beberapa wilayah memiliki julukan masing-masing. Pacitan, misalnya, dengan sebutan Kota Seribu Gua, Banjarmasin dengan Kota Seribu Sungai dan beberapa lainnya. Nah, yang ini beda. Adalah Desa Tlambah, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang, yang dijuluki ‘Desa Seribu Genteng’.

            Berjarak sekitar 25 km dari kota Sampang, Desa Tlambah yang terletak di area dataran tinggi berbukit berada di ujung timur Kabupaten Sampang dan berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan. Memasuki wilayah tersebut, seketika pemandangan berubah merah bata. Hampir di setiap sudut desa dipenuhi jejeran genteng, baik yang sudah siap dipasarkan atau yang masih dalam proses produksi dan pematangan.
            Desa Tlambah merupakan desa produsen genteng terbesar di Madura. Berbeda dengan wilayah lainnya di Pulau Madura, Karang Penang, khususnya Desa Tlambah, memiliki struktur tanah yang istimewa. Umumnya tanah di daerah tersebut merupakan tanah liat berkualitas baik. Terutama bila dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan genteng, sehingga menghasilkan produk yang tidak mudah retak bila diproses dalam tungku pembakaran.
            Tak heran bila sebagian besar warga desa ini menggeluti usaha pembuatan genteng tanah liat. Bahan baku alami yang mereka miliki dijadikan satu kekayaan yang tak dapat ditukar dengan apa pun. Hanya berbekal keterampilan mengolah bahan baku tersebut, warga Tlambah mampu bertahan hidup. Bahkan tidak sedikit tergolong hidup berkecukupan.
            Ya, setiap orang yang melihat tumpukan tanah liat di samping rumah akan mengira sebagai tanah yang tak bernilai. Tapi tidak untuk masyarakat Desa Tlambah. Bagi mereka tanah liat adalah tanah emas. Zahir, misalnya, dengan bermodalkan tanah liat di pekarangannya, ia mampu memasarkan produk gentengnya ke seluruh Madura, Jawa bahkan luar Jawa.
            Biasanya sekali kirim pesanan, Zahir mampu memenuhi permintaan hingga 10 ribu hingga 20 ribu keping genteng. “Saya melanjutkan usaha bapak yang sudah wafat dua tahun lalu. Karena ini sudah menjadi sumber penghasilan keluarga, jadi mau tidak mau harus tetap jalan,” ujar Zahir.
            Lebih lanjut, Zahir bercerita, bapaknya, Abdul Sa’ie, malang melintang di dunia produksi genteng. Sebelum membangun usaha sendiri, bapaknya menjadi kuli di salah satu pabrik genteng milik tetangganya. Karena merasa sudah cukup memiliki modal, Sa’ie pun merintis usaha sendiri yang kemudian menjadi sumber penghasilan bagi keluarga besarnya.
            Tak hanya bapaknya, Zahir menuturkan, banyak keluarga yang lain terjun ke bisnis genteng. Salah satunya adalah Saladin, pamannya. Saladin memang tidak menjadi produsen genteng seperti kakaknya, tetapi ia menjadi pengepul yang mendistribusikan genteng hasil produksi saudara dan tetangganya ke berbagai tempat di Madura dan Pulau Jawa.
            Zahir dan Saladin adalah salah satu contoh. Bahkan hampir seluruh masyarakat Desa Tlambah menggantungkan kehidupan pada usaha genteng. Tercatat dari sekitar 9.000 jumlah penduduk, lebih dari 60 persen menggeluti bisnis jual beli genteng. Tidak melulu menjadi produsen, ada juga yang jadi pengepul, kuli, atau bahkan supir truk yang notabene menjadi satu-satunya pengangkut genteng.
            Berbeda dengan produk lokal lainnya, genteng Karang Penang tak lagi dipusingkan pemasaran. Sebab sejumlah pemilik industri genteng mengakui sudah mampu menembus areal pemasaran sampai luar kota. “Seperti ke Banyuwangi, Solo dan Probolinggo,” kata H Syamsul, warga Karang Penang, yang juga mengandalkan industri pembuatan genteng sebagai penopang hidup keluarganya. 
            Namun begitu, mereka juga masih perlu mempelajari trik dan teknik pemasaran yang lain. Terbukti kini mereka tidak hanya memikirkan bagaimana cara menghasilkan, tapi juga mulai memikirkan tentang teknik perbaikan kualitas. “Saya senang bila ada pihak yang bersedia memberi tambahan pengetahuan. Utamanya tentang teknik kemajuan kualitas,” harap H Syamsul, mewakili warga lainnya.

            Apa yang dikatakan sebagain besar warga sangat beralasan. Terlebih bila mengingat kemasan dan tampilan produk daerah lain sudah mulai bercorak warna dibanding produk lokal. “Makanya kita juga ingin bersaing,” ujar mereka serentak. 
 Tanah Liat Bagus, Keramik Pun Oke
            Struktur tanah liat yang terkandung di daerah Karang Penang merupakan anugerah bagi warga, sebagai bahan baku pembuatan genteng. Bahkan, tanah lempung di daerah itu sebenarnya dapat dikembangkan menjadi kerajinan gerabah yang tak kalah dengan daerah Kasongan, Jogjakarta.
            Namun, seiring maraknya genteng pres yang lebih modern dan banyak diminati pembeli, permintaan genteng Karang Penang cenderung menurun. Projek pembangunan gedung yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Sampang pun tak berpengaruh terhadap meningkatnya permintaan genteng tradisional tersebut.
            Sedangkan upaya pemerintah kabupaten mengalihkan usaha kerajinan genteng menjadi kerajinan keramik sangat sulit dilakukan. Pola pikir warga yang masih enggan beralih menjadi perajin gerabah menjadi kendala bagi pemerintah untuk memberikan pembinaan.
            “Dari Dinas Perindustrian Sampang sebenarnya dulu pernah bilang, tanah liat di Kecamatan Karang Penang itu tidak hanya bisa dijadikan genteng, tapi bisa dikembangkan menjadi keramik yang sangat prospektif,” kata H Fauzi, salah seorang perajin genteng Karang Penang.
            Ia mengakui, dalam beberapa tahun terakhir permintaan pasar semakin sepi. Namun, untuk mengajak perajin genteng beralih sebagai perajin keramik tidaklah mudah, karena kerajinan genteng itu sudah turun temurun dari leluhurnya. Kerajinan genteng tidak sekadar sebagai sumber penghasilan, tapi sudah menjadi tradisi keluarga.
            “Harga genteng Karang Penang sebenarnya jauh lebih murah dibandingkan genteng pabrikan. Namun, pembeli lebih suka genteng pabrikan sehingga dikhawatirkan banyak perajin genteng tradisional gulung tikar karena usahanya sepi,” kata Fauzi.
            Biaya produksi yang sangat tinggi, menurut dia, membuat nasib para perajin genteng semakin terpuruk. Ongkos mengangkut tanah liat, untuk satu kali proses pembakaran genteng, bisa mencapai lebih dari Rp 3 juta. Bahkan sampai Rp 6 juta. Sedangkan kayu bakar yang digunakan memanasi tungku membutuhkan biaya sedikitnya Rp 4,5 juta.

Tulisan ini dimuat di Majalah DERAP DESA Edisi 80 Juni 2014


Sambel Wader, ­­­Pedas Menggoda


            Sambel ikan wader, nasi putih hangat, plus lalapan. Wow, pasti menggoda selera! Ingin mencicipi? Cobalah bergeser ke sebuah kawasan Trowulan, tepatnya di sekitar Kolam Segaran Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Di sanalah kenikmatan itu didapat.
            Kolam Segaran adalah salah satu situs peninggalan Kerajaan Majapahit. Keberadaan masih utuh, meski mungkin tidak selengkap dulu. Kini di seputar kolam muncul beberapa warung sambel wader yang dijajakan warga setempat. Penikmat dan pengunjungnya datang dari berbagai daerah.

            Bahkan ada yang menyebut, samber wader merupakan salah satu peninggalan kuliner era Kerajaan Majapahit. Ada sensasi tersendiri saat mencicipi kuliner khas, yang konon bernilai historis itu. “Mau yang pedas, atau yang biasa saja?” tanya Bu Tin, pemilik salah satu warung yang ada di sekitar kolam.
            Ya, Warung Ibu Tin merupakan salah satu warung terkenal dengan sajian menu khas sambel wader. Warung ini sangat populer di kalangan masyarakat sekitar. Letaknya berdampingan dengan Museum Trowulan dan Kantor Kepala Desa Trowulan. Jadi, warung tersebut mudah ditemukan.
            Bahkan, beberapa pejabat dan artis disebut-sebut pernah singgah di warung yang berada di pinggir situs Kolam Segaran itu. Menu utama masakan yang disajikan di warung ini adalah ikan wader goreng yang diletakkan di atas sambal segar yang baru diulek.
            Nasi hangat disediakan sebagai pendamping kelezatan menu tersebut. Nasi sambel wader khas Segaran, Trowulan, memiliki citarasa yang kuat, sedap dan resep bumbu yang berbeda. Rasa pedas dan segar terpancar kuat dalam aroma dan rasa sambel.
            Kekhasan kuliner ini adalah sambalnya yang dihidangkan dalam keadaan mentah tanpa digoreng. Tidak seperti kebanyakan sambel atau bahan sambel seperti cabai, tomat, bawang merah, bawang putih, dan terasi, terlebih dahulu digoreng. Tetapi tidak untuk sambel nasi wader.
            “Bahan-bahan sambel langsung diulek begitu saja pada saat masih segar atau tanpa digoreng. Sehingga kesegaran dari rempah-rempahnya pun lebih terasa. Wis pokoke uenaklah,” ujar Ny Rukiatin—sapaan Ibu Tin—setengah berpromosi.
            Bumbu sambal mentah itu membuat rasa pedas makin terasa. Seolah-olah aroma dan rasa sambal itu menyatu. Siapa pun yang menikmati sajian nasi sambel wader Segaran, pasti dibikin ketagihan. Paduan kerenyahan ikan wader goreng plus sambal segar, makin membuat penikmatnya seakan dibuai kenikmatan sejati.
            Ikan wader, ikan-ikan kecil seukuran jari kelingking itu ditaburkan di atas cobek atau piring tanah kecil bersama sambal segar. Sebagai pendampingnya adalah lalapan, seperti irisan mentimun, daun kemangi, kubis atau lainnya.
            Yang membikin suasananya beda adalah belaian lembut angin di seputar Kolam Segaran, kian menghanyutkan suasana. Hidangan sambel wader akan lebih terasa nikmat jika ditemani segelas teh hangat, es teh atau minuman segar lainnya.
            Untuk harga, relatif masih terjangkau kantong. Bu Rukiatin mematok satu porsi sambel wader lengkap dengan nasi putih seharga Rp 14 ribu. Selain berjualan sambel wader, warung Bu Tin juga menyediakan botok lele, botok sembukan, botok tahu-tempe, botok jerohan, pepes patin, dan pepes belut. Warung milik Bu Tin buka dari pukul 08.00 WIB hingga 17.00 WIB.


