Friday 27 May 2011

PEREMPUAN BUNGA SAKURA

Meninggalkan kota mantra
Bermukim kesatria wajah pucat
Menyisakan sketsa rindu yang buram

Ku mulai perjalanan kata
Bersama kereta biru
Tanpa ada tujuan
Dan arah anginnya

Saat malam mendaki puncaknya
Kereta berhenti di sebuah stasiun
Peronnya berlumpur amis
Lalu semuanya meninggalkanku
Bersama kereta, tanpa suara

Aku tak pernah tau tempat ini
Hanya aromanya mirip aroma kota
Yang muncul di koran pagi tadi

“Ayo ikutlah denganku”
Katamu tiba-tiba sambil menyentuhku
Tanpa kau tau namaku
Ah, di wajahmu ku temukan bunga sakura
Dari negeri para ninja

Tak pernah aku duga
Di kota dengan bau minyak menyengat ini
Ada perempuan dengan bunga sakura di parasnya

Di kota ini, kita saling bercerita
Tentang detektif yang lebih cerdas dari Sherlock Holmes
Ah, kau membuatku enggan tuk beranjak
Meski kota ini terlalu banyak api

Tapi sekarang,
Saat kau terima banyak bingkisan raksasa
Di sudut taman tak berbunga itu
Kau menghilang, tak pernah mengirimiku seikat angin

Inginku lintasi jembatan ombak
Kembali ke gubukku
Tapi aku takut kau mencariku lagi
Sedang dua lelaki bertubuh tambun
Pemakan kertas itu
Selalu saja merogoh kantongku
Sambil lalu mengoceh tentang darah hitam
Di balik kepalamu

Malam ini, saat malaikat bersuara serak itu
Meletakkan sayapnya di kota ini
Aku ingin kau mendatangiku walau sekali
Karna ada seikat sajak yang ingin ku berikan padamu

Mei 2011


Wednesday 25 May 2011

INSOMNIA

Menjelang pesta embun
Di taman kata
Insomnia menyekapku di sudut gelap
Negara api

Tak ku temukan siapa pun di sana
Hanya perempuan berwajah malam
Bercerita tentang sungai di matanya
Yang tak pernah kering

Ada lelaki tambun
Datang bersama badai kelabu
Memberiku segelas jus jambu rasa darah
Yang katanya dirimu
Ah, tak ku temukan gula di sana tapi amis yang beringas

Tanpa aku sadari fajar telah di sampingku
Dia bersama elang putih bergincu memberitahuku
Ternyata dirimulah insomnia itu
Dan mengikatkan dengan benang sendu

