Wednesday 28 April 2010

MENJADI PEMIKIR PESANTREN YANG UP TO DATE

Berbicara tentang pesantren, pastinya secara otomatis terbersit dalam benak kita tentang sebuah lembaga pendidikan yang dihuni banyak orang-orang yang mempunyai akhlak yang mulia, tawadu’ dan mempunyai pengetahuan agama Islam yang cukup mendalam. Namun siapa sangka ternyata pesantren yang selama ini kita banggakan dan kita cintai ternyata dianggap sebagai sebuah lembaga yang kaku, ketinggalan zaman dan terkesan lamban dalam merespons perkembangan dan pemikiran yang bersifat kekinian.
Mengacu pada hal itu, ada beberapa kelompok yang cukup—menghindari kata ‘sangat’—menjauhi Islam terutama kalangan non-Islam. Hal ini kemudian membuat islam keluar dari misi utamanya sebagai Rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Anggapan tentang pesantren yang seperti itu sebernanya disebabkan karena bebepara pesantren—terutama pesantren-pesantren di Sumenep—masih mengandalkan pemahaman teks dalam pengembangan pendidikan dan keilmuan Islam. Hal ini sebagaimana telah dikatakan oleh beberapa pemikir Islam kontemporer seperti Muhammad Arkoun, Fazlur Rahman dan Abid Al Jabiri bahwa selama ini perkembangan keilmuan Islam hanya terpaku kepada pemahaman teks saja. Sehingga mengakibatkan beberapa tokoh pemikir kontemporer menyatakan bahwa yang membentuk peradaban Islam adalah peradaban teks, bukan yang lainnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah produk atau hasil pemikiran dan pemahaman seseorang dari sebuah teks tidak akan terlepas dari alur yang diberikan teks itu sendiri. Artinya, hasil pemikiran tersebut tidak mempunyai ruang lingkup yang luas. Jika teks yang dikaji adalah teks berasas Islam maka ruang lingkup yang diberikan hasil pemikiran orang tersebut hanya mencakup Islam secara khusus saja dan tidak untuk secara umum untuk pemikiran luar Islam.
Dari itu kemudian Mohammed Abid Al Jabiri menghadirkan ‘tri-epistemologi’ dalam proyeknya naqd al ‘aql al ‘arby (kritik Nalar Arab). Melalui proyek ini Al Jabiri mengungkap kecenderungan epistemologis yang berlaku bangsa Arab dan umat Islam pada umumnya. Al Jabiri mencoba menganalisa kecenderungan-kecenderungan umat muslim yang secara kreatif melahirkan berbagai produk pemikiran yang berbeda yang ternyata didominasi oleh interpretasi teks yang sama.
Tiga epistemologi tersebut pertama, epistemologi bayani. Epistemologi ini merupakan bentuk nalar yang sangat menekan otoritas teks (nash), baik secara langsung atau tidak, dan dijustifikasi akal keabsahan yang digali melelalui inferensi (istidlal). Kedua, epistemologi irfani yaitu nalar yang berdasarkan pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan, atau lebih singkatnya berdasarkan pengalaman. Ketiga, epsitemologi burhani yaitu bentuk nalar yang bedasarkan akal dan melalui proses logika.
Menurut Al Jabiri, ketiga epistemologi ini membunyai hubungan sirkulatif dalam menyikapi problema dan mencari kesimpulan dalam pemikiran. Hal ini dikarenakan hanya dengan hubungan sirkuliatif dari ketiga epistem inilah akan diperoleh kebenaran yang menyeluruh yang hal ini tidak akan mungkin dicapai oleh salah satu epistem dengan sendirinya. Selain itu dengan adanya kerja sama yang apik ini akan merubah konstruksi pemikiran Islam yang lebih memperhatikan problem kemanusian, bukan malah menjauhi apalagi pemicunya. Hal ini mengingat bahwa kerja dari ketiga epistemologi tersebut adalah mencari kebenaran (moral etik) dalam kehidupan.
Mengamalkan Qaidah Fiqhiah
Sejalan dengan teori tri-epistemologi yang dikemukakan Abid Al Jabiri sebuah Qaidah fiqhiah yang sering kita dengar dan sangat kita hafal, yaitu Al Muhafadzah Alal Qadim Wal Akhdu Bi Jadidil Aslah (melestarikan tradisi lama dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Dari Qaidah ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa melestarikan tradisi lama atau al Qadim (teks) itu diharuskan, namun tidak mengesampingkan atau bahkan membuang tradisi-tradisi baru yang sekiranya lebih baik dan sesuai dengan zamannya.
Mengaca dari qaidah tersebut sepatutnya kita sebagai umat Islam tidak hanya mengedepankan pengkajian teks saja tapi juga mengkaji realita atau kondisi dan sintuasi zaman yang kita hadapi saat ini. Lalu hal itu kemudian dicocokkan atau digabungkan dengan tradisi lama atau pengkajian teks yang sekiranya juga sesuai dengan zaman ini. Sehingga hukum-hukum Islam yang telah ditetapkan oleh Rasulullah dan tertulis dalam kitab-kitab klasik bisa relevan dengan zaman kita saat ini.
Nah, ketika teori yang dikemukan oleh Al Jabiri dan Qaidah Fiqhiah di atas ini kita realisasikan, pastinya pendidikan dan pemikiran Islam tidak akan lagi terkesan kaku dan tidak relevan dengan zaman. Dan dengan ini pula kita akan memunculkan sebuah anggapan bahwa pemikir-pemikir Islam yang lahir dari pesantren ternyata juga mampu menjadi pemikir yang up to date. Waallahu ‘Alam bis Shawab.

