Monday 28 December 2009

JALAN PANJANG SANTRI MENJADI PENULIS


Judul Buku : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis : Rizal Mumazziq Zionis, dkk.
Penerbit : Muara Progresif
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xii + 224 halaman

“Kalau engkau bukan anak raja, bukan pula anak ulama besar, maka jadilah penulis”. Kata-kata Imam Ghazali itulah yang membuat semangat Syaiful A’la, salah satu penulis buku ini, terus berkobar untuk menulis. Kesukaannya terhadap bidang tulis-menulis itu muncul sejak ia duduk di bangku MTs (setara dengan SLTP) di Nasy’atul Mutuallimin, Dungkek Sumenep. Saat itu banyak teman-teman yang tidak tahu tentang kesukaannya itu, sebab ia memang cenderung menutup diri, dan ketika menulis pun ia lakukan di tempat yang cukup sepi, yaitu di jalan yang menghubungkan antara rumah dan sekolahnya, jaraknya pun cukup jauh dan tempatnya lumayan sepi. Kebiasaan ini pun ia bawa saat ia mondok di Pondok Pesantren Nasyatul Mutallimin Gapura Sumenep, yang kemudian membawanya berkenalan dengan beberapa media cetak. Serta memberinya kesempatan untuk menjadi Redaktur Buletin ‘Gelora’ di Pondoknya.
Setelah lulus dari pondok itu, ia pun melanjutkan pendidikannya ke IAIN Sunan Ampel Surabaya. Meski pada awalnya ada beberapa pihak yang kurang setuju dengan keputusannya, namun dengan segenap keyakinan ia tak menghiraukan pendapat mereka itu. Keyakinan itulah yang membawanya pada sebuah pertemuan dengan beberapa teman yang di kemudian hari membantunya mengembangkan bakat menulisnya. Dan setelah melalui proses panjang, setelah berpuluh kali dikecewakan Redaktur karena tulisannya tidak layak muat, Dewi Fortuna akhirnya berada di dekatnya, tepat pada tanggal 17 April 2006 untuk pertama kalinya tulisannya dimuat di Duta Masyarakat. Lalu dalam jangka yang cukup berdekatan tulisan-tulisannya mulai bergiliran nampang di Koran-koran dan majalah-majalah. Dan selanjutnya, dengan kuseksan menembus media, ia pun diangkat menjadi Redaktur Opsi Nasional. Dan hingga hari ini, tulisannya cukup diperhitungkan oleh beberapa media.
Kisah yang hampir serupa dialami Rizal Mumazziq Zionis, dalam buku ini ia menceritakan pengalamannya dalam menjalini proses kreatifnya dalam menulis. Ia mengawali prosesnya saat ia masih duduk di MA Al Islam di Joresan Mlarak Ponorogo, saat itu ia suka menulis di Majalah Tembok (Mabok). Lambat laun hobi itu terus melekat dalam dirinya. Hobi itu pun ia bawa hingga ia pindah ke kota pahlawan Surabaya untuk melanjutkan jenjang S1 di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Di sana ia berkenalan dengan Yusuf Hanafi, tetangga kamarnya di Pondok Mahasiswa An Nur yang pada saat itu sedang menjabat menjadi Redaktur rubrik Khazanah Pesantren di Harian Bangsa. Pak Yusuf –begitu ia memanggil Yusuf Hanafi—yang mendengar pengakuannya tentang hobi menulis sangat senang sekali bahkan Pak Yusuf memintanya untuk menulis di rubrik yang ia asuh. Dengan penuh semangat Rizal menulis dengan harapan tulisannya bisa dimuat.