Ah, kau masih seperti dulu untukku


Tuesday 17 May 2011

ELEGI LALBATTI

Rumah yang berdiri kokoh di hadapanku sekarang, sangatlah megah. Bahkan aku rasa merupakan yang paling megah dan sangat mencolok bila dibandingkan dengan rumah-rumah kecil yang nampak kumuh disekitarnya. Pada siang hari rumah itu indah sekali.
Lalbatti, demikian orang-orang menyebut rumah ini. Halamannya luas dengan banyak pepohonan berdaun rimbun yang memberikan nuansa teduh. Sebuah kolam air mancur di tengah-tengah, diapit dua patung Ganesh. Di sekelilingnya adalah rumput hijau yang menghampar bak permadani dengan aneka bunga warna-warni. Ada lily, krisan, sedap malam, mawar, dan banyak lagi macamnya. Ada juga melati yang menebar wangi ke segala penjuru, menyemak di sisi kanan dan kiri teras.
Pada malam hari Lalbatti juga tak kalah indahnya. Bahkan lebih indah lagi. Cahayanya begitu terang benderang. Seakan-akan bahan bangunan rumah itu memang ribuan bintang, atau paling tidak zamrud, safir dan mutiara. Bila lampunya dinyalakan akan terbias cahaya kelap-kelip. Merah, biru, kuning, hijau, seperti pelangi. ”Sayangnya, tak akan pernah ada pelangi di malam hari”, aku membatin.
Nyaris setiap saat dari rumah itu juga terdengar denting harpa. Bahkan suara berbagai jenis alat musik khas India. Ditingkahi suara penyanyi yang merayu bak alunan buluh perindu. Ada pula lantunan lagu-lagu yang mengalun merdu dari piringan hitam. Karenanya, aku juga orang-orang di desaku menamainya Swaarg . Benar-benar bayangan surga hadir ke dunia. Terlebih jika dibandingkan dengan rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Pemandangan yang cukup kontras bila dibandingkan dengan desa kecilku, Viraar, yang terletak beberapa kilometer dari pusat Mumbai, tempat dimana Lalbatti berada. Semua orang yang pernah singgah atau sekedar lewat, pasti mengakui dan mengagumi keindahan Labatti. Meskipun keindahannya masih sangat jauh untuk bisa menyamai keindahan Taj Mahal di tepi sungai Yamuna, Agra, yang konon merupakan persembahan cinta abadi Shah Jahan dari Dinasti Mughal, untuk istrinya Arjumand, atau Mumtaz Mahal.
Suatu waktu, saat aku dan keluargaku duduk bersama di bawah purnama, aku pernah berkata, “Alangkah indahnya Lalbatti. Aku ingin sekali masuk dan melihat-lihat apa saja yang ada di dalamnya”.
Noura adiku menimpali, ”Kalau aku ingin bermain di halamannya. Kata teman-temanku di sana ada kolam air mancurnya.”
Amma menjawab seraya membelai kepalaku lembut, “Firdaus lebih indah dari itu, sayang. Sebenar-benarnya swaarg yang insyaAllah akan kita tempati”. Surga Firdaus, itulah yang dimaksudkan Amma.
Sekali waktu Bauji pernah mengatakan padaku agar aku menghapus keingin-tahuanku tentang Lalbatti, apalagi masuk ke dalamnya. Lalu beliau memberitahuku dan Noura, bahwa Lalbatti bukan rumah yang pantas dikunjungi orang baik-baik. Sebenarnya akupun tahu dari cerita orang-orang, bahwa Lalbatti adalah sebuah rumah prostitusi yang sangat terkenal dan memang sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu.
Tapi kini aku benar-benar tengah berada di teras rumah itu. Satu hal yang tak pernah ku alami walau hanya sebatas mimpi. Meski aku ingin mengunjunginya, tapi ujaran Bauji sempat memupus keinginanku.
Ah, aku tak bisa menebak apa kata Sapna bila aku bercerita tentang kunjunganku ke ’surga’ ini. Sapna si gendut yang selalu memonyongkan bibirnya ke arahku, hanya karena makan spaghetti murahan oleh-oleh ayahnya yang seorang pedagang minyak eceran di pasar desa. Apa kata Arjun, Sunil, Gauri, Rima, dan Pinky? Bukankah aku hanya Aisha yang mereka juluki Putri Abu. Julukan yang mereka berikan karena Amma-ku hanya seorang tukang cuci, dan Bauji-ku tercinta hanya seorang buruh kasar di Chandi Chowk, sebuah pusat perbelanjaan tradisional yang cukup ramai di Mumbai.
Oh, aku ingat. Rasanya ada juga yang tidak akan menghinaku. Fathiya. Gadis manis berkerudung ikat. Dia tak pernah mengolok-olokku. Mungkin karena aku dan dia sama-sama muslim. Dibandingkan teman-temanku yang Hindu, Fathiya sangat baik. Hm, akan herankah ia bila aku ceritakan padanya tentang pengalamanku di rumah ini? Rasanya begitu. Malahan aku yang bagaikan tak percaya, karena aku datang bukan hanya untuk melihat-lihat, melainkan mencari pekerjaan, seperti yang ditawarkan Laksmi padaku seminggu yang lalu.
Aku melangkah masuk mengikuti Laksmi yang membawaku ke rumah ini sambil menyapukan pandang sekeliling. Ayunan kakiku serasa tak menjejak lantai. Mengambang. Laksmi sepertinya sudah mengenal seluk beluk rumah ini, jadi aku hanya ikut seperi kerbau dicocok hidung, kemana saja ia menyeret lenganku.
