Sunday 2 March 2014

Desa Batik Kondang Sejak Zaman Kerajaan


Dulu, batik dianggap sebagai pakaian kuno,  ketinggalan zaman dan identik dengan orang tua. Tapi, saat ini batik merupakan bagian dari fashion. Bahkan batik sudah tidak hanya berbentuk busana saja melainkan dalam beragam bentuk.
Bila ada kesempatan bertandang ke Madura, maka jangan lupa untuk melihat-lihat beragam batik tulis Madura. Ya, batik Madura memang memiliki daya pikat tersendiri, antara lain pada pewarnaannya yang tajam atau lebih dikenal dengan istilah ngejreng. Dalam selembar kain, misalnya, bisa muncul wama yang kontras, yang tidak mungkin ditemukan pada kain batik pedalaman ataupun pesisiran di Jawa
Di Madura, pengusaha dan perajin batik tulis sudah tersebar di berbagai penjuru di empat kabupaten. Salah satu pusat batik tulis yang perlu didatangi para pecinta batik adalah desa Pakandangan Barat, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep.
Rute untuk mencapai desa Pakandangan Barat tidaklah sulit. Karena desa yang terletak di pesisir selatan Kabupaten Sumenep ini dilalui angkutan bus antar kota. Selain itu, hampir di seluruh jalan raya akan banyak sekali ditemukan baliho dan papan nama usaha batik tulis dengan beragam bentuk.
Di desa yang terletak sekitar 16 km di selatan kota Sumenep ini, para pecinta batik akan menemukan banyak sekali macam-macam batik. Karena di desa Pakandangan Barat membatik sudah budaya yang mengakar dalam kehidupan masyarakatnya.

Menurut sejarah, desa Pakandangan Barat, Bluto, Sumenep, sudah terkenal sebagai sentra produksi batik tulis sejak zaman Belanda. Bahkan, sentra kerajinan batik tulis di desa ini sudah mulai kondang sejak Kerajaan Sumenep masih eksis hingga berakhir di bawah kekuasaan Ario Prabuwinoko pada tahun 1926-1929. Tak heran, bila motif batik buatan desa ini banyak dipengaruhi tradisi keraton. Misalnya, terlihat motif kipas yang sudah ada sejak tahun 1930-an.
Pemerintah Kabupaten sendiri sudah mempatenkan desa Pakandangan Barat sebagai sentra batik tulis di Sumenep. Tak heran jika kemudian di desa dengan penduduk sekitar 3.000 jiwa ini banyak sekali perajin batik. Bahkan yang unik, tidak jarang ada anak sekitar usia 15 tahun sudah bisa membatik cukup baik.

Beli dengan Online pun Bisa
Mungkin bagi masyarakat kota, jual beli online saat sudah sangat biasa. Tapi, bagi masyarakat pedesaan terutama masyarakat Pakandangan Barat, jual-beli online adalah sesuatu yang cukup baru.
Meski dengan pengetahuan IT yang masih seadanya, para pengusaha dan perajin batik Pakandangan Barat pun tak mau ketinggalan zaman. Mereka pun mencoba untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi sebagai alat menambah konsumen batik.

“Sekarang sudah canggih. Tinggal kirim foto batiknya, berapa jumlahnya, harganya sekian. Kami terima pesanannya. Uangnya dikirim lewat bank,” papar Zaini, salah satu pengusaha batik tulis Pakandangan Barat.
Zaini Menuturkan, saat ini mayoritas pemasaran batik Pakandangan Barat secara online. Baik melalui media jejaring sosial, instan messenger atau e-mail. Meski si pemilik usaha tak bisa menggunakan internet, anak-anak merekalah yang meng-upload dan menjual batiknya di media online.

Dari Madura Untuk Nusantara
Tersohornya batik tulis desa Pakandangan Barat membuat pemerintah kabupaten Sumenep untuk memberikan berbagai penghargaan dan bantuan terhadap para perajin batik di desa itu. Salah satu pengusaha dan perajin batik yang akrab dengan pemerintah Kabupaten Sumenep adalah Ach. Zaini, pemilik usaha batik ‘Melati.’
Zaini, begitu sapaan akrabnya, sudah menjadi perajin batik sejak usia masih dini. Ia kemudian meneruskan usaha batik turun-temurun ayahnya sejak tahun 1977. Meski begitu, ia merintis usahanya itu dari nol.
Saat ini, berkat kegigihannya, ia menjadi salah satu pengusaha batik tersukses di desanya. Karena itu, ia kemudian sering menjadi delegasi Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Sumenep dalam berbagai event dan pemeran seputar batik di luar Madura.
Pameran di kota-kota besar di Indonesia menjadi pinjakan awal Zaini memperkenalkan batiknya di luar Madura. Lantas kemudian, ia membangun relasi dengan berbagai lembaga pemerintah seperti Dinas Koperasi dan UKM Jatim, Dekranasda Jatim dan lainnya untuk mempromosikan batiknya.
Di Luar Jatim, Zaini juga memiliki langganan yang kerap kali membeli batiknya seperti Sulawesi dan Kalimantan. Hanya saja, hingga saat ini, transaksi dengan konsumen di luar Jatim masih menggunakan media elektronik seperti telepon atau online. Kecuali Jakarta, di Ibu Kota konsumen Zaini lebih banyak memesan batik melalui putra keduanya Anaz Khairunnaz yang juga menjadi designer di sana.
“Di seluruh Pulau Jawa saya punya (konsumen, red) kecuali Jawa Tengah karena di sana tempat batik,” cerita Zaini.
Yang unik, batik ‘Melatik’ milik Zaini ini tidak melulu bermotif bunga melati seperti nama usahanya. Melainkan, motif yang digunakan juga menggunakan berbagai macam identitas Sumenep seperti Pandai besi (Pandhi), Labheng Mesem (Gerbang di Karaton Sumenep), Empu Kelleng (Empu ternama kala masa kerajaan Sumenep), dan sapi sonok terlihat indah dalam bentuk lukisan batik.

Tulisan ini dimuat di Majalah DERAP DESA, Edisi 77 Maret 2014