Tulisan ini dimuat di RADAR MADURA Edisi Jumat 21 Mei 2010


PENDIDKAN KORUPSI

Beberapa bulan terakhir ini, berita tentang kourupsi semakin menjadi berita yang—sepertinya—menjadi berita wajib diterbitkan, baik itu di media cetak maupun audio visual. Seperti rumput-rumput liar di taman, keberadaan mereka, para koruptor, semakin hari semakin bertambah dan bertambah. Membuat Negara kita tercinta ini menjadi semakin terpuruk dan terluka. Ditambah lagi kasus ‘perdagangan hukum’ yang beberapa waktu terakhir ini menjadi tema perbincangan yang sangat menarik.
Terlepas dari pada itu, keadaan pendidikan Negara kita pun juga sangat memperihatinkan. Tidak hanya masalah banyaknya jumlah anak yang tidak mampu mengenyam pendidikan. Tapi juga tingkat kejujuran para praktisi pendidikan dalam melaksanakan UN. Seperti yang telah dilansir Mendiknas beberapa waktu lalu yang ternyata kejujuran mereka rata-rata masih di bawah 50%, termasuk juga Ibu Kota Negara, Jakarta. Hanya satu kota yang melebihi 50%, yaitu DIY Yogyakarta. Sungguh saya ingin menangis mengingatnya. Betapa tidak, bila hal itu terbukti kebenarannya berarti hampir keseluruhan dari siswa lulusan dari SLTP dan SLTA sebenarnya tidak lulus. Karena hasil ujian yang mereka peroleh merupakan suatu kebohongan belaka yang dilakukan oleh praktisi pendidikan.
Kaitannya dengan korupsi, jika di sekolah atau lembaga pendidikan lain para guru sudah mulai mempraktekkan kasus korupsi, bukan tidak mungkin di kemudian hari murid-murid atau para siswa sekolah juga akan akan melakukan hal yang sama di kemudian hari. Seperti yang telah kita ketahui dari pelajaran akhlak atau tatakrama—terlebih dalam istilah Islam—sebuah ungkapan “Jika gurunya kencing berdiri muridnya akan kencing berlari”.
Dari ungkapan tersebut dapat kita simpulkan bahwa jika seorang guru melakukan korupsi sebesar 1 juta rupiah, bisa saja muridnya di kemudian hari melakukan korupsi sebesar 1 milyar rupiah. Jika hal itu benar-benar terjadi pastinya Negara kita tercinta ini akan semakin terpuruk. Tidak hanya sekolah saja yang mempengaruhi hal tersebut, lingkungan keluarga pun cukup berpengaruh. Memang orang tua tidak akan pernah merasa mengajarkan hal seperti itu, tapi sikap, cara bicara dan cara berpikir orang tua mudah dipelajari oleh anak dan akan menjadi warisan. Karena seorang anak—terlebih mereka yang masih dalam masa pertumbuhan—akan lebih cenderung meniru tingkah laku orang tuanya. Jika orang tuanya bertingkah laku tidak baik, maka anaknya juga melakukan hal yang sama, dan seperti itu sebaliknya.