Kami berhenti di sebuah ruang besar ber-AC. Seorang wanita cantik tengah duduk membaca koran di sofa yang empuk. Sebatang rokok mengepulkan asap di bibirnya. Ia mendongak. Dandanan, pakaian dan perhiasannya membuat mataku berkunang-kunang. Gemerlapan. Kapan ya aku melihat Amma berdandan seperti dia? Tapi tak mungkin. Sangat tidak mungkin aku bisa melihat Amma seperti dia. Karena Amma-ku… ah, sudahlah. Aku datang ke rumah ini bukan untuk melukis imaji tentang Amma. Aku mencoba menepis kepiluan yang sesaat tiba-tiba menyergap hadir tanpa ku undang.
“Namesti, Shanti Bhai” Laksmi bersalam. Apakah dia pemiliknya? Shanti Bhai. Aku mencatat namanya dalam hati.
“Hm…” Wanita itu hanya berdehem. Ih, kok begitu? Tapi pandangannya berubah ketika ia melihatku. Ajeeb ? Aku tak mengerti.
“Koi mil gaya , Shanti Bhai. Mere dosti ”. Laksmi berkata setengah berbisik. Ia menggamit lenganku, dan aku memahaminya sebagai isyarat agar aku memperkenalkan diri.
“Mere nam , Aisha”, aku sedikit membungkuk. Kata Amma begitu caranya menghormat yang lebih tua. Kalau kata Bauji sih, asal sopan sudah cukup.
“Bagus, Laksmi! Temanmu ini cantik sekali. Kau cukup pintar dan jeli juga”.
Cantik? Hidungku kembang-kempis. Selama ini yang mengatakan aku cantik hanya Bauji. Katanya aku mirip Hema Malini bintang film idolanya ketika muda. Tapi kata Amma, aku seperti Aisyah binti Abu Bakar. Karena bila tersipu malu pipiku bersemu merah jambu.
“Kau sudah siap bekerja di sini?” Ia langsung berkata tanpa lebih banyak basa-basi.
“Ji. Saya siap”.
“Bawa dia ke ruangan Pooja. Dia akan lebih cantik jika bajunya diganti”, perintahnya, dengan pandangan yang seolah-olah sedang menilai seluruh penampilanku.
Laksmi membawaku ke sebuah ruangan yang lebih besar lagi dari yang tadi. Dinding kanan adalah kaca. Sedangkan di sebelah kiri lemari-lemari besar berjejer. Ruangan ini, bisa tiga kali luas rumahku. Ada banyak wanita cantik di sini. Ada yang merokok, memperbaiki dandanannya, mengepas bajunya, anehnya kebanyakan baju mereka sangat pendek. Kalaupun mereka memakai saree, tapi transparannya itu lho, minta ampun.
“Orang baru, Laksmi?”
“Ji”
“Tetanggamu?”
“Nahin, mere dosti”
Laksmi memilihkan untukku sebuah saree yang cukup ‘sopan’ dibandingkan yang lain. Tapi tetap saja aku merasa jengah. Lehernya terlalu rendah. Kedodoran lagi. Sepertinya saree itu untuk ukuran dewasa. Sedangkan aku baru tujuh belas tahun kurang dua bulan. Apalagi perawakanku kurus sekali. Lumayan, saree ini harum sekali. Berbeda dengan milik Amma yang bau asap. Amma lagi, ah….
Seorang wanita agak gendut. Mungkin dia yang bernama Pooja, mendekat dengan membawa sebuah tas kecil. Dengan isi tas itu aku dipermak. Bibirku diberi lipstick. Berat. Di kepalaku, tangan dan leherku, juga diberi perhiasan. Kemudian ia menjelaskan tugasku. Cukup mudah. Hanya mengantar minuman bagi para tamu yang tadi kulihat di ruang tengah, yag hampir seluas gedung bioskop, waktu melintas menuju ruangan Pooja. Aku harus ramah, murah senyum, sopan, lincah, dan memperlakukan para tamu dengan baik.
Beberapa saat berselang aku memulai pekerjaanku. Kagok juga awalnya. Melangkah gemulai dan anggun, melempar senyum, menyuguhkan minum, aku jadi ingat peran Aroona Irani sebagai pembantu genit dalam film Qayamat Se Qayamat Taak yang ku tonton di rumah Pinky. Satu perasaan menyusup ganjil. Pandangan tamu-tamu itu seperti menelanjangiku. Tamunya banyak sekali. Tidak seperti Bauji yang jarang dapat tamu. Paling-paling Paman Khan dan Paman Aamer. Tamu-tamu disini kebanyakan lelaki setengah tua, bahkan ku rasa ada yang sebaya kakek Ahmed tetanggaku.
“Au!” aku memekik kaget. Seorang laki-laki tambun berewokan berusaha menjawil daguku. Sebagian minuman tumpah ke kepalanya yang botak karena elakanku. Sialnya, ia masih bisa menarik ujung saree -ku dan menciumnya. “Harum”, desisnya seperti serigala. Aku tak habis pikir, kenapa tamu-tamu yang lain malah tertawa?
“Pagal! ” makiku dalam hati. Memangnya mereka tak punya anak perempuan di rumah?
“Sabar, Takur Pratabh. Dia baru hari ini kerja”. Syukurlah, Shanti Bhai tiba-tiba ada di belakangku. Aku segera beralih memberi minum pada tamu yang lain tanpa menunggu percakapannya dengan si Tambun selesai.
Hari-hari berikutnya, itulah pekerjaanku. Menjadi waitress di Lalbatti. Tamunya tak henti. Tapi aku melihat Shanti Bhai selalu tersenyum, apalagi bila ramai pengunjung. Sepertinya dia tak pernah merasakan capek.
Kalau boleh jujur, aku merasa tak nyaman bekerja disini. Ini bertentangan dengan pandangan hidupku, agamaku, nasihat orang tuaku, ... tapi aku harus bagaimana lagi? Gaji yang kudapatkan cukup lumayan untuk hidup sehari-hari bersama Noura. Walau terpaksa, ku jalani saja. Aku tak punya pilihan lain.
Lama-lama aku pun terbiasa dengan ulah para tamu. Terbiasa, maksudnya aku sudah bisa mengelak dengan sopan. Paling-paling mereka mencoba pegang tangan. Mungkin mereka mulai mengerti karena aku hanyalah pelayan. Tidak seperti gadis-gadis lain yang memang bekerja untuk menemani dan memenuhi apapun yang mereka minta dengan imbalan sejumlah uang yang diterima Shanti Bhai. Naudzubillah, semoga Allah selalu menjagaku, dan mengampuni keterpaksaanku.
***
Sebenarnya aku bukanlah penduduk asli Virar. Aku terlahir dari sebuah keluarga muslim di Ayodhya. Ayahku berasal dari Lahore. Tahun 1989 kami pindah ke desa ini karena menghindar dari kerusuhan antara pemeluk Islam dan Hindu. Islam memang agama minoritas. Pemeluknya hanya sekitar 11,41 persen dari keseluruhan penduduk India.
Orang-orang Hindu di India mengklaim masjid Babri Ayodhya yang didirikan oleh Sultan Babur dari Dinasti Mughal pada tahun 1528 sebagai milik mereka. Ini bermula dari izin Perdana Menteri Rajiv Gandhi yang mengizinkan orang Hindu mendirikan kuil disana. Kabarnya lokasi masjid adalah lokasi kelahiran Rama.
Di Viraar, orang tuaku mencoba membangun kehidupan baru. Meski tidak berkecukupan, kami hidup bahagia.
Hingga sebuah peristiwa tragis terjadi. Aku dan Esha sedang di sekolah ketika Bauji dan Amma mengalami kecelakaan. Mereka akan berkunjung ke rumah Bibi Sayeeda di Poona. Namun belumlah samapi di tempat tujuan, sebuah truk gandeng menabrak bis yang mereka tumpangi. Lima belas orang meninggal, mereka diantaranya , dan lainnya luka parah. Tak ada purnama di kanopi langit ketika jenazah mereka sampai di rumah. Esoknya, di tengah angin mousun yang menderu, mereka dikebumikan dengan cara Islam. Kami yatim piatu dalam sekejap mata.
Maka alunan symphonipun berubah elegi. Aku harus berhenti sekolah. Karena itu jalan satu-satunya untuk bertahan hidup. Aku harus bekerja, dan mengalah pada Noura untuk meneruskan cita-citanya. Bermacam-macam kerja ku coba. Buruh cuci, tukang masak, tukang sapu,... hingga Laksmi menawariku pekerjaan di Lalbatti. Katanya, ada lowongan untuk gadis muda sepertiku. Asal bukan sebagai penghibur, aku menyanggupi, yang diiyakan Laksmi.
Hampir dua bulan aku bekerja di Lalbatti. Sampai sekarang Noura belum tahu dimana aku bekerja. Aku hanya mengatakan aku hanya menjadi pelayan di sebuah toko pakaian. Selama ini aku tidak mendapatkan kesulitan berarti. Aku bekerja dari jam 1 siang dan pulang ke rumah menjelang tengah malam. Aku bersyukur karena di Lalbatti aku bisa melakukan shalat `Ashar dan Maghrib sehingga tak perlu pulang. Meski tak ada tempat khusus, aku bisa melakukannya di kamar Bibi Reshma, tukang masak di rumah itu yang sudah menganggapku sebagai anak sendiri. Mushalla tidak akan pernah ada di sana. Yang ada hanya tempat ’sembahyang’. Tempat yang ku maksud adalah sebuah altar pemujaan dengan patung Dewa Siwa. Pada hari-hari tertentu aku melihat Shanti Bhai berdoa dihadapannya dengan khusuk. Aku tak tahu, apakah prostitusi dihalalkan dalam agama hindu.
***
Pada suatu hari, aku merasa tidak enak badan. Aku memutuskan untuk tidak masuk kerja. Tadi aku sudah minta izin melalui Laksmi. Kepalaku benar-benar pusing. Pandangan berkunang-kunang bila aku melangkah, ulu hati terasa nyeri dan rasanya selalu mual dan ingin muntah.
Aku beristirahat di kamar. Tapi tak bisa memejamkan mata. Ada foto Bauji dan Amma tergantung di dinding, tersenyum manis sekali. Aku rindu.
Di bawahnya, tepatnya di atas meja kecil tempat aku menyimpan buku-buku pelajaranku dahulu, ada fotoku dan Noura.
Noura. Adikku yang cantik itu tentu sedang belajar di sekolah. Ada rasa rindu datang tiba-tiba. Sepertinya sudah lama sekali aku tidak punya waktu lama untuk berbincang dengannya. Pagi ketika aku di rumah, Ia harus berangkat sekolah. Siang ketika Ia pulang, aku sudah berangkat kerja. Malam ketika aku datang, ia sudah terlelap di kamarnya. Setelah mencium keningnya lembut, biasanya aku shalat Isya` dan langsung tidur. Begitu terus. Pun hari minggu, aku tidak libur. Bahkan hari minggu itu tamu sedang banyak-banyaknya. Shanti Bhai tidak akan mengizinkanku minta libur. Katanya sih, aku pelayan yang paling disukai di sana. Bagiku suka atau tidak, tidak terlalu penting. Asal dibayar sesuai kerjaku saja. Walau sakit, sekarang aku bersyukur karena bisa istirahat. Bekerja di Lalbatti juga sangat melelahkan.
