Tuesday 25 May 2010

PENGALAMAN ADALAH GURU YANG TERBAIK

“Pengalaman adalah guru yang terbaik” kata-kata inilah yang seharusnya aku tanamkan dalam-dalam di hatiku. Karena hingga sampai saat ini aku mengulangi kesalahan yang sama yang kemudian membuatku terus gagal mendapatkan sesuatu yang aku impikan.
Mungkin dalam beberapa hal aku sudah bisa mengaplikasikan kata-kata ini, seperti dalam menulis dan hal-hal yang berbau akademik. Namun ada satu hal yang di situ saya tidak dapat saya aplikasikan kata-kata di atas. Yaitu dalam memahami dan mengerti seorang wanita, atau yang lebih pasnya tentang perasaan wanita padaku.
Sudah berulang kali aku melakukan kesalahan yang seharusnya tidak terulang itu. Sudah empat kali aku tidak bisa menaklukkan hati seorang wanita, atau singkatnya ditolak. Untuk yang pertama dan kedua aku akui aku terlalu terburu-terburu untuk mengambil keputusan. Hanya kenal sebentar saja aku langsung meminta sesuatu yang lebih padanya, pantaslah ditolak. Dari itu kemudian banyak teman-temanku mengatakan kepadaku untuk mengenal wanita itu lebih dalam dan mengakrabkannya terlebih dahulu sebelum aku mengejarnya.
Di kali ketiga, aku mempraktekkan apa yang temanku bilang tadi. Aku mulai mengenal dan mencari tahu tentang wanita yang ketiga ini lebih mendalam. Tak perlu waktu lama aku untuk akrab dan tahu dia lebih jauh karena dia cukup kenal denganku sebelumnya, jadi lumayanlah. Saat aku sudah mulai mengenalnya sebenarnya aku sudah mau mengatakan bahwa aku mengharapkan sesuatu yang lebih darinya, tapi aku masih mengulur waktu yang lebih tepat dan pas. Mencari waktu yang pas pun saya tidak sebentar, sangat lama, sehingga wanita yang aku suka itu ditembak oleh orang lain terlebih dahulu. Dan aku pun terlambat ketika aku mengutarakan rasaku padanya. Dia sudah dengan orang itu. Kegagalan ketigaku, sungguh ironis.
Seharusnya ketika kegagalan yang ketiga itu terjadi aku membenahi diri. Dan itulah yang aku lakukan. Aku kembali suka sama teman satu semester di PBA IAIN, aku mulai mencari tahu dan mengenalnya lebih mendalam. Mencari tahu lewat teman terdekatnya. Cukup lama aku untuk mendakatinya. Ketika menurutku aku sudah cukup dekat dengannya, aku mengutarakan apa yang ada dalam hatiku. Dan jawabannya sama seperti yang sebelumnya, tidak. Aku bertanya apalagi yang salah dari langkahku? Aku sharing dengan salah satu temanku yang ku anggap lebih pengalaman dariku tentang masalah itu. Ternyata aku belum mengenalnya lebih dekat, itulah salahku. Belum mengenalnya lebih dekat. Yah… salah lagi. Padahal aku pikir aku sudah cukup dekat dengannya. Kejadian ini baru terjadi, tepatnya kemarin, tanggal 24 Mei 2010. Lessoh lajunin.
Semenjak saat itu saya berpikir, kenapa aku belum bisa mengambil pelajaran dari yang telah lalu. Mengapa aku terlalu tergesa-gesa? Mengapa aku selalu melakukan kesalahan yang sama? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berputar di otakku. Dan tulisan ini aku tulis untuk menghilangkan semuanya atau menjawab semuanya. Aku ingin belajar dari pengalaman, bantu aku ya Allah.
Semoga pertanyaan-pertanyaan yang berputar di otak ini segera terjawab. Dan aku bisa belajar dari pengalaman. Malam ini aku ingin tidur lebih lama, lebih panjang, lebih pulas dari biasanya. Agar semuanya menghilang dan esok hari aku bangun dengan wajah yang segar.
AKU INGIN TIDUR LEBIH LAMA MALAM INI.

Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, 25 Mei 2010, 23:30 WIB


Monday 24 May 2010

Yang Terbaik untuk Kita

Masih tergiang di telinga saya saat salah satu Guru saya di MA Tahfidh Annuqayah dulu berkata, “Semua yang Allah berikan kepada kita adalah yang terbaik untuk kita tanpa terkecuali”. Dulu, saya tidak pernah percaya dengan kata-kata beliau karena menurut saya hal itu tidak masuk akal. Namun, sejak saya berada di Kota Surabaya, saya pun mulai merasakan dan mempercayai kata-kata itu. Semua yang telah terjadi dan Allah berikan kepada kita adalah yang terbaik untuk kita.
Dulu saat saya dihadapkan pada sebuah pilihan lanjutan studi atau kuliah, saya ngoto untuk kuliah di Yogyakarta. Karena menurut saya di sana adalah tempat yang tepat untuk meneruskan hobi saya dalam dunia tulis menulis. Waktu itu, saya tidak peduli pada pendapat orang tua saya yang melarang saya untuk kuliah ke Yogyakarta dengan alasan jarak yang sangat jauh. Karena saking ngototnya, saya pun mengatakan saya sanggup untuk cari biaya sendiri asalkan saya dizinkan untuk kuliah ke Yogyakarta.
Salah satu langkah yang saya ambil waktu itu adalah mengikuti seleksi beasiswa di UGM bagi siswa yang kurang mampu (saya lupa apa nama programnya). Saya pikir hal itu yang paling tepat untuk langkah awalnya. Namun, setelah mendaftar dan mengirimkan berkas-berkasnya, saya tidak lulus dalam seleksi berkas karena kurang memenuhi persyaratan.
Saya tidak menyerah sampai di situ, saya terus mencari informasi. Namun tidak ada yang pas dengan apa yang saya inginkan. Akhirnya, setelah beberapa waktu, melihat tidak satu pun beasiswa yang saya dapatkan, orang tua saya dan seluruh keluarga menyeruh saya untuk kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya saja. Tapi saat itu saya tidak langsung menjawab dengan alasan istikharah dulu, baik itu saya sendiri atau orang tua saya. Padahal waktu itu alasan istikharah tersebut hanya untuk mengelur waktu saja agar tidak menututi batas waktu pendaftaran di IAIN Sunan Ampel. Dan setelah beberapa waktu orang tua saya mengatakan kepada saya bahwa hasil istikharah orang tua saya adalah IAIN Sunan Ampel sekaligus mendesak saya untuk segera mendaftar. Dan akhirnya saya menyerah dan mendaftar di IAIN Sunan Ampel. Yang kemudian berakhir dengan diterimanya saya di IAIN Sunan Ampel Surabaya di Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Bahasa Arab.
