Saturday 31 July 2010

BERAWAL DARI MIMPI UNTUK MIMPI

Mimpi. Itulah hal pertama yang sering kita bicarakan saat kita mulai merasakan keakraban di antara kita. Berawal dari kisah-kisah yang sama-sama kita baca dan kita senangi aku dan dirimu mulai saling berbagi tentang cerita-cerita itu. Hingga akhirnya aku tahu bahwa juga mempunyai keinginan yang sama denganku. Keinginan untuk bisa menjejakkan kaki di daratan tertinggi di pulau jawa. Di puncak Mahameru.
Mungkin keinginan itu biasa untukmu. Tapi untukmu sebuah hal yang sangat kebetulan mempunyai seorang teman yang mempunyai suatu keinginan yang sama yang lumayan menantang jika kita menjalaninya. Dan aku pun merasakan ada yang beda darimu ketimbang temen-temen perempuanku yang laen.
Keakraban kita pun mulai berlanjut. Suatu ketika kau bercerita padaku bahwa kau suka tentang cerita orang-orang yang hobinya adalah memecahkan segala misteri. Cerita tentang seorang detektif yang suka memecahkan kasus-kasus yang menurutku tidak terlalu masuk akal yang kita dalam bentuk gambar. Dan secara kebetulan hal itu juga adalah salah satu hobiku sejak masih kecil. Suka membaca komik detektif.
Dan sejak saat itu aku mulai melihat semua tokoh dalam cerita yang pernah kita bicarakan datang di setiap malamku bersamamu. Dan hal itu terus berulang hingga suatu malam aku tak dapat sedikit pun merasakan nikmatnya terlelap dengan pulas. Mataku tak sedikitpun mampu tertutup walau hanya sedetik. Aku dapat merasakannnya. Aku merasakan sebuah virus dengan warna merah muda telah merusak semua sistem dalam tubuhku. Ah… andai kau tau itu.
Pada awalnya aku takut untuk mengatakan semuanya padamu. Rasa takut akan keakraban yang selama ini kita jalani akan hilang gara-gara hal yang mungkin tak penting untukmu. Tapi ternyata Allah berkehendak lain. Hanya lewat tulisan yang kutaruh di salah satu jejaring sosial kau tau semuanya. Dan kita pun mulai membahas hal itu.
Saat kita membicarakan hal ini, aku pun mengerti pada dasarnya kau tak pernah menginginkan hal ini terjadi. Kau mengatakan padaku bahwa kejadian yang lalu yang membuatmu menjauh dengan beberapa orang terdekatmu. Tapi entah kenapa aku merasa suatu saat nanti kau akan sangat dekat denganku walau entah kapan itu terjadi.
Karena semua orang mempunyai keinginan dan mimpi. Kau punya keinginan dan mimpi begitu juga aku. Maka kita tak bisa memaksakan kehendak kita pada orang lain. Jika aku menginginkan sesuatu darimu sedangkan kau tidak, maka akan tidak boleh memaksamu, ataupun sebaliknya. Karena jika itu terjadi maka ego yang besar akan tumbuh dalam hati ini. Ataupun akan terlahirlah sebuah obsesi yang sangat besar yang nantinya merugikan orang lain, seperti katamu.
Ada satu hal yang seharusnya kau ketahui dariku. Mimpiku yang paling utama saat ini—setelah mimpiku untuk menjadi wartawan dan penulis besar di Negara ini—adalah mimpi untuk bisa hidup bersamamu. Menjalani semuanya denganmu. Dan menunggu usia senja kita sambil tetap bercerita tentang mimpi, bintang ataupun detektif-detektif kecil yang sering kita perbincangkan itu.
Namun, yang namanya mimpi bisa terjadi dan juga bisa tidak. Semua tergantung kepada Allah. Dia yang menentukan semuanya. Kita di dunia ini hanya bisa berharap dan menunggu serta tetap berusaha. Berharap Allah memeluk mimpi ini, seperti kata Andrea Hirata “Bermimpilah karena Tuhan memeluk mimpi-mimpimu”. Meskipun kemungkinan dari semua itu masih di bahwah 50%.
Aku berharap kau mengerti. Karena semua hal yang terjadi pada setiap orang perlu adanya pengertian antara yang satu dengan yang lain. Dan yang terakhir, jangan pernah hilangkan keakraban di antara kita. Aku ingin itu tetap ada beserta senyummu yang selalu kau berikan padaku saat kita saling bertatap.