Matahari tepat di atas rumah. Cahayanya menerobos celah atap yang bolong. Perutku terasa lapar. Tadi pagi aku tidak memasak dan hanya makan sedikit prata sisa semalam. Mencari makanan ke dapur akan sia-sia saja. Noura belum bisa memasak.
Aku paksakan diri keluar menuju warung terdekat untuk beli makanan. Disana aku banyak membeli makanan jadi. Mumpung aku di rumah, aku ingin makan bersama Noura. Sebentar lagi ia akan pulang.
Aku meletakkan makanan di meja. Sambil menunggunya aku putuskan untuk shalat dan tilawah terlebih dahulu.
Brakk! Suara gedubrak di luar menghentikan tilawahku.
Noura berdiri tegak dan menatapku tajam begitu melihatku keluar dari kamar.
“Kya hua ?” tanyaku heran. Matanya berkilat memendam amarah yang tak pernah ku temui selama ini.
“Apa yang salah, Noura? Kenapa menatap Didi begitu?” aku bertanya tak mengerti.
“Didi bohong”.
“Bohong apa?? Kamu baru pulang dan marah-marah. Didi tak mengerti”
“Didi bilang menjadi pelayan di toko. Ternyata di Lalbatti. Itu kan rumah prostitusi? Seumur-umur Bauji dan Amma tidak akan memaafkan Didi jika tahu pekerjaan Didi”. Aku benar-benar kaget dengan kalimat-kalimatnya.
“Didi tidak seperti yang kau kira, Noura. Didi memang berbohong dengan mengatakan bekerja di toko pakaian. Tapi tugas Didi benar-benar sebatas pelayan yang mengantarkan minuman. Tidak lebih”.
“Dengan membiarkan tubuh Didi disentuh lelaki-lelaki tua itu?” Noura tersenyum sinis. Tas sekolahnya dilempar begitu saja.
“Percayalah pada Didi, Noura. Semua ini pun terpaksa Didi lakukan untuk kelangsungan hidup kita. Didi tidak sekotor itu”.
“Sama saja. Didi menyaksikan maksiat itu setiap hari. Bukannya mencegah, malah sengaja menyaksikannya setiap hari”.
“Didi bisa menjaga diri”.
“Menjaga diri? Lalu siapa yang kemarin malam bersama Takur Pratabh? Sashi, anaknya adalah temanku. Tadi dia mencaci maki aku di sekolah. Dia bilang, Didi perempuan murahan. Ayahnya pulang setiap malam dengan mabuk dan menyebut-nyebut nama Didi. Ibunya sakit-sakitan”.
Rabb ! Aku tidak pernah menyangka kejadiannya akan seperti ini. Takur bernama Pratabh itu memang paling berambisi mendekatiku. Pada suatu malam ia mabuk berat. Hampir sepuluh botol minuman keras yang kuhidangkan habis ditenggaknya. Ia mencoba menarik pakaianku sehingga aku nyaris terjatuh dalam pelukannya. Untungnya aku mencoba mempertahankan keseimbangan dan nampan berisi botol dan gelas lebih dulu jatuh mengenai kepalanya yang botak. Aku segera berlari ke kamar, ganti baju dan berlari pulang. Jika Sashi anaknya adalah teman Noura, itu bukan mauku.
“Aku menyesal makan dari uang haram selama ini. Tahu begitu lebih baik Esha mati kelaparan. Aku malu, Didi. MALU PUNYA KAKAK SEORANG PE.... !”
Plakk! Aku menampar Esha sebelum ia sempat menuntaskan kalimatnya.
“Uang haram katamu? Kau akan mengatakan kakakmu seorang pelacur?”
Kata-kataku meluncur begitu saja tanpa dapat ku tahan. Aku tak pernah bisa menyangka bisa menamparnya. Tapi sakit ini terlalu menyesaki hati. Aku menyayanginya. Mencintainya setulus hatiku, dan rela berkorban apa saja untuk kebahagiannya. Tapi haruskah ini balasannya? Rabb, mere ishq ko aise na tadpayee ….
”Aku benci, Didi. AKU BENCI”. Noura menghambur ke kamarnya.
Lupa pada sakitku, aku melangkah ke luar dengan marah bercampur luka. Dukaku meruah membentuk aliran sungai di pipi tirus yang tak sempat ku hapus. Aku berjalan tak tentu arah tanpa menoleh lagi. Di depan Noura aku merasa statusku sebagai kakak tercampakkan begitu saja. Tak dihargai, apalagi dihormati. Padahal segenap kasih sayangku telah kucurahkan untuknya.
Tujhe har kushi dadhi laboon ke haseen dadhi. Mere dadhkan ko samjho? Tum bhi mujhse pyar karta hoon., Noura …
Sia-sia saja rasanya apa yang aku lakukan. Untuknya aku rela putus sekolah dan bekerja, dan untuknya pula aku menabahkan diri di Lalbatti. Meskipun benar apa yang diketahuinya tentang Lalbatti, tapi aku tidak akan pernah merelakan diriku sendiri menjadi pemuas nafsu di Lalbatti. Semua terpaksa. Tapi kenapa Noura tak bisa memahami? Tuhan, Kau tidak akan pernah mengizinkan hamba-Mu menjadi pelacur, bukan?
Saat gundah seperti ini, rindu rasanya pada Bauji dan Amma. Kalau saja Bauji dan Amma masih hidup, mungkin semua luka tak akan terasa sakit aku derita. Tapi menghadapi situasi seperti ini, bertengkar dengan adikku sendiri, maka sungguh… kelelahan kini tak hanya mendera raga, tapi juga jiwa.
Entah sudah berapa jauh aku berjalan. Senjapun mulai berganti malam.
“Hei, Aisha!” satu suara membangunkan aku dari lamunan. Fathiya.
“Mau kemana sendirian? Kau tahu kan kalau Viraar di malam hari tidak cukup aman untuk gadis secantik kamu?” Aku tersenyum. Lucu juga mendengar pertanyaannya yang beruntun.