Jadi, jika saat ini para orang tua dan guru berani melakukan korupsi atau penyuapan, dan di suatu hari hal itu ditiru anak, maka jangan marah. Karena mereka hanya meniru tingkah laku para guru dan orang tua saja. Seperti juga Negara kita, jika saat ini Negara kita dipenuhi dengan kasus korupsi, maka kita perlu mengkoreksi kembali seperti apa tingkah laku para pendahulu kita, apa mereka juga melakukan hal yang sama.
Dididik untuk Korupsi
Seperti yang telah ditulis di atas bahwa seorang anak mempunyai kecenderungan dan sangat mudah untuk meniru tingkah laku orang tuanya. Nah, ketika seorang anak sudah meniru dan merasakan sebuah kesenangan dengan meniru itu, pastinya si anak pun akan terus ingin melakukannya dan bisa saja menjadi hobi. Selanjutnya, ketika korupsi menjadi suatu kesenangan atau hobi maka secara tidak langsung seorang anak yang telah mengaplikasikan perbuatan orang tuanya tersebut tidak akan menghiraukan hukum. Dia akan terus melakukannya untuk kesenangan dirinya. Yang selanjutya menjadi koruptor cilik.
Dan jika itu benar-benar terjadi, sepantasnya pula sebuah hukum yang selama ini ingin ditegakkan sulit untuk bergerak. Karena koruptor cilik itu akan terus berulah, tidak memperdulikan hukum yang akan menjeratnya. Jika hukum itu ‘berani’ menjeratnya, maka ia pun tidak segan untuk membeli hukum agar tidak bisa menyentuh apalagi menjeratnya atau bahkan akan ‘membunuh’ hukum itu sendiri.
Dari ini kemudian bisa kita simpulkan bahwa sebenarnya para koruptor yang telah merajalela di Negara kita tercinta ini merupakan hasil didikan para penduhulu mereka. Hal itu akan terus berlaku dan bejalan jika tidak ada yang mampu mencegahnya. Salah satu pencegah pendidikan korupsi adalah dengan adanya sebuah pendidikan moral yang ditanamkan sejak diri oleh para orang tua. Karena orang tualah yang selalu ada di samping anak, tetapi tidak hanya di lingkungan keluarga saja, lingkungan sekolah pun sangat perlu diapliasikan pendidikan moral. Karena apabila seseorang yang pintar belum tentu mempunyai moral yang bagus atau aklaqul karimah yang kemudian mampu menggunakan kepintarannya itu kebaikan. Hal itu sudah terbukti terhadap para pejabat Negara yang hanya pintar otak namun tidak pintar hati atau bermoral tinggi.


Saturday 24 April 2010

MENYELAMI KISAH DASAR LAUT


Judul Buku : The Deep (Dasar Laut)
Penulis : Helen Dunmore
Penerjemah : Rosemary Kesauly
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2010
Tebal : 304 halaman