Antara Pasar Senin, ‘Tanah Surga’ dan Cabe Jamu


=Desa Ketawang Karay, Kec. Ganding, Kab. Sumenep
            Letak geografis Desa Ketawang Karay, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep, memberi anugerah bagi masyarakatnya. Ketinggian tanah yang hanya 90 m DPL (di atas permukaan laut) membuat 75 persen atau hampir seluruh lahan pertanian dari luas desa 657.73 Ha, memperoleh irigasi cukup. Dua sungai yang melintasi desa hampir tak pernah kering.
            Lima dusun yakni Dusun Naga, Dusun Korca, Dusun Sobuk, Dusun Angsana, dan Dusun Mandala, tidak pernah sekalipun mengalami kekeringan. Pertanian seakan tak ada putusnya, sehingga bercocok tanam menjadi sumber utama penghasilan para warga.
            Tanah yang tak pernah kering ini membuat tanaman tumbuh subur. Petani tidak melulu fokus pada tembakau yang menjadi favorit mayoritas petani di Madura. Mereka beralih ke tanaman lain yang tidak kalah mudah proses penanaman dan pemeliharannya tetapi juga harganya jauh lebih menguntungkan ketimbang tembakau.

            Di musim penghujan, padi menjadi tanaman yang paling banyak ditemui di desa ini. Karena lahan pertanian desa hampir seluruhnya terdiri dari persawahan yang sangat cocok ditanami padi. Bahkan, tiap tahunnya petani Ketawang Karay bisa memanen padi lebih dari sekali.
            “Tanahnya ‘kan tanah sawah dan dekat sungai, jadi irigasinya mudah. Sungai-sungainya tidak pernah kering. Apalagi Sungai Kotak yang ada di Dusun Mandala. Meski musim kemarau airnya tetap mengalir. Jadi sawah di sekitarnya tidak kering,” kata Hairuddin, Kades Ketawang Karay.
            Ia menambahkan, selain padi, petani Ketawang Karay juga menanam tanaman lain seperti kelapa kopyor, dan cabe jamu. Bahkan dulu, banyaknya hasil panen kelapa Ketawang Karay membuat salah satu penduduk desa membuat industri minyak kelapa. Namun karena banyaknya minyak kelapa yang datang dari luar desa dan kualitasnya lebih baik, industri rumahan itu gulung tikar.
            Selain itu, cabe jamu juga menjadi hasil tani kedua paling menguntungkan. Tanaman yang oleh masyarakat Madura disebut ‘cabbi alas’ ini terbukti sangat menghasilkan. Betapa tidak, harga jual cabe alas yang baru panen setidaknya Rp 100 ribu per-kilo.
            “Dusun Sobuk dan Mandala penghasil cabe jamu terbanyak di desa ini. Masyarakat banyak yang mengambil keuntungan dari jual beli cabe jamu. Apalagi proses menanamnya mudah,” ujar Hairuddin.

            Ia bersyukur karena lahan pertanian yang cukup luas di desanya dibarengi dengan irigasi yang cukup. Bahkan tak jarang di antara  warganya bisa kaya lantaran jadi petani. “Banyak warga saya yang membangun rumah bagus dari hasil tani. Alhamdulillah, ini hasil dari tanah kami yang subur,” kata dia.