Setelah sampai di Surabaya saya masih kurang sreg dengan IAIN Sunan Ampel. Saya menjalani semuanya setengah hati. Bahkan dari saking kurang sreg-nya saya dengan IAIN Sunan Ampel, tidak ada satu karya dan tulisan yang saya hasilkan pada waktu itu. Saya mulai frustasi. Dan tibalah pada suatu waktu, ketika itu saya baru datang kuliah, ketika sampai di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel (PESMA), tempat saya bermukim, saya melihat sebuah foto copy dari salah satu Koran lokal Surabaya edisi hari itu dalam satu halaman yang berisi rubrik opini. Dan penulisnya adalah salah satu mahasiswa yang tinggal di Pesma, yaitu Abd Basid. Seketika itu pula saya merasa iri dan ‘panas’, saya pun merasa tertantang untuk juga untuk menulis. Dan denger-denger dari teman-teman yang lain bahwa jika ada mahasiswa Pesma yang tulisannya dimuat di media akan mendapatkan imbalan dari pihan Pesma.
Saya mulai menulis kembali. Namun saya masih kurang beruntung untuk dimuat. Saya tidak menyerah, terus mencoba. Dan dalam waktu yang bersamaan saya mulai dekat dengan Abd Basid dan juga saya bergabung dengan LPM Solidaritas, LPM IAIN. Dan mulai saat itu saya terus berpacu untuk menulis. Baik itu opini, resensi atau puisi yang sudah menjadi darah bagi saya. Dan tepat pada tanggal 15 April 2010 tepatnya pada hari Jum’at, resensi saya yang berjudul “Buku, Pesta dan Cinta di Alam Soe-hok Gie” dari buku “Soe-hok Gie, Sekali lagi…” dimuat di Harian Bhirawa. Dari situ kemudian beberapa orang yang saya anggap orang penting di Pesma kemudian mengenal saya karena tulisan itu.
Sejak saat itu saya mulai sering sharing dengan Abd Basid dan teman-teman di LPM Solidaritas tentang tulisan. Semangat saya terus meningkat untuk menulis. Dan untuk kedua kalinya tulisan saya yang berupa resensi dimuat di Radar Surabaya pada tanggal 9 Mei 2010. Dan yang memberi tahu saya tentang hal itu adalah Abd Basid. Sungguh bahagia saya waktu itu. Sejak saat itu saya semangat saya terus tumbuh. Di LPM Solidaritas pun saya mendapatkan tempat yang ‘cukup diperhitungkan’ dalam segi tulisan.
Nah, itulah yang membuat saya tersadar dan merasakan tentang pemberian Allah kepada kita adalah yang terbaik oleh kita. Saya pun berpikir, andai saja saya tetap ngotot untuk kuliah di Yogyakarta saya yakin saya tidak mungkin akan mengalami dan merasakan hal yang begitu indah dan berarti ini. Sebuah perjalanan yang tidak mungkin saya lupakan dalam hidup saya.
Dari itu saya salalu mengucapkan banyak syukur kepada Allah tercinta. Juga kepada orang tua saya, ternyata benar, orang tua tidak akan mungkin menjerumuskan anaknya ke dalam jurang. I love you full, my father and mother.