“Aku tak tahu harus kemana”
“Lho, kenapa bisa begitu? Kau kabur dari rumah? Sejak kau berhenti sekolah kita lama tak bertemu, dan aku tak pernah mendengar kabarmu”
“Tak ada yang menarik dariku untuk kau dengar. Aku kotor, aku tak ada harganya…”
“Hei, stop! Rupanya kau sedang suntuk, Kawan. Mau ikut ke rumahku saja? Nanti kau bisa cerita gundah yang kau bawa jika itu kau rasa perlu. Daripada berjalan tak tentu arah? Barangkali aku bisa membantu. Setidaknya menjadi seorang pendengar yang baik. Main hoon na, Aisha ”
Akhirnya ku putuskan ikut Fathiya saja. Aku masih tak bisa bertemu Noura dalam keadaan seperti ini.
Di rumahnya Fathiya menjamuku. Aku teringat makanan yang kubeli tadi tadi. Orang tua Fathiya sangat ramah. Mereka nampaknya juga sangat perhatian pada Fathiya, pada Royhan adiknya, atau juga pada Iqbal, kakak Fathiya yang kuliah di Agra.
Setelah makan dan shalat, aku menceritakan semua yang kualami sejak tak bertemu dengannya. Sejak kedua orang tuaku meninggal, pekerjaanku di Lalbatti, dan pertengkaranku tadi siang dengan Noura.
“Aku tak menyalahkanmu, Aisha. Semua orang bisa saja melakukan hal yang sama jika berada di posisimu”.
“Kalau aku tak sepenuhnya bisa disalahkan, kenapa Sashi mengatakan aku pelacur? Dan adikku juga mengucapkannya padaku? Aku tidak menjual diri, Fathiya. Percayalah, aku masih Aisha yang bersih”
“Aisha, kita sama-sama muslim, kan? Maka akan lebih mudah bagiku untuk mengingatkanmu bahwa Allah melarang kita mendekati zina, apalagi melakukannya”
“Tum … kau juga menganggapku begitu?” Aku bangkit tersentak.
“Nahin . Jangan salah mengartikan kata-kataku. Kau ingat kata Ustadz Mahmood guru mengaji kita? Zina bukan hanya persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan. Ada zina panca indra, juga zina hati. Tidak melakukan zina tapi berada di sekitar lokasi timbulnya zina, juga bisa membuat kita digolongkan sebagai pelaku zina”. Aku hanya manggut-manggut mendengarkan uraian Fathiya yang panjang lebar.
“Lalu aku sebaiknya bagaimana? Di sana aku mendapatkan gaji yang cukup lumayan. Kalau aku berhenti bekerja, bagaimana kehidupan kami?”
“Tanyakan pada hati nuranimu, Aisha. Tenangkah kamu bekerja di sana? Ingatlah bagaimana sikap Noura setelah tahu pekerjaanmu. Senangkah dia?” Aku terdiam.
“Jika perkataanku ada benarnya, kenapa tidak pindah kerja saja?” Fathiya menambahkan setelah beberapa detik kami sama-sama terdiam.
“Dimana aku bisa cari kerja? Kau tahu, sekolahku saja terputus”.
“Dimana, ya? Hmmm… aku ingat. Kemarin teman Amma-ku mencari seseorang untuk menjadi penjaga tokonya. Teman Amma-ku itu muslim juga. Keturunan Pakistan. Kerjanya paruh waktu, kok. Jadi kalau kamu mau, kamu kan bisa kerja sambil meneruskan sekolah. Di Mumbai juga sih. Tapi jaraknya jauh dari Lalbatti”. mata Fathiya berbinar-binar setelah merasa telah memberi solusi terbaik atas kebingunganku.
Yup! Tanpa pikir panjang aku segera mengiyakan. Malam ini aku tertidur lelap di rumah Fathiya.
Esoknya Ia dan Ammanya mengantar aku ke rumah Zahra, nama pemilik toko itu. Benar-benar toko pakaian. Tanpa banyak basa-basi, dia setuju mempekerjakan aku di sana. Bahkan sekiranya aku tidak mempunyai tempat tinggal, aku juga boleh tinggal di paviliun rumahnya. Rabb… mere syukriya.
Menjelang `Ashar, selepas shalat Dzuhur kamipun pulang. Sesampai di rumah Fathiya aku tidak mampir dulu meski mereka menawarkan. Aku ingin segera pulang dan bertemu Noura. Pasti adikku akan senang mendengar kabar ini. Ah, semoga ia mau memaafkan kesalahan dan tamparanku kemarin.
Sore yang indah. Langit Viraar cukup cerah. Di ufuk barat berhias rona merah saga. Pasti Noura sudah ada di rumah. Aku akan datang meminta maaf padanya. Adikku sayang, hari ini Didi-mu mendapatkan pekerjaan yang halal dan insya Allah penuh berkah seperti yang kau inginkan.
Langkahku terayun ringan. Atap rumahku terlihat dari jauh. Semakin dekat. Sekilas Lalbatti melintas dalam ingatan. Cepat aku menepisnya. Langkahku semakin ku percepat. Setengah berlari aku pulang. Tak sabar ingin memeluk Noura dan menuntaskan rindu yang terpenggal karena kesalahanku selama ini.
Aku melangkah dengan hati berbunga-bunga. Senyumku terus merekah. Di perempatan jalan, seratus meter menuju rumahku, aku menyeberang tanpa menoleh kiri-kanan. Tak ku sadari, sebuah mobil melaju kencang ke arahku. Aku merasakan tubuhku membentur benda keras. Kemudian segalanya terasa begitu ringan. Ku lihat Bauji dan Amma melambai penuh cinta ke arahku, diantara kumpulan awan tipis yang berarak seperti kapas.
***