Pasar Buka Tiap Hari
            Desa Ketawang Karay, juga memiliki Pasar Senin. Mirip Pasar Senin Jakarta. Bedanya, Pasar Senin Jakarta berada di antara gedung-gedung menjulang, sedangkan Pasar Senin Ketawang Karay, di antara perkampungan. Pedagang dan pembeli lalu-lalang di badan jalan, membuat lalu lintas di sekitarnya tersendat bahkan kadang tak bergerak.
            Pasar Ganding tak seperti biasanya pasar kebanyakan di desa-desa Sumenep, yang kadang hanya buka sehari dalam seminggu, bahkan terkadang setengah hari. Pasar Ganding selalu buka tiap hari dalam seminggu. Diberi nama Pasar Senin karena awalnya menurut warga sekitar, pasar ini hanya buka di hari Senin.
            Seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat, Pasar Senin tidak hanya hadir di hari Senin, tapi setiap hari. Pasar Senin tidak hanya jadi tempat berbelanja warga Ketawang Karay dan Kecamatan Ganding, namun orang-orang dari luar, seperti desa-desa di Kecamatan Guluk-Guluk dan Kecamatan Pasongsongan, ikut nimbrung di sana.
            Apalagi letaknya juga strategis, berdekatan dengan desa-desa di Kecamatan Guluk-Guluk dan Pasongsongan. “Keberadaan Pasar Ganding membuat ekonomi masyarakat terkerek. Terutama yang ada di sekitar pasar,” ujar Hairuddin, Kades Ketawang Karay. 
Berkat Pasar Senin, Desa Makin Beken
            Kini, dari segi bangunan, kondisi Ketawang Karay, terutama Dusun Naga yang paling dekat dengan Pasar Ganding, sudah bagus dan tak ada satu pun rumah tidak layak huni. “Masyarakat sekitar pasar, ekonominya bisa dibilang menengah ke atas. Tak hanya rumah, kendaraan mereka pun bagus-bagus,” lanjut Hairuddin.
            Hairuddin menyatakan, meski Pasar Ganding, yang merupakan pasar kecamatan dan hasil keuangan dari karcis atau sewa kios tak sepeser pun masuk kas desa, ia tetap senang karena keberadaannya membantu Desa Ketawang Karay. “Ya paling tidak, warga desa saya ambil keuntungan dari pasar itu,” ujarnya.
            Malah ada sementara masyarakat menjuluki Ketawang Karay sebagai ‘ibukota’ Kecamatan Ganding. Betapa tidak, Ketawang Karay menjadi pusat kehidupan masyarakat di sana. Tidak hanya warga Kecamatan Ganding, namun juga masyarakat desa di Kecamatan Guluk-Guluk dan Pasongsongan, seperti Desa Prancak, Campaka, Bragung dan lainnya.
            Layaknya sebuah kota kecamatan, berbagai fasilitas dan pelayanan ada di sana, mulai pelayanan kesehatan atau Puskesmas, dengan fasilitas lengkap. Tak hanya Puskesmas, dokter yang buka praktik di rumahnya pun ada di sana. Malah, apotik sudah ada di Ketawang Karay.
            Jauhari, warga Desa Prancak, Kecamatan Pasongsongan, yang berobat di salah satu dokter di Ketawang Karay, menyatakan, sebenarnya di sekitar rumahnya ada Puskesmas. Namun dia rela menempuh jarak sekitar 30 kilometer, sebab menurutnya di Ketawang Karay fasilitas kesehatannya lebih lengkap. “Ketawang Karay itu seperti kota tapi adanya di desa,” kata Jauhari dengan logat Madura yang kental.
            Tempat hiburan untuk anak-anak pun ada di Desa Ketawang Karay. Sebut saja odong-odong. Permainan favorit anak-anak ini bisa ditemui di Ketawang Karay. “Semakin hari, desa ini semakin ramai. Banyak orang yang membuka bisnisnya di sini. Memang mereka tak dipungut dana untuk desa, tapi paling tidak ini salah satu langkah perbaikan dan pembangunan ekonomi desa,” kata Hairuddin, Kades Ketawang Karaya.
            Ia mengatakan, sekitar 50 persen warganya, yang berjumlah 4.303 jiwa, menggantungkan kehidupan dan perekonomian di Pasar Ganding. Lahan bisnis mereka pun beragam, ada yang membuka toko kelontong dan kebutuhan sehari-hari, berjualan baju, kios handphone, hingga jual daging sapi. (mtn)

Data Desa
Kepala Desa             : Hairuddin
Sekretaris Desa       : M Darus Salam
Ketua BPD                : Ach. Jufri
Jumlah Penduduk  : 4.303 Jiwa
Luas Desa                 : 657.63 Ha
Batas desa
            Utara             : Desa Campaka, Kec. Pasongsongan
            Timur             : Desa Gadu Barat, Kec. Ganding
            Selatan          : Desa Guluk-Guluk, Kec. Guluk-Guluk
            Barat              : Desa Bragung, Kec. Guluk-Guluk
                        
Tulisan ini dimuat di Majalah DERAP DESA Edisi 80 Juni 2014