Sunday 25 July 2010

UANG

Uang. Dilihat dari jumlah hurufnya yang hanya empat huruf tentu mudah diingat dan diucapkan. Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran utang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter yang lebih kompleks, tidak efisien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan nilai. Efisiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya akan mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan meningkatkan produktifitas dan kemakmuran.
Namun, siapa sangka uang yang telah membantu manusia untuk bertransaksi dalam sistem ekonomi telah membuat orang-orang gila. Baik gila dalam arti sesungguhnya ataupun gila yang dimaksudkan untuk perumpamaan. Saat ini banyak di sekitar kita orang-orang yang rela melakukan apapun, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang.
Tidak jarang yang menikam saudaranya sendiri hanya gara-gara uang. Seperti kasus pembunuhan yang beberapa waktu lalu saya saksikan di salah satu stasiun TV swasta, yang dalam tanyangan tersebut dijelaskan bahwa motif tersangka membunuh saudaranya hanya gara-gara harta warisan. Hanya gara-gara uang. Ada juga yang dengan rela memperjualkan agama hanya untuk mendapatkan honor atau upah atau singkatnya uang. Hal ini terjadi pada beberapa artis kita di Indonesia ini. Mereka yang beragama non-Islam berakting sebagai Muslim dan orang Muslim berakting sebagai orang non-Muslim hanya untuk satu tujuan yaitu uang. Padahal hal seperti itu bagi orang muslim yang benar-benar menganut ajaran Islam dengan sungguh-sungguh adalah salah satu ciri kufur fil ‘amal (Kafir secara perbuatan) yang termasuk dosa besar. Meskipun dengan alasan apapun.
Mereka yang seperti itu oleh orang Madura disebut dengan Biruh Matah atau dalam bahasa Indonesianya Hijau Mata. Sebuah sendiran yang ditunjukkan kepada seseorang yang di benak dan semua apa yang dia kerjakan hanya memiliki satu tujuan, yaitu uang.
Sekarang ini, segala sesuatu di Negara kita ini diukur dengan uang tanpa terkecuali. Jangankan di kota, di desa saya di pedalaman Madura uang sudah menjadi suatu ukuran. Salah satu contohnya adalah ketika masyarakat di sana mau mengurus surat-surat. Mulai dari Kartu Keluarga (KK), Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) hingga Surat Keterangan Keluarga Kurang Mampu harus ada uangnya dulu baru proses pembuatan surat-surat tersebut akan dikerjakan atau setidaknya proses akan berjalan lebih cepat. Sungguh sebuah ironi.
Tidak hanya itu, untuk mendapatkan pendidikan layak pun harus diukur dengan uang. Jika tak punya uang maka jangan berharap masuk sekolah yang fasilitas pendidikannya cukup lengkap atau bahkan tidak masuk sekolah sama sekali. Padahal saat ini sudah ada program Pemerintah wajib belajar Sembilan tahun yang semuanya sudah dibiayai oleh pemerintah. Telah banyak buktinya dari kasus seperti itu. Baru-baru ini kita mendegar sebuah kasus bunuh diri yang dilakukan seorang bocah karena dia frustasi orang tuanya tidak mampu menyekolahkannya. Kasus ini ditayangkan oleh beberapa stasiun TV swasta.
Saat orang tua anak tersebut dikonfirmasi oleh para wartawan tentang hal itu, dia menjawab meskipun saat ini sekolah sudah gratis tapi sekolah anaknya masih meminta pungutan dengan alasan keuangan buku, pembangunan dan lain-lain.
Sungguh saat ini uang telah menjadi tujuan utama kehidupan masyarakat Indonesia. Dan hal itu tidak dapat dipungkiri. Di manapun kita berpijak disitu pula kita harus berhubungan dengan uang. Di kota besar seperti Surabaya juga seperti itu. Dari makan, minum sampai buang air sekalipun harus menggunakan uang. Dan saya pun tidak memungkiri bahwa sekarang ini sangat jarang orang yang tida biruh matah karena melihat uang. Oleh karena itulah tulisan ini ada.


