Friday 28 October 2011

OBROLAN PENDEK SEPUTAR KULTUR HEGIMONIK

Kemarin sore ada pemandangan sangat berbeda terjadi di kampus IAIN Sunan Ampel tempat saya belajar. Pemandangan berbeda tersebut adalah apel akbar dari salah satu organisasi kampus yang memang sangat mendominasi di IAIN Sunan Ampel. Ampel akbar tersebut dilakasanakan untuk menandai pembarakatan dan dimulainya acara orientasi anggota baru mereka yang kebetulan pada tahun ini dilaksanakan secara serempak oleh setiap Fakultas di IAIN Sunan Ampel.
Menyaksikan acara apel tersebut membuat saya teringat dengan perbincangan saya dengan beberapa sahabat saya suatu malam beberapa bulan lalu di sebuah tongkrongan warung kopi. Saat itu kami membicarakan budaya senior-junior di kampus kami yang bisa dikatakan sudah masuk ke dalam ranah pembodohan atau Kultur Hegimonik.
Saat itu kami sepakat bahwa budaya senior-junior sudah terlampau parah dan melampaui batas ruang individu. Karena kami melihat sampai saat ini senior yang sudah ‘menguasai’ organisasi bisa dengan bebas mengatur dan menyuruh juniornya dalam semua hal termasuk masalah kehidupan pribadi si junior tersebut.
Di tengah-tengah obrolan tersebut, Roni, salah satu sahabat saya yang saat itu ikutan nimbrung dalam obrolan kami, menunjukkan tulisan salah satu dosennya, Chabib Mustofa yang membahas tema seputar Kultur Hegimonik. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa ada dua hal yang menurut Pak Habib—begitu Roni sering memanggil Chabib Mustofa—salah karena seharusnya tidak terjadi pada hubungan antara senior-junior. Pertama, senior dan junior dalam konteks organisasi pengkaderan memiliki wilayah perjuangan berbeda, walaupun tidak ada demarkasi tegas antara keduanya. Ungkapan “tiap zaman memiliki orang, dan tiap orang memiliki zamannya”, agaknya tepat untuk memahami “pembagian tugas” antara hubungan senior-junior.
Kurang tepat, jika senior masuk pada otoritas junior, terutama dalam hal “menentukan” pilihan politik kampus yang ‘hanya’ menjadi bagian dari hasil interpretasi perjuangan sebuah ideologi atau hubungan asmara antara lawan jenisnya. Karena hal tersebut sudah memasuki ruang pribadi yang tak seharusnya orang lain ikut campur untuk memutuskannya.
Jika junior meminta saran pada senior, maka senior wajib memberikan saran pada sang junior tanpa pretensi dan kepentingan atau ‘pemaksaaan’ bahwa junior harus seperti senior. Senior yang masih ‘cawe-cawe’ pada urusan junior semacam ini, maka dia salah tempat dan perlu untuk dibuang ke laut saja.
Kedua, perlunya rumusan relasi senior-junior. Selama ini, kita belum punya rumusan jelas dan pasti tentang apa yang menjadi kewajiban senior dan junior dalam wilayah organisasi. Senior ‘membantu’ secara moril atau materiil pada juniornya, saya pikir adalah sebuah kewajiban yang tidak perlu dibahas lagi. Alasannya, senior adalah kelompok yang sudah pada level kehidupan relatif lebih mapan dari junior. Maka wajar jika mereka (senior) membantu juniornya. Sekali lagi bantuan senior bukanlah prestasi, namun kewajaran dalam hubungan relasional yang muncul tidak secara serta-merta.
Seharusnya menurut saya, senior lebih tepat menjadikan dirinya sebagai cermin dari kehidupan masa lalu yang dibaca dari kehidupan masa kini. Dari cermin inilah junior dapat belajar sebuah proses panjang tiada akhir untuk hidup dan menghidupi orang. Maka, pertanyaan besarnya pada tiap senior adalah “Apakah anda sudah mampu menjadi cermin yang baik bagi juniornya?”. Jangan-jangan kita (senior) selama ini melakukan ‘hegemoni’ pada mereka (junior).
Tidak hanya itu, saat ini banyak mahasiswa semester atas atau senior yang merasa lebih pintar dari juniornya dalam bidang keilmuan tertentu. Sehingga terkadang jika dalam suatu forum diskusi sang senior salah menggunakan sebuah atau kalah dalam penguatan pendapat dari juniornya, ia tidak mau untuk disalahkan dan terus merasa dirinya paling benar dengan alasan agar kharismanya tak berkurang di mata juniornya. Padahal justru dengan tidak mau disalahkan seperti itu dia secara tidak langsung menunjukkan betapa bodohnya dirinya. Astagfirullah.
Dalam perjalanan pulang ke kos dari tongkrongan dan obrolan dengan sahabat-sahabat saya itu, saya teringat kata-kata tokoh idola saya, Soe Hok Gie. Dia berkata, “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.” Saya merasa teman-teman kampus saya atau mungkin saya sendiri termasuk dari kategori mahasiswa yang disebutkan Gie tersebut.
Tapi, saya tetap opitimis dan berharap adik-adik saya di kampus IAIN Sunan Ampel termasuk yang sore kemarin berangkat ke salah satu daerah wisata di Jawa Timur dalam rangka orientasi anggota baru salah satu organisasi ekstra kampus tidak menjadi mahasiswa yang hanya bisa menindas dan memerintah kaum lema saja, tidak hanya bisa membodohi adik-adik atau juniornya. Semoga mereka bisa lebih baik dari senior mereka yang sudah sepantasnya dibuang ke laut saja.
Bagi senior-senior saya yang membaca tulisan ini, saya minta maaf. Memang ini yang rasakan saat ada di kampus kita. Meski pun belum berarti sampean yang membaca tulisan ini termasuk dari senior-senior yang membodohi dan menghegimoni juniornya.
Wallahu A’lam