LPM Solidaritas, Surabaya, 23 Mei 2010, jam 11:20


Sunday 23 May 2010

BANGGA DENGAN BANGGA INDONESIA BUKAN DENGAN NEGARA INDONESIA

Hamparan alam luas membentang di jagad khatulistiwa/Harum tanahmu hijau warnamu/ Takkan pernah terlupakan//Tempat di mana aku dilahirkan/Dan tempat di mana nanti/Aku kembali duduk di sini/Menutup hari dan mati. Kalimat ini bukanlah puisi atau pepatah atau pun prosa. Tapi kalimat tersebut adalah penggalan lirik lagu berjudul Indoneisaku ciptaan Ungu. Lagu tersebut berisikan tentang kebanggaan sang pencipta lagu terhadap Indonesia.
Benar, seperti yang telah kita tahu bersama bahwa rasa bangga pasti dimiliki setiap orang. Apalagi rasa bangga itu ditunjukkan kepada sesuatu yang mempunyai banyak kelebihan. Indoneisa mempunyai banyak sekali kelebihan, dan hal itu kemudian membuat semua orang yang tinggal Indonesia bangga dengan Indonesia, termasuk personel Ungu yang telah menciptakan lagu tersebut. Lagu tersebut membuat saya berpikir dan merenung sejenak, ternyata sudah sepatutnya kita membanggakan kekayaan yang dimiliki Indonesia apalagi banyak orang luar yang suka dengan kekayaan tanah air kita ini.
Namun, ketika kita melirik sedikit saja ke sisi yang lain, yaitu sisi kenegaraannya, secara tiba-tiba rasa bangga tersebut hilang dari hati ini. Karena di situlah letak kebobrokan Indonesia akan tampak dan karena itu pula Negara kita tercinta menjadi jelek di mata dunia. Banyak sekali kasus-kasus yang menimpa tanah air ini, mulai dari kasus korupsi yang hingga saat ini belum bisa diberantas, makelar kasus yang memperjualbelikan hukum, ekonomi dan pendidikan yang rendah yang belum ditemukan solusi untuk meningkatkannya, hingga teroris yang membuat para turis enggan dan merasa tidak aman untuk bertamu ke Negara kita ini dan membuat Manchaster United urung untuk mengadakan partai kesebisi di Gelora Bung Karno pertenngahan Juni tahun lalu.
Nah, setelah beberapa saat saya berpikir tentang kebanggaan tersebut, muncullah di pikiran saya bahwa sebelum kita benar-benar berbangga, kita harus terlebih dahulu membedakan kebanggaan terhadap bangsa Indonesia dengan bangga terhadap Negara Indonesia. Bangga pada Bangsa Indonesia berarti berbangga dengan apa yang dimiliki bangsa Indonesia, mulai dari budaya, alam, adat, suku dan kekayaan-kekayaan lainnya. Berbeda kemudian dengan bangga pada Negara Indonesia, jika bangga pada Negara Indonesia maka kita akan membanggakan pemerintahan dan ketatanegaraan Indonesia. Padahal apa yang bisa kita banggakan dari pemerintahan Negara kita ini selain kebobrokannya. Memang, jika kita berbicara Negara, bangsa pun akan masuk di dalamnya. Tapi Negara cakupannya lebih luas dan yang nampak pertama adalah bagaimana tatanan kenegaraannya bukan kekayaan dan budaya.
Satu alasan untuk menguatkan pendapat saya ini. Yaitu perpedaan bangsa dan Negara. Mari kita mengingat kembali tentang arti Negara dan bangsa yang menjadi pembahasan pelajaran Pendidikan dan Kewarganegaraan.
Negara adalah suatu organisasai dari sekelompok atau beberapa manusia yang bersama-sama mendiamai satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tersebut, atau negara bisa juga berarti satu perserikatan yang melaksanakan satu pemerintahan melalui hukum yang mengikat masyarakat dengan kekuasaan untuk memaksa terjadinya ketertiban sosial. Masyarakat ini berada dalam satu wilayah tertentu yang membedakannya dari kondisi masyarakat lain diluarnya.
Sedangkan bangsa adalah orang-orang yang memilki kesamaan asal keturunan, adat bahasa dan sejarah serta berpemerintahan sendiri. Atau juga merupakan suatu kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan wilayah tertentu di muka bumi. Dengan demikinan bangsa indonesia adalah sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan yang sama dan menyatakan dirinya sebagai satu bangsa serta berproses di dalam satu wilyah: Nusantara/ Indonesia.
Nah, dari sinilah kemudian saya menyimpulkan dan yakin bahwa sebenarnya dan sepatutnya yang kita banggakan adalah bangsa Indonesia bukan Negara Indonesia. Karena kekayaan yang ada di Indonesia sebenarnya milik bangsa Indonesia bukan Negara. Sebab Negara Indonesia baru terbentuk setelah kemerdekaan sedangkan bangsa Indonesia atau Nusantara terbentuk jauh sebelum kemerdekaan RI dideklarasikan oleh Soekarno. Hanya saja, karena bangsa Indonesia berada dalam Negara Indonesia maka secara otomatis kekayaan itu seakan milik Negara Indonesia seutuhnya.
Untuk itu sejak sekarang mari kita berbangga dengan bangsa Indonesia atau Nusantara. Karena bangsa Indonesia kaya akan budaya, alam, suku dan agama serta berperilaku ramah yang membuat orang-orang luar Indonesia tertarik pada Indonesia. Dan tidak bangga dengan Negara Indonesia. Jika kita bangga Negara Indonesia berarti kita bangga dengan adanya tikus berdasi yang semakin hari terus berkembang biak, bangga dengan perdagangan hukum yang menindas mereka yang tidak bisa membelinya, berbangga dengan keamanan Indonesia yang lemah yang menjadi surga yang indah bagi mereka para teroris.


Wednesday 12 May 2010

Gus Dur, Indonesia, dan Islam


Judul Buku : Gus Dur Sang Guru Bangsa
Penulis : Wasid
Penerbit : Interpena, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2010
Tebal : xxx + 186 halaman
Peresensi : Ahmad Al Matin

Ada sebuah ungkapan berbahasa Arab yang mengatakan bahwa orang yang mempunyai ilmu akan terus hidup meskipun jasadnya telah mati dan dikubur dalam tanah. Pepatah itu telah terbukti pada Gus Dur. Benar, Gus Dur telah wafat pada tanggal 30 Desember 2009 kemarin, namun hingga saat ini beliau masih terasa hidup di tengah-tengah kita. Hal itu disebabkan karena Gus Dur adalah orang pintar atau berilmu yang meninggalkan ilmunya untuk kita semua yaitu rakyat Indonesia umumnya dan ummat Islam khususnya. Atau yang lebih ringkasnya pemikiran Gus Dur.
Sebagai seorang tokoh yang terlahir dari kalangan pesantren, Gus Dur mempunyai pemikiran yang melebihi pemikir lainnya. Tidak hanya para pemikir yang sama-sama dari pesantren saja yang mengakui hal itu, dari luar kalangan santri atau pesantren banyak yang mengakui tentang pemikiran Gus Dur yang lebih luas dari yang lain. Pemikiran Gus Dur yang luas tersebut sebenarnya dilatar belakangi oleh latar belakang pendidikan Gus Dur yang komplet. Seperti yang telah tertulis dalam buku ini bahwa selain mengenyam pendidikan pesantren, Gus Dur juga pernah mengenyam pendidikan luar pesantren.
Perjalanan pendidikan Gus Dur dimulai dari SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta pada tahun 1954. Namun pada tahun itu juga dia langsung dipindahkan oleh ibunya, Nyai Sholicha ke SMEP Yogyakarta. Di Yogyakarta inilah pemikiran Gus Dur diasah. Beliau mulai suka membaca buku-buku bahasa Inggris, karya-karya sastrawan dunia seperti Hewingway, Steinbeck, Malraux dan Faulkner, juga buku-buku pemikiran kiri seperti Das Kapital karya Karl Marx. Dan pada tahun 1959 Gus Dur kembali ke dunia pesantren, beliau ‘mondok’ di Pesantren Tambakberas Jombang asuhan KH. Wahab Hasbullah dan juga sesekali melakukan komunikasi intensif dengan sang Kakek dari ibunya, KH. Bisri Syansuri (hal 87).
Setelah itu, dia melanjutkan sekolahnya ke Mesir pada tahun 1964 untuk belajar ilmu-ilmu agama di Ma’had Al Dimsat Al Islamiyah di lingkungan Al Azhar Islamic University. Sesampainya di sana, beliau kecewa dengan sistem pengajaran yang dipakai di sana yang menitikberatkan pada sistem hafalan saja. Namun meskipun demikian, beliau menfaatkan waktu di Kairo dengan sebaik mungkin, yaitu dengan menghabiskan waktunya di salah satu perpustakaan yang lengkap di Kairo, termasuk American University Library.
Dari Kairo, Gus Dur terbang ke Baghdad. Di kota ini, beliau melewatinya dengan penuh rasa bahagia karena mempelajari sastra Arab, filsafat dan teori sosial Eropa. Di sana juga kultur sebagai aktivis tumbuh dan berkembang dari kepribadian Gus Dur, hingga tercatat pernah menjabat Ketua Persatuan Mahasiswa Indonesia untuk Timur Tengah masa bakti 1964 hingga 1970 (hal 89). Dan setelah itu, beliau terbang ke Kanada untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam di McGill University.