Monday 9 May 2011

DARI LERENG BROMO UNTUK INDONESIA


Tepat ketika shalat Jum’at hendak dilaksanakan pada Jum’at (15/4) lalu, sebuah bom meledak di masjid Mapolresta Cirebon, banyak jama’ah yang menjadi korban, termasuk si pengebom yang tewas seketika. Kedamaian di negeri ini sekali lagi terkoyak, setelah publik sempat ramai dengan teror bom buku yang meresahkan, kali ini tempat suci berupa masjid merah oleh darah korban yang berjatuhan.
Tapi hal itu menjadi kontras dengan pemandangan yang tersaji di sekian ratus kilometer dari tempat insiden bom bunuh diri itu. Tepatnya di desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, kerukunan dan kedamaian terasa begitu kental di daerah yang dihuni oleh masyarakat suku Tengger ini.
Berdasarkan informasi yang didapat, desa yang terletak sekitar 15 km dari Gunung Bromo ini sangat cocok menjadi pilihan untuk melihat lebih dekat bagaimana kerukunan hidup antar umat beragama yang kini semakin jarang ditemukan di negeri ber-bhinneka ini. Konon, di desa ini terdapat penganut agama Islam, Hindu, dan agama lainnya yang hidup berdampingan dan rukun.
Desa ini mempunyai luas. Dari kecamatan Sukapura sekitar 3 km. Kehidupan warga di desa yang dihuni oleh 2.823 jiwa dan terdiri dari 910 kepala keluarga ini damai sejak dari dulu meski terdiri dari latar belakang agama yang berbeda. Menurut Arjiwan Widodo yang menjadi Pak Tinggi (Kepala Desa, red) desa Sapikerep, dari warganya terdapat kurang lebih 50% beragama Muslim, Hindu 45%, dan agama lainnya seperti Kristen berjumlah sekitar 5%, mereka semua hidup rukun dan berdampingan tanpa gesekan dari zaman nenek moyang dulu. Hal ini diindikasikan terjadi karena warga di desa ini memegang kuat adat yang berlaku.
Toleransi beragama yang akhir-akhir ini banyak dipertanyakan, ternyata terlihat sangat kental di sini, contohnya ketika Idul Fitri yang menjadi hari besar bagi Muslim, tak hanya sesama muslim, tapi tetangga yang beragama lain juga turut berkunjung ke rumah tetangganya yang sedang merayakan hari besarnya, begitu juga sebaliknya. Bahkan, ketika tiba waktunya shalat bagi orang Islam dan sembahyang bagi umat Hindu, pengeras suaranya pun bergantian, jika sudah selesai adzan di masjid, maka kemudian pengeras suara milik Pura yang berbunyi.
Hal ini juga berlaku ketika ada salah seorang warga Muslim mengadakan Haul/Tahlilan keluarganya yang telah meninggal, maka si empunya hajat akan mengundang semua tetangga, baik yang seagama atau yang beragama lain.
Di desa yang mempunyai luas + 15 juta hektar ini, semangat tolong-menolong dan gotong royong melekat erat pada masyarakat meskipun berbeda, misalnya ketika terjadi perbaikan pura atau masjid, umat beragama lain turut serta membantu.
“Dari dulu memang desa ini damai, bahkan ketika selama 6 bulan gunung Bromo mengeluarkan abu vulkanik, warga desa Sapikerep santai saja, tidak ada yang unjukrasa, tidak ada yang mengungsi, karena yakin, meski tanah tidak bisa ditanami”, ujar Ngatik, Dukun Pandita, atau sering disebut juga Pak Dukun (tetua adat Tengger, red.).
Di desa ini juga perbedaan agama dalam keluarga tidak dipermasalahkan, banyak rumah yang dihuni oleh dua atau tiga macam agama, misalnya Hindu, Islam, dan Kristen. Seperti yang terjadi di keluarga Arjiwan Widodo, nenek mertuanya beragama Hindu, sedangkan dia dan anak istrinya beragama Islam. Bahkan, salah seorang putri Ngatik ada yang masuk Islam karena mengikuti agama suaminya, dan hal itu tidak menjadi soal.
“Tidak ada yang merasa keberatan dengan agama yang dianut oleh orang lain,” ungkap Noer Salim, Dewan Syura DPC NU Sukapura sekaligus pengajar TPQ di desa ini. “Karena toleransinya yang kuat, bahkan tidak jadi masalah jika anak seorang yang Hindu ikut belajar membaca al-Qur’an,” lanjutnya.
Pada awalnya, warga desa Sapikerep beragama Budha, tapi mereka hanya mengamalkan acara selamatan saja, setelah datangnya pembina agama Hindu dari Bali, kemudian warga banyak yang pindah ke agama Hindu, hingga sekarang tidak dapat ditemukan lagi warga desa Sapikerep yang beragama Budha. Namun, warga menolak jika dihubung-hubungkan atau disamakan dengan agama Hindu atau adat yang ada Bali karena memang berbeda. Mulai dari bentuk udeng (penutup kepala, red) dan baju adat sudah berbeda.
Karakteristik Suku Tengger
Dalam Kamus Budaya dan Religi Tengger yang ditulis oleh Ayu Sutarto dijelaskan bahwa Tengger adalah nama sebuah dataran tinggi yang membentang di kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Menurut orang Tengger nama ini berasal dari suku kata terakhir Rara Anteng putra Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit yang melarikan diri dan Jaka Seger anak seorang Brahmana. Kedua tokoh ini menikah dan menurunkan orang Tengger yang sekarang dikenal. Tengger juga berarti tengering budi luhur ‘tanda keluhuran budi pekerti’, yakni bahwa orang yang tinggal di kawasan ini selali bertumpu pada keluhuran budi dalam kehidupan sehari-harinya.
Tengger mempunyai luas daerah kurang lebih 40 km dan utara ke selatan; 20-30 km dan timur ke barat, di atas ketinggian antara 1000m - 3675 m. Daerah Tengger terletak pada bagian dari empat kabupaten, yaitu : Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang terluas, terletak pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo, dengan ketinggian 2392 m, dan masih aktif .Di sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m.
Sebagai salah satu suku yang ada di Indonesia, suku Tengger adalah salah satu dari sekian suku yang masih menjaga kearifan lokalnya. Berbagai macam adat-istiadat masih terjaga rapi. Salah satunya adalah upacara adat yang rutin digelar mulai setahun hingga lima tahun sekali. Yaitu Karo yang diadakan setahun sekali, Unan-unan setiap lima tahun sekali, dan Kasada yang diadakan setahun sekali (yaitu pada tanggal 15 bulan Poso/Ramadhan).
Suku Tengger mudah dikenali karena kain sarung yang mereka kenakan, atau yang biasa disebut dengan kawengan. Kawengan juga berfungsi sebagai baju penghangat dan dikenakan mulai dari berladang hingga santai.
Di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mayoritas dari mereka adalah petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul, sabit dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi, kentang, kubis, wortel, dan lain-lainnya.
Mungkin karena sifat masyarakat suku Tengger yang cinta damai, mereka bisa dengan lapang dada menerima perbedaan yang ada di sekelilingnya, termasuk perbedaan agama, dengan catatan tidak mengganggu ketentraman warga. Karena menurut cerita, dulu pernah ada seorang yang melarang warga desa yang beragama muslim untuk berdekatan atau ikut upacara adat suku Tengger yang biasa mereka lakukan, tapi hal ini tidak berlangsung lama karena masyarakat desa menolak kehadiran ajaran yang bertentangan dengan karakter warga Tengger yang cinta damai dan penuh toleransi terhadap sesama.
Bisa bayangkan bagaimana keadaan Indonesia jika warga negaranya damai dan mempunyai toleransi tinggi terhadap perbedaan laiknya warga Tengger ini, rasanya tidak berlebihan jika mendaulat desa ini sebagai daerah percontohan kerukunan antar sesama.

Note: tulisan ini hasil hunting aku, Uul, Amir dan Subaidi untuk penerbitan Tabloid SOLIDARITAS IAIN Sunan Ampel.


Tuesday 3 May 2011

Musim Beku di Kota Sajak

Selembar salju menyelimutiku

Sehabis ku selesaikan perjalanan rindu

Dari gunung pasir dan pantai cemara

 

Ada seikat rindu yang ku simpan

Di kantong kemejaku

Ingin ku berikan padamu sore itu

Namun di matamu setumpuk mendung

Berwarna jambu

Lalu ku urungkan tuk memberikannya padamu

 

Masih ku simpan rapi

Gulungan cerita

Yang pernah kita tulis di warung pinggiran

Bersama semangkok kuah kata

Yang tak lagi hangat karna kita terlalu lama bercanda

 

Mungkin kau telah melupakannya

Karna lelaki berwajah merah itu

Telah memasuki istana birumu

Dan kau pun tak pernah lagi

Menemaniku bercerita dan berpuisi

Di sudut taman tak berbunga

 

Hari ini, laut tak secair dahulu

Sungai kata tak seindah kemarin

Pelangi pun tak lagi berwarna

Musim beku telah datang

Melanda kota sajak tempat kita sering berjumpa

Hanya langit tetap indah dengan aurora

Selalu temaniku dalam gigilku

 

                        April-Mei 2011