Namun tulisan yang ia hasil dengan ‘berdarah-darah’ tidak terdengar kabarnya, bahkan Pak Yusuf pun sulit ditemui. Ia pun kecewa, namun di suatu pagi, saat ia membolak-balik Koran di loper koran, ia menemukan namanya terpampang di rubrik Khazanah Pesantren. Betapa bahagianya dia saat itu. Lalu setelah itu, karya terus mengalir dari tangannya dan dimuat di beberapa media nasional dan lokal. Ia pun diminta oleh Pak Yusuf untuk menggantikannya menjadi redaktur Khazanah Pesantren. Dan di kemudian hari, ia pun diangkat menjadi redaktur Majalah AULA.
Muhammad Suhaidi RB, juga menulis proses kreatifnya menjadi penulis dalam buku ini. Penulis asal Madura ini mengakui bahwa darah penulis tidak pernah mengalir dalam tubuhnya. Ia mengenal dunia kepenulisan saat ia mondok di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep. Perkenalannya dengan dunia tulis-menulis berawal dari tugas guru bahasa Indonesianya, Pak Ali Mufti Akhmad, untuk menulis catatan harian atau diary setiap hari. Tugas itu ia jalani dengan tekun hingga akhirnya minat untuk jadi penulis tumbuh dalam dan mendarah dalam dirinya.
Suhaidi—begitu ia disapa—kerap kali menuai kegagalan dalam mempublikasikan karyanya di media, tapi dengan penuh semangat ia terus berusaha tanpa mengenal lelah. Hingga akhirnya tak bisa dipungkiri bahwa tulisannya cukup ‘bergizi’ dan dimuat di Tabloid INFO. Sejak saat itulah ia pun mulai diperhitungkan dalam dunia kepenulisan di daerahnya terutama di Podok Pesantren Annuqayah. Dan dengan menulis itu pula ia mampu membiayai pedidikannya di STIK Annuqayah hingga ia dinobatkan sebagai wisudawan terbaik.
Sedangkan Hana Al-Ithriyyah, penulis yang juga jebolan Pondok Pesantren Annuqayah, dalam buku ini mengisahkan awal proses kepenulisannya dimulai sejak ia masih duduk di kelas IV SDN Guluk-Guluk Sumenep. Saat itulah hobi menulisnya timbul. Ketika duduk di bangku MTs, ia pun terus mengasah kemampuannya di bidang itu, terlebih lagi didukung dengan banyaknya buku-buku yang dikoleksi almarhum Babanya, KH. Waqin Khazin yang banyak menginspirasinya dalam menulis terlebih dalam menulis cerpen. Hingga akhirnya cerpennya yang berjudu ‘Donat’ dimuat di Majalah Annida dan kumpulan cerpennya yang berjudul ‘My Valentine’ diterbitkan pada 2006 silam oleh Gema Insani Press (GIP). Dia mengakui sebelum karya-karyanya dipublikasikan dia sering mengalami kegagalan namun dia tetap berusaha, bahkan ia pun mengakui bahwa akhir-akhir ini ia sulit menulis karena kesibukannya tapi dia berusaha untuk menulis.
Buku Jalan Terjal Santri Penulis ini juga ditulis oleh sembilan penulis lainnya. Yaitu, Ahmad Muchlish Amrin, Noviana Herlianti, Nur Faishal, Azizah Hefni, Salman Rusydie Anwar, Muhammadun AS, Ana FM, Ahmad Khotib, dan Fathorrahman Jm. Mereka adalah penulis-penulis yang ditelorkan oleh pesantren-pesantren ternama.
Membaca buku ini akan membuka mata kita bahwa menjadi seorang penulis tidaklah harus tinggal di lingkungan mewah, buktinya mereka yang menulis dalam buku ini merupakan anak-anak yang dilahirkan di daerah yang jauh dari hangar-bingar kehidupan kota. Juga, kita akan tahu bahwa menjadi penulis tidak membutuhkan bakat, factor bakat hanya mendukung lima persen dalam perjalan menjadi penulis. Dan tak lupa pula, satu hal yang harus kita ketahui, perjalanan menjadi penulis tidak semudah apa yang kita bayangkan. Untuk menjadi penulis kita harus melalui beribu-ribu rintangan, termasuk ditolak redaktur dan dicacimaki. Oleh karena itu, kita tidak boleh menyerah, kita harus berusaha untuk meraiha apa yang kita mimpikan.
Dengan adanya buku ini kita dapat mengetahui bahwa betapa pada masa sekarang ini para santri telah memenuhi dunia kepenulisan tanah air. Bahkan tidak jarang dari mereka menjadi orang yang diperhitungkan dalam dunia jurnalistik dan sastra di Negara ini. Sebuah bukti bahwa santri yang ada saat ini telah mengulang sejarah, di mana pada masa silam, pada masa ulama’-ulama’ salaf santri merupakan penulis paling produktif dan karya mereka hingga saat ini masih diperhitungkan dan layak untuk dijadikan bahan bacaan.
Untuk para teman-teman santri, buku ini sangat penting untuk dibaca. Kerena tidak selamanya santri itu harus berkutat dengna kitab-kitab kuning, tetapi juga bagaimana kita sebagai santri mencoba menulis. Sebab dengna menulis image santri yang terkesan kolot di mata masyarakat luas akan terhapus, dan akan membuktikan bahwa para santri, para ‘kaum sarungan’ juga bisa menghasilkan sebuah karya yang layak diabadikan.
Namun, sebagus apapun sebuah karya, pastilah di situ ada celahnya. Buku ini mengandung cukup banyak kata tidak baku yang sepantasnya tidak digunakan dalam penulisan jenis tulisan seperti yang ada di buku ini, dan walaupun memang harus memakai kata tidak baku mungkin lebih baik kata tersebut dicetak miring.
Dan marilah kita tanam kata-kata Imam Ghazali pada awal tulisan ini pada hati kita. Juga karena sepandai apapun orang itu jika ia tidak berkarya atau menulis maka ia akan hilang ditelan waktu, seperti kata almarhum Gus Zainal Arifin Thoha, “Aku menulis maka aku ada”. Mari para santri, jadilah penulis.!


Thursday 24 December 2009

MENJADI SANG PEMIMPI

"Bermimpilah. Maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu". Itulah perkataan Arai pada Ikal, dalam film Sang Pemimpi saat mereka mau memulai bermimpi. Sebuah film karya sutradara ternama Riri Reza yang tayang sejak 17 Desember lalu di bioskop seluruh Indonesia. Film ini merupakan sekuel dari film Box Office Laskar Pelangi yang terlebih dahulu ditayangkan pada akhir 2008 kemarin. Namun, tulisan ini tidak akan membahas tentang film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Andrea Hirata itu, melainkan akan membahas sebuah pesan yang ada di balik ceritanya, yaitu pesan agar kita berani bermimpi dan mengejarnya tanpa mengenal lelah.
Bermimpi memang hal yang mudah, setiap orang pasti bisa bermimpi, bahkan setiap kali kita terlelap mimpi itu akan datang dengan sendirinya tanpa diminta. Bermimpi yang dimaksud bukanlah sekedar bermimpi. Bukan hayalan yang kita adaptasi dari kisah-kisah fiktif. Bukan pula apa yang kita lihat dalam tidur kita lalu kita membuatnya menjadi fakta, bukan. Tapi mimpi yang dimaksud di sini adalah sebuah ide besar, cita-cita setinggi langit yang mustahil untuk meraihnya tanpa usaha dan kerja keras.
Dalam kisah Sang Pemimpi, bermimpi bisa sekolah di Eropa, di Paris Prancis dan bisa menjelajahi Eropa Afrika merupakan hal yang mustahil bagi seorang anak miskin dari kampung terpencil di pulau Belitong, sebuah pulau kecil di Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia, seperti Arai dan Ikal. Namun hal itu tidak lagi mustahil ketika mereka berani bermimpi dan berani menggapainya meski seribu rintangan harus dilewati dan terus berjuang tanpa sempat berkenalan dengan kata 'menyerah' hingga mimpi itu tercapai.
Kisah-kisah tentang meraih mimpi tidakh hanya diceritakan dalam film ini, melainkan banyak sekali. Salah satnya yang mungkin masih melekat dalam ingatan kita adalah kisah Wright bersaudara (Wilbur Wright dan Orville Wright). Semuanya berawal ketika dua bersaudara itu sedang duduk melihat langit, saat itu melintas seekor burung di atas mereka berdua. Dan tersiratah dalam benak mereka, mimpi untuk bisa terbang seperti burung dan melihat isi bumi dari atas sana.
Langkah awal yang mereka tempuh adalah membuat replika sayap burung yang mereka letakkan di kedua tangan mereka, tapi ternyata alat itu tidak mampu membantu membantu mereka untuk terbang, mereka gagal. Ternyata kegagalan tidak membuat mereka menyerah, mereka terus mencari ide, mencoba satu alat lain dan yang lainnya lagi hanya untuk bisa mengejar mimpi mereka, bisa terbang seperti burung. Tapi ternyata kegagalan masih menyertai mereka. Hingga suatau ketika, seubah ide datang menghampiri pikirang mereka, sebuah ide tentang pesawat terbang, mereka pun mencoba menerapkan ide mereka, dan kali usaha mereka tidak sia-sia. Mereka bisa terbang dengang sebuah alat yang mereka berinama Wright Flyer, pesawat yang mampu terbang sejauh empat mil.
Eep Syaifullah Fatah, salah satu intelektual dari Universitas Indonesia pernah berkata, "Mimpi adalah setengah cita-cita. Cita-cita adalah setengah dari rencana. Rencana setengah dari kerja keras. Dan kerja keras adalah setengah dari keberhasilan". Dalam Islam pun diajarakan tentang usaha tanpa kenal lelah, atau yang lebih dikenal dengan istilah ikhtiar, ikhtiar merupakan sebuah usaha untuk mencapai apa yang kita inginkan, yang kita mimpikan, berusaha tanpa kenal lelah yang disertakan doa sepanjang waktu kepada Allah. Tak lupa pula, usaha tersebut harus disertai keyakinan bahwa setiap usaha akan mendapatkan balasan dari Allah. Seperti yang difirmankan oleh Allah, ”Aku seperti apa yang dipikirkan hambaku”. Artinya, jika kita berpikir dan yakin bahwa Allah akan memberikan apa yang kita mimpikan, maka apa yang telah kita yakini tersebut akan dikabulkan oleh Allah, serta dipermudahkan jalan untuk mencapainya.
Sebenarnya inti dari semua itu adalah bagaimana kerja keras kita untuk menghadapi proses yang akan kita lalui untuk mengejar mimpi-mimpi kita. Kita melihat kesuksesan sesorang bukanlah kesuksesan itu sendiri, tapi kita melihat proses panjang yang dia lalui untuk mencapai kesuksesan itu. Dan sekali lagi, penulis katakan, mimpi bukanlah hayalan, tapi mimpi merupakan awal dari sebuah perubahan. Mari kita bermimpi! Mari kita jadi Sang Pemimpi.


Monday 14 December 2009

MENCARI NURANI PARA TIKUS

Seperti yang kita ketahui bersama tikus merupakan hewan yang identik dengan sesuatu yang kotor, sampah atau kolong jembatan yang mempunyai sifat serakah, tidak mau kalah dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Namun saat ini, muncul species baru dari tikus, yaitu yang tidak lagi identik dengan kotoran, species ini kebalikan dari tikus pada umumnya, mereka berpakaian rapi, bersih, berdasi, dan mengendarai mobil bagus. Sarangnya pun tak lagi di kolong jembatan atau tempat sampah ataupun tempat-tempat kotor lainnya, melain sebuah bangunan mewah yang mirip istiwa yang dipenuhi fasilitas-fasilitas serba mewah dan aksesoris-aksesoris terbaru. Tapi ada satu kesamaan dengan tikus pada umumnya yang melekat pada species ini, yaitu sifatnya. Sifat serakah, tak mau kalah, dan mementingkan diri sendiri. Sifat inilah yang menjadi cirri khasnya.
Kita tidak perlu menyusuri tempat kotor atau tempat sampah untuk menemukan mereka. Kita hanya perlu membaca Koran dan menonton televisi setiap hari, pasti kita akan menemukan mereka. Karena mereka adalah para manusia yang mungkin sering kita dengar namanya, bahkan mungkin bisa jadi salah satu dari mereka merupakan orang terkenal yang sudah setiap hari kita temui di televisi dan Koran karena kepintarannya. Species ini dalam bahasa orang-orang pintar atau bahasa kerennya ‘koruptor’. Mereka telah menyebar di sekitar kita. Jadi, para pembaca untuk tidak heran jika bertemu dengan mereka.
Peringatan hari anti korupsi se-dunia yang diperingati oleh para mahasiswa dan aktivis seluruh tanah air dengan demo serentak pada tanggal 9 Desember kemarin seharusnya menjadi hari introspeksi bagi mereka. Seharusnya mereka yang saat ini sedang bersembunyi di balik gedung bertingkat nan penuh kemewahan tersebut menyadari betapa kecewanya masyarakat terutama mereka kaum bawah yang selalu termaginalkan dengan sikap mereka yang seenaknya dan tidak pernah memikirkan rakyat bawah.
Sebenarnya jika mereka mau berpikir lebih panjang dan mau memperhatikan rakyat bawah, melirik anak-anak yang harus rela mengamen dan menjadi pedagang asongan karena tidak punya biaya untuk meneruskan pendidikannya, pastinya mereka akan sadar bahwa uang yang telah mereka gunakan untuk memuaskan nafsu mereka bukan hak mereka, melainkan milik rakyat yang pada saat yang sama sedang meringis menahan rasa sakit karena terlalu lama perut mereka tidak disentuh makanan, dan pengamen-pengamen kecil yang sedang dibentak-bentak seseorang karena orang itu merasa terganggu dengan mereka, sedang jauh dilubuk hati para pengamen itu ada rasa untuk mengenyam pendidikan yang layak seperti anak-anak pada umumnya agar tak ada lagi hinaan dan cacian yang dilontarkan padanya.
Bukti kongkrit yang bisa kita ambil dari hal itu sebenarnya tidak harus jauh-jauh sampai ke ibu kota. Kita lihat saja di provinsi kita tercinta yaitu Jawa Timur, menurut harian Surya (10/12/2009) melansir bahwa kota terkorup di Jawa Timur adalah kota Surabaya dengan kerugian mencapai Rp. 439 miliar yang rata-rata uang tersebut dikorupsi dari APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Dengan jumlah yang sedemikian besar, bisa kita bayangkan apa yang bisa kita dapatkan dan kita perbuat dengan uang tersebut. Dan jika uang yang sedemikian banyak itu kita pergunakan untuk membiayai anak-anak tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan mereka, tentunya beratus-ratus anak yang akan mendapatkan pendidikan yang serta menjadi generasi bangsa yang dapat diandalkan. Ironisnya, jumlah tersebut hanya untuk kota Surabaya saja, bukan jumlah keseluruhan di provinsi Jawa Timur terlebih lagi hanya kasus yang masuk ke pengadilan saja, belum termasuk kasus yang tak terungkap. Sungguh tak bisa dibayangkan.
Andai saja uang itu tidak dikorupsi dan digunakan untuk memuaskan nafsu tikus-tikus yang bersarang di gedung-gedung kantor itu penulis yakin anak-anak jalanan yang sering kita temui di pinggir jalan dan pengamen-pengamen yang seringkali mengusik ketenangan kita pun juga tak akan lagi berkeliaran. Kerena dengan adanya uang tersebut mereka bisa mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan tempat tinggal yang layak.

Intinya Adalah Kesadaran
Menurut penelitian Transperency International tentang tingkat korupsi di dunia, Indonesia pada Nopember 2009 menempati peringkat ke-111, naik 15 belas peringkat dari peringkat sebelumnya yaitu peringkat ke-126. Fakta tersebut menjadi bukti bahwa semakin hari korupsi di Indonesia semakin meningkat bukan menurun.
Sebenarnya penyebab utama dari hal ini sangat sederhana sakali, yaitu kesadaran dalam diri mereka. Namun hal yang sederhana seakan tidak berarti di mata mereka kerena segumpal nafsu telah menutup nurani mereka dan membunuh kesadaran yang bersemayam di dalamnya.
Menurut Imam Al Ghazali, orang yang hati nuraninya telah tertutup nafsu, sangat sulit baginya untuk melihat kebenaran. Yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana mereka bisa memuaskan nafsunya saja tanpa berpikir dampak yang disebabkannya setelah itu.
Perlu diakui memang, kesadaran yang ada dalam diri setiap manusia sangatlah penting, karena tanpa kesadaran perbuatan seorang manusia tidak pernah bermanfaat bahkan akan merugikan orang lain. Namun kesadaran yang dimaksud di sini bukanlah kesadaran dalam arti fisik saja, tapi kesadaran dalam arti batin. Yang mana kesadaran itu timbul dari hati nurani yang kemudian akan mendorong manusia untuk berpikir apakah yang dia perbuat itu akan merugikan orang lain atau tidak, apakah ia hanya memuaskan nafsunya ataukah ia ingin dirinya berguna bagi orang lain.
Kesadaran yang seperti itulah yang seharusnya ada dalam setiap diri mereka para tikus itu. Karena dengan hal itu sifat ketikusan dalam dirinya akan hilang dan tidak lagi menjadi siluman tikus pemakan uang rakyat dan negara akan aman dari pencuri seperti mereka yang kemudian menjadikan rakyat makmur serta negara tercinta memiliki generasi-generasi yang cakap yang akan membawa Indonesia kepada masa depan yang lebih cerah.


Sunday 6 December 2009

ELEGI SANG PEMIMPI

Purnama di kota ini masih belum terjaga dari tidurnya
bintang-bintang tak lagi saling bercerita di serambi langit
dan malam tak mampu keluarkan aura cantiknya

Sedang di tengah kota sana, tepatnya sebuah stasiun renta
sang pemimpi sedang duduk di bangku peron
menunggu datanya sebuah kereta
yang akan membawanya kembali ke tempat kelahirannya
;sebuah tempat yang dihuni makhluk-makhluk kata
dan sungai sajak yang tak pernah mengalir

Di peron itu, ia terus memangdangi rel-rel tak berujung
berharap kereta yang ia tunggu segera datang
sambil sesekali meneguk segelas kopi tinggal ampas
sedang di pelupuk matanya segumpal resah
tengah membesar hampir menutup pandangnya

Namun, hingga fajar duduk di serambi langit
;membangunkan seluruh semesta
kereta itu belum juga datang
dan pemimpi itu telah terbating
nafasnya tak lagi terdengar merdu
detak jantungnya pun tak lagi seperti genderang

Akhirnya, saat sang surya telah terbangun
Azrail yang berdiri di sampingnya
membawanya pergi ke seubah ruang hitam dan pengap
di bawah stasiun sana
;tempat itu orang-orang menyebutnya "alam kubur"