Keindahan dasar laut membuat kita sejenak melupakan semua problema yang kita hadapi. Laut yang penuh dengan tumbuhan bawah laut nan indah, karang-karang, dan ikan warna-warni yang pastinya akan membuat kita tercengang melihat kekuasaan Tuhan itu. Namun, selain memiliki keindahan, laut juga membawa musibah dan masalah yang kemudian merubah kehidupan kita yang dulu terasa tentram, nyaman nan indah menjadi penuh kisah sedih dan masalah yang tak kunjung selesai. Mungkin itulah sedikit gambaran tentang cerita yang diungkapkan oleh Helen Dunmore dalam empat bukunya Tetralogi Ingo.
Setelah sukses menceritakan tentang laut pada buku pertama (Ingo) dan kedua (The Tide Knot), Helen kembali mengajak kita kembali menyelam ke dalam kisah-kisahnya tentang laut. Dalam buku keempat ini, diceritakan bahwa kaum Mer meminta bantuan kepada Sapphire untuk menidurkan Kraken, seekor monster yang bersemayam di dasar laut. Menurut sejarah kaum Mer, jika monster tersebut tidak ditidurkan, ia akan menghacurkan Ingo. Untuk mencegahnya kaum Mer hanya memiliki dua pilihan, menidurkannya atau memberikan sepasang anak laki-laki dan perempuan. Sedangkan untuk menidurkannya harusada yang pegi ke dasar laut. Dan hanya mereka yang berdarah campuran manusia dan Mer yang bisa sampai ke dasar laut.
Namun, meskipun pertolongan dari Sapphire sangat dibutuhkan oleh kaum Mer. Sapphire tidak langsung menyanggupi permintaan mereka. Ia masih mempertembingkannya lagi. Terlebih Conor, kakak Sapphire dan Faro sahabatnya dari Mer, tak akan membiarkannya pergi ke dasar laut tanpa mereka berdua. Karena menurut Saldowr, penasehat kaum Mer dan Granny Carne, wanita tua yang tinggal di sebelah rumah Sapphire yang juga banyak tahu tentang Mer, perjalanan ke dasar laut bukanlah hal yang mudah, di sana banyak sekali bahaya yang menanti. Oleh karena itu, Sapphire kemudian meminta bantuan ikan Paus baik yang pernah membantunya keluar dari dasar laut dulu saat terbawa arus ketika banjir melanda kotanya.
Singkat cerita, Sapphire pun bisa memenuhi permintaan kaum Mer untuk menidurkan Kraken. Cerita selanjutnya dari novel tersebut adalah rencana Mum dan Roger untuk pergi ke Australia untuk berlibur selama beberapa bulan. Di sini, Sapphire dihadapkan pada dua pilihan antara ikut berlibur ke Australia untuk membahagiakan Mum atau tetap tinggal di rumahnya agar bisa sewaktu-waktu mendatangi Ingo dengan bebas. Nah, di masalah ini kemudian Granny Carne mempunyai andil cukup besar dalam menyelesaikan masalah. Wanita tua yang cukup dijauhi anak-anak ini kemudian membantu Sapphire, Conor dan Mum mencari jalan keluar dari masalah ini, meskipun masalah ini kesannya hanya sepele.
Cerita lainnya adalah rencana Sapphire dan Faro untuk melakukan penyebrangan Ingo, sebuah adat dari kaum Mer sebagai bukti perubahan seorang anak menjadi dewasa setelah melakukannya. Namun, cerita ini hanya dijelaskan sedikit saja karena cerita inilah yang akan menjadi cerita inti pada buku keempatnya nanti.
Di novel ini Sapphire belum bertemu lagi dengan Dad, meskipun di beberapa bab hal itu sempat diperbincangkan oleh Sapphire dan Conor. Secara keseluruhan, novel ketiga lebih kaya akan konflik dan jalan ceritanya lebih menarik. Ada beberapa tokoh Mer baru dengan karakter protagonis maupun antagonis yang turut meramaikan.
Sampai tiba akhir, novel ini sama sekali tidak menjelaskan ketakutan Mer. Di dalam Bab Empat sebenarnya hal ini sudah ditanyakan Sapphire pada Rapat Besar Mer, namun tidak ada jawaban yang pasti. Mereka hanya ketakutan harus memberikan anak-anak mereka kepada Kraken. Padahal seperti yang diutarakan Sapphire, kaum Mer hidup di Ingo dan tidak mungkin bisa ke dasar laut. Kraken hidup di dasar laut dan tidak akan pernah ke Ingo.
Dengan novel ini Helen Dunmore membuktikan kepiawaiannya dalam menjalin benang merah dari setiap sekuel dan mengeksploitasi laut dan isinya menjadi hal-hal yang mendebarkan, tetap misterius tapi sangat memikat. Sehingga mau tidak mau, kita akan dipaksa untuk berlama-lama untuk menyelesaikan kisahnya. Yang kemudian membawa kita terseret ke dunia Ingo dan percaya kehidupan bawah laut itu ada. Kita pun semakin penasaran untuk mengenal laut yang sebenarnya. Ingo memang dunia yang luar biasa.
Selamat Membaca!