Dari pengalaman-pengelaman dan perjalan pendidikan seperti ini juga bermacam-macamnya bacaan yang telah dilahap, lahirlah sebuah pemikiran yang sangat komplet dan kritis dari Gus Dur. Tidak hanya kaedah-kaedah pesantren yang beliau gunakan sebagai landasan pemikirannya, tapi juga hasil pemikiran-pemikiran orang barat. Namun, yang perlu dicatat di sini selama Gus Dur berada di luar negeri tak ada satu pun ijazah yang beliau dapatkan. Karena setelah satu kuliah hampir selesai beliau langsung membiarkannya dan pindah ke kuliah yang lain. Juga karena beliau tidak terlalu mempermasalahkan formalitas ijazah, yang terpenting bagi beliau adalah bagaimana proses mendapatkan ilmu.
Dengan berbagai latar pendidikan yang telah beliau lalui, pemikiran Gus Dur seakan sulit dicapai oleh orang lain terutama oleh mereka orang-orang awam. Kemudian pemikiran beliau tersebut beliau gunakan untuk merubah lingkungan dan bangsannya. Mulai dari NU dengan gagasannya untuk kembali ke khittah 1926 sampai ke Indonesia dengan ide-ide pluralismenya yang beliau lakukan semasa beliau menjadi presiden.
Dengan pemikiran-pemikirannya tersebut Gus Dur mampu menempatkan dan menyesuaikan diri di mana dan kapan saja. Seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si. dalam Kata Pengantar buku ini (hal xx). Gus Dur ibaratnya seorang pemain sepak bola, beliau mampu bermain di posisi apa saja, belakang, tengah atau depan serta mampu berimprovisasi secara memadai. Beliau juga tidak hanya seorang play maker yang hanya mengatur permainan saja, tetapi juga mampu menjadi target man atau bahkan stopper yang handal. Di sinilah tak seorang pun yang mampu menandingi beliau.
Nah, proses keilmuan Gus Dur yang komplet dari berbagai sumber menjadikan Gus Dur menjadi individu kosmopolitan dan senantiasa menawarkan joke-joke segar bukan hanya membangun rasa kritisisme dalam menyikapi persoalan sosial kehidupan, tapi juga dalam model guyonan yang membuat kita terpingkal-pingkal. Seperti ungkapan yang beliau ucapkan “Gitu aja kok repot”, sebuah ungkapan yang menyimbolkan agar seorang tidak terlalu mempersulit masalah tapi mempermudahnya. Tradisi yang juga dikenal di kalangan umat Islam sebagai yasshiru wala tuassiru.
Buku ini merupakan dari sekian buku yang disajikan oleh para penulis untuk kita rakyat Indonesia secara umum dan Islam khususnya, agar terus mengenang Gus Dur dan juga meneruskan apa yang beliau inginkan, yaitu NKRI yang tentram dan anti perpecahan. Tidak hanya itu, buku ini juga mengajak kita untuk mempelajari lebih mendalam tentang pemikiran Gus Dur terhadap Islam dan Indonesia. Bagaimana kita menggabungkan pemikiran Islam dan barat untuk membangun Negara lebih maju dan anti perpecahan.
Namun, layaknya semua sesuatu di dunia ini, buku ini juga mempunyai kekurangan. Buku yang diangkat dari tesis penulisnya ini mempunyai bahasa yang lumayan tinggi yang kemudian membuat buku ini terasa berat untuk dibaca. Tidak hanya itu pula, tak ada sedikit pun arus yang mengalir dari buku ini. Artinya, jika anda membaca buku ini siapkanlah sebuah hiburan setelahnya karena anda merasa bosan dengan buku ini. Selamat membaca.


Resensi ini dimuat di RADAR SURABAYA edis Minggu 9 Mei 2010