Desember 2009


Saturday 5 December 2009

SEEKOR BUAYA TAKKAN MAMPU MENGALAHKAN SERIBU CICAK

Buaya merupakan salah satu hewan buas yang tidak mempunyai rasa kasihan ketika menyerang mangsanya. Dia tidak segan untuk mencabik daging musuhnya saat amarahnya tengah memuncak, dengan cara apapun akan ia lakukan hal itu asalkan nafsunya bisa terpenuhi. Sedangkan cicak adalah salah satu reptelia yang mempunyai kecepatan dan kecekatan untuk kabur, dia mempunyai tipu daya untuk mengelabui musuhnya, bahkan cicak bisa saja membunuh musuh yang lebih besar darinya dengan tipu daya dan kecerdikannya sehingga musuhnya terperangkap di dalam jebakan strateginya.
Mungkin seperti itulah perumpamaan koruptor dengan KPK atau CICAK (cinta Indonesia Cinta KPK). Koruptor dengan kekuatannya yang besar akan melakukan segala cara untuk mendapatkan uang puluhan juta meskipun rakyat yang akan menjadi korbannya. Dan KPK atau CICAK layaknya seekor cicak dengan gesitnya menyusup ke sela-sela sarang buaya yang menakutkan lalu dengan kecerdikannya dia menjebak buaya itu hingga tak berdaya di meja hijau.
Seperti itulah sepak terjang KPK sejak dibentuk pada tahun 2004 silam oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono, dengan gesit dan cerdik mereka mampu menangkap koruptor-koruptor rakus yang tidak mempunyai rasa kasihan terhadap rakyat. Namun akhir-akhir ini ada beberapa pihak yang sepertinya iri dengan sepak terjang KPK dengan CICAKnya. Mereka seakan dengan sengaja menyudutkan KPK. Mereka merasa terganggu dengan kinerja KPK yang semakin hari semakin semakin baik.
Bukti kongkrit yang bisa dilihat dari itu adalah perseteruan antara Polri dengan KPK yang memang sampai sekarang masih menjadi topic hangat pembicaraan baik antar masyarakat maupun tulisan-tulisan di beberapa rubrik di berbagai media. Dari berita-berita yang ada di beberapa media kita dapat menyimpulkan bahwa KPK memang dengan sengaja disudutkan. Mereka mungkin merasa terganggu dengan keberadaan dan kinerja KPK yang mereka rasa akan membuat rahasia mereka terungkap kepada publik, sehingga mereka membuat beberapa masalah yang kemudia membuat KPK tersudutkan.
Masalah-masalah itu bisa kita buktikan. Pertama adalah kasus pembunuhan terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen beberapa bulan yang lalu yang melibatkan ketua KPK non-aktif Antasari Azhar sebagai salah satu tersangka. Seperti yang kita ketahui bahwa sampai detik ini kasus itu belum menemukan titik pencerahan siapakah yang ada dibalik semua itu. Dalam kasus tersebut dapat kita rasakan bahwa kasus tersebut dipermainkan oleh Polri karena dalam kasus tersebut terlibat Antasari Azhar yang ketika masih menjabat menjadi ketua KPK mampu menceploskan penjabat-pejabat tinggi ke balik jeruji besi karena terbukti melakukan korupsi.
Dalam kasus tersebut terlibat pula mantan Kapolres Jakarta Selatan Williardi Wizard. Dia mengatakan bahwa kasus Antasari tersebut sudah ada skenario yang disusun oleh beberapa orang dari Polri. Menurut pengakuannya dia diminta para penyidik untuk membuat berita acara sesuai dengan kehendakknya yang intinya untuk menjerat Antasari. Karena jaminan dari pihak kepolisian, terlebih dari pimpinan Polri maka Williardi memenuhi permintaan tersebut. Namun nyatanya keesokan harinya oleh Polisi dia diplot menjadi salah satu tersangka dari kasus pembunuhan tersebut.
Dalam kasus yang lain, yaitu kasus Suap yang juga melibatkan pihak KPK yaitu, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah terdapat bukti bahwa dibalik kasus tersebut ada peran polisi dalam skenarionya. Yaitu pertemuan Susno Duadji, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dengan Anggoro Widjojo yang menjadi salah satu tersangka dalam kasus penyuapan tersebut di Singapura. Memang, Undang-Undang Polri tak melarang pejabat polisi bertemu tersangka atau buronan, tetapi etika dan moralitas pejabat yang digaji uang rakyat harus bisa mencegahnya. Juga sampai saat ini sosok Yulianto yang kabarnya menjadi penurus uang suap dari Anggodo kepada pihak KPK belum jelas.
Nah bukti-bukti itulah yang menjadikan masyarakat dan media mengklaim adanya keterlibatan Polri dalam dua kasus tersebut. Dan tidak dapat dipungkiri pula bahwa keterlibatan Polri dalam penyusunan skenario kasus pembunuhan dan penyuapan tersebut dilatarbelakangi adanya buaya besar rakus yang merasa terganggu dengan kinerja kelompok cicak yang semakin hari semakin solid untuk memberantas buaya-buaya serakah tidak punya belas kasihan terhadap rakyat.
Mungkin buaya yang ada di balik Polri dan aparat penegak hukum lainnya mempunyai kekuatan besar untuk mengalahkan cicak KPK. Tapi cicak yang dimilik KPK tidak hanya satu CICAK saja tapi seribu cicak dari seluruh Indonesia yang sangat cerdik dan mempunyai kerja sama tim yang cukup solid sehingga sulit untuk Buaya rakus tersebut untuk mengalahkan cicak.