Tuesday 20 July 2010

ANNUQAYAH DI DADAKU

Jika boleh memplesetkan sebuah lagu, maka saya akan memplesetkan lagunya Netral yang berjudul ‘Garuda di Dadaku’ menjadi ‘Annuqayah di Dadaku’. Karena bagi saya Annuqayah tidak hanya sebagai sebuah pesantren belaka, melainkan Annuqayah bagi saya adalah orang tua dan desa kedua saya. Ya, meskipun saat ini secara adiministratif saya bukan lagi santri Annuqayah, tapi bagi saya pribadi saya tetap dan akan selalu menjadi santri Annuqayah sampai kapan pun.
Banyak sekali yang saya alami dan saya dapatkan selama enam tahun tinggal di Annuqayah, baik berupa ilmu, pengalaman, guru, sahabat dan banyak hal lainnya yang telah mewarnai hidup saya dan selalu menginspirasi saya untuk selalu menjadi lebih baik. Semua itu tidak akan pernah terlupakan.
Ada beberapa hal yang paling sering saya ingat dan saya rindukan saat ini dari Annuqayah. Yang pertama adalah sosok kiai yang paling bersahaja yang selalu sabar mengayomi santinya meskipun santrinya terkadang sering berbuat tidak sesuai yang dinginkan beliau. Yaitu KH. Ahmad Basyir AS. Sosok beliaulah yang paling saya rindukan dari Annuqayah. Betapa tidak, dengan keadaan beliau yang saat ini sudah mencapai usia senja, beliau masih mempunyai semangat yang sangat besar untuk memberikan ilmu dan pendidikan yang terbaik pada santrinya. Beliau selalu menjadi imam shalat jama’ah di Mushalla Latee atau pun mengajar Madrasah Diniyah meskipun pada saat itu juga kondisi beliau tidak cukup kuat untuk itu.
Mengingat beliau membuat mata saya seketika penuh air mata. Rasa kagum dan rasa haru bercampur dalam hati saya saat saya mengingat semua tentang beliau. Mulai dari semangatnya hingga perkataan-perkataan beliau tetap saya rasakan hingga saat ini, saat saya berada di kota Surabaya ini. Dan saya akan senantiasa selalu mendoakan beliau semoga beliau tetap kuat memberikan yang terbaik untuk santrinya dan semoga beliau diberikan pahala dan surga kelak di akhirat nanti.
Yang kedua, yang sangat saya rindukan dari Annuqayah adalah suasana religius yang tak pernah hilang. Memang, sudah sepatutnya semua pesantren identik dengan suasana religius. Tapi bagi saya suasana religius yang ada di Annuqayah sangat berbeda dengan suasana religius yang ada di pesantren-pesantren lain yang pernah saya kunjungi. Seperti Al Amin Prenduan, Al Is’af Kalaba’an atau pun Pesantren Tebuireng Jombang yang baru-baru ini saya kunjungi. Perbedaan suasana seperti juga diakui beberapa teman saya di Annuqayah yang juga pernah mengenyam pendidikan di pesantren lain.
Saya tidak dapat menjelaskan secara detail letak perbedaan suasana religius tersebut. Namun saat saya berada di Annuqayah saya merasakan sebuah ketenangan, ketentaraman dan kesejukan yang tidak pernah saya rasakan di Surabaya. Selain dari pada itu, secara tidak langsung orang-orang yang ada di sana menantang saya untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.
Yang ketiga adalah tradisi menulis yang menjadi salah satu ciri khas Annuqayah. Ya, Annuqayahlah yang mengantarkan saya pada dunia yang sangat menyenangkan ini, dunia menulis. Berawal dari ketidaksengajaan saya masuk dunia tulis-menulis. Namun ketidaksengajaan tersebut telah membawa saya ke beberapa tempat-tempat seperti Jakarta dan juga memperkenalkan saya kepada orang-orang penuh semangat dalam menulis seperti Gus Muhammad Musthafa, Gus M. Zammiel el Muttaqien dan Gus M. Faizi. Beliau-beliaulah yang selalu saya jadikan contoh dan guru-guru saya dalam menulis, yang terkadang saat saya melihat karya mereka saya terpacu untuk terus menulis dan berkarya.
Di Annuqayah ada sebuah kompetisi untuk menulis yang akan selalu mendorong sesorang untuk menulis, meskipun hal itu tidak tampak secara kasat mata. Dan kompetisi itu tidak pernah saya rasakan di sini, sehingga sejak saya tinggal di Surabaya sampai saat ini tulisan saya masih bisa dihitung dengan jari. Berbeda saat saya masih di Annuqayah yang setiap hari, setidaknya saya menghasilkan sebuah tulisan dalam bentuk apapun.
Yang keempat adalah suasana sosialis dan rasa persaudaraan yang diterapkan para santri Annuqayah. Hal itulah yang tidak pernah saya rasakan di Surabaya. Di sini, semua orang seakan hanya mementingkan diri sendiri saja. Semua bersifat individual. Bahkan meskipun Pesantren Mahasiswa IAIN yang saya tempati sekarang ini berbasis pesantren, tapi tidak sedikitpun saya merasakan adanya rasa persaudaraan mereka sama seperti rasa persaudaraan teman-teman di Annuqayah. Semua orang yang tinggal di sini sulit untuk berkumpul dan bercerita-cerita seperti teman-teman di Annuqayah. Mereka hanya berkumpul dengan orang-orang yang menurut mereka satu derajat atau satu ideologi saja. Sungguh sangat tidak menyenangkannya kehidupan sosial di sini.
Hal-hal inilah yang selalu membuat saya merasa rindu pada Annuqayah. Dan satu hal yang ingin saya sampaikan pada semua orang, pada semua teman-teman saya terutama teman-teman di Annuqayah. Saya akan mengatakan bahwa seberapa besarpun kita ingin keluar dari Annuqayah maka sebesar itu pula rasa rindu yang akan kita rasakan saat kita jauh dari Annuqayah.
Dan jika suatu saat nanti, saat saya telah menyelesaikan semua proses studi saya, ada yang meminta saya untuk kembali atau pun menjadi bagian dari Annuqayah. Maka saya akan senantiasa untuk menerimanya. Karena Annuqayah di dadaku.