Tuesday 23 November 2010

Memberantas ‘Buaya-Buaya’ di Indonesia

Masih ingatkah anda dengan julukan ‘buaya’ yang digunakan oleh KPK dan beberapa pihak lainnya setahun yang lalu untuk menunjukkan betapa bejatnya para koruptor dan mafia hukum di Negara kita ini? Tentunya masih ingat. Benar, julukan ini memang sudah jarang dipakai dan didengar lagi oleh kita. Tapi bukan berarti ‘buaya-buaya’ di Negara kita sudah punah. Tidak. ‘Buaya-buaya’ itu masih hidup dan berkembang biak dengan pesat.

Setahun lalu, julukan buaya diberikan kepada Anggodo Widjojo yang diduga menyuap petinggi KPK, Bibit Samat Riyanto dan Chandra M. Hamzah, anggota KPK. Dan sekarang ini, setelah beberapa waktu lalu kita mendengar dan membaca kabar bahwa Gayus Haloman Tambunan tersangka kasus mafia pajak yang saat ini tengah berstatus sebagai tahanan di Rutan Mako Brimob Depok masih sempat plesir bersama istrinya ke Bali dan menyaksikan pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions 2010 di Hotel Westin, tidak salah jika julukan ‘buaya’ kita sandangkan kepadanya.

Saat dikonfirmasi kebenaran tentang plesirannya ke Bali, ia mengakui bahwa itu dirinya dengan alasan dia sangat rindu kepada anak dan istrinya. Dia juga mengaku bahwa tahanan Rutan Mako Brimob tidak hanya dirinya saja yang bebas keluar masuk Rutan, tetapi juga ada lima orang lainnya yang lebih sering dan lebih dulu darinya. Dia juga mengaku tidak ada suap-menyuap antara dirinya dengan petugas Rutan (Radar Surabaya, 16 November 2010).

Lalu mari kita pikirkan, bisakah seorang tersangka mafia pajak yang ditahan di Rutan Mako Birimob bisa dengan bebas dan sesuka hati keluar masuk rutan jika memang tidak ada transaksi suap-menyuap. Saya yakin tidak. Karena tidak mungkin Rutan sekelas Rutan Mako Brimob yang dilengkapi dengan pengamanan berlapis bisa dengan mudah dikelabuhi oleh seorang Gayus yang notabene bukan seorang teroris atau anggota gengster.

Untuk kesekian kalinya penegakan hukum di Indonesia terbukti sangat lemah dan hanya berlaku untuk sebagian orang saja. Pembuktian bahwa hukum di Indonesia masih bisa ditukar dengan uang. Orang yang mempunyai banyak uang akan terbebas dari jeretan hukum.

‘Jual-Beli’ Hukum

Banyak orang menilai, terutama mereka kaum intelektual dan mahasiswa bahwa hukum Negara kita saat ini tak lebih dari sebuah barang saja. Siapa yang mampu membelinya maka dia akan memiliki dan menguasainya. Siapa yang mempunyai banyak uang untuk membeli hukum, maka orang itu akan bebas dari jeratan hukum.

Kasus jual-beli hukum ini tidak hanya terjadi pada Gayus saja. Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa banyak petinggi-petinggi Negara kita yang dengan leluasa bermain dengan hukum.

Satu bukti lagi yaitu pembebesan tersangka kasus korupsi penyelewengan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 miliar pada 2003 yang melibatkan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Tantowi Pohan. Aulia Pohan yang dinyatakan bebas sejak 18 Agustus 2010 menjadi topik panas di beberapa media.

Menurut anggota Komisi III bidang hukum DPR Bambang Soesatyo pembebesan seperti yang terjadi pada Aulia Pohan akan menyebabkan setback dalam pemberantasan korupsi (vivanews.com, 20 Agustus 2010). Karena dalam proses pembebasan tersebut ada peran Presidan SBY yang merupakan besan dari Aulia Pohan. Dan ketika sudah ada campur tangan Presiden SBY sudah barang tentu di dalamnya ada ‘transaksi jual-beli’ hukum meskipun hal itu tidak terang-terangan.

Transaksi seperti ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang atas atau pemerintah elit negeri ini saja. Tapi sering juga dilaksanakan oleh para pemerintah dan penegak hukum daerah juga. Hal ini pun semakin menguatkan bahwa hukum di negeri ini masih bisa ditukar dengan uang.

Nah, sampai saat ini ‘buaya-buaya’ di negeri ini belum bisa diberantas dan dibasmi sampai ke akar-akarnya. Para aparat penegak hukum dan KPK pun tidak mampu mengembang tugas ‘mulia’ itu dengan baik. Karena memang sebagian dari mereka termasuk dari ‘buaya-buaya’.

Menurut saya, melihat banyaknya para aparat hukum yang terlibat dalam kasus ini maka untuk menumpas dan mengungkapnya, seharusnya pemerintah tidak lagi membentuk tim penyelidik dari kalangan pemerintah sendiri atau pun aparat hukum yang ada. Melainkan pemerintah perlu mengimpor agen-agen FBI (Faderal Bareau of Investigation) dari Amerika yang memang sudah terbukti mampu menyelesaikan kasus-kasus besar.

Karena FBI merupakan agen intelejensi terbaik dunia yang sampai saat ini belum terbukti dalam menyelesaikan kasus-kasus, mereka tidak mementingkan diri mereka sendiri. Apalagi sebagian besar dari mereka merupakan orang-orang kaya yang mustahil melakukan tindakan korupsi dan transaksi suap-menyuap. Namun konsekuensinya, Negara harus mengeluarkan banyak uang untuk mendatangkan mereka dan ini lebih baik ketimbang uang rakyat masuk ke kantong pribadi pemerintah.

Akan tetapi semua itu kembali kepada Presiden, maukah beliau mengambil resiko itu. Mengingat seorang pemimpin tidak jauh beda dengan kepala manusia, jika kepala atau otaknya masih jernih dan baik, maka anggota tubuh yang lain juga ikut baik